Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan yang ada dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi:
- Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
- Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
Silahkan anda memberi komentar, atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
Saya sangat sependapat dengan strategi hanya masyarakat yang kurang mampu saja yang di tanggung BPJS, selanjutnya masyarakat mampu menggunakan asuransi kesehatan komersial
sehingga manfaat JKN benar-benar dirasakan masyarakat kurang mampu, bukan dinikmati masyarakat mampu. Selanjutnya seyogyanya ada aturan yang bisa membuat dana subsidi silang hanya berlaku dalam wilayah setempat saja, bukan berpindah ketempat lain. Mungkin semacam dibentuk regional tertentu guna pengelolaan dana tersebut sehingga dana yang tidak bisa diserap sebuah daerah , tetap ditempat dan bisa dinimati oleh peserta asuransi setempat.
Terlepas dari monitoring yang dilaksanakan Perguruan Tinggi , termasuk UGM. BPJS sebagai penyenggara jaminan kesehatan, belum bisa dikatakan melakukan monitoring karena mereka hanya datang ke puskesmas apabila terjadi pergantian pimpinan cabang. Mereka datang guna bersilaturrahmi dan memperkenalkan diri. Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan, juga belum maksimal melakukan monitoring secara berkala guna perbaikan pelaksanaan JKN. Menuju Universal coverage tahun 2019, seyogyanya BPJS dan pemerintah lebih berbenah memperbaiki kekurangan yang ada.
Sebagai evaluasi pelaksanaan JKN , didaerah-daerah yang jauh dari kota-kota besar, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, diantaranya :
Segi Kepesertaan, Terjadi tunggakan iuran BPJS, seringkali masyarakat menjadi peserta BPJS hanya saat masuk dan dirawat di rumah sakit. Selanjutnya ketika telah sembuh, mereka lalai menunaikan kewajiban bayar iurannya. Masih belum akuratnya data peserta, contoh sederhana orang yang belum meninggal dunia, data BPJS sudah meninggal, dst.
Segi Ketersediaan Obat, Pada era BPJS, ada lembar rujuk balik dari rumah sakit ke puskesmas, guna menindak lanjuti pengobatan di rumah sakit. Diharapkan puskesmas mampu melakukan pengobatan lanjutan. namun seringkali obat tidak tersedia dipuskesmas, sehingga pengambilan obat harus kembali ke rumah sakit. Otomatis ini sangat merugikan pasien yang bersangkutan, dari segi waktu dan biaya.
Segi Alat-alat Kesehatan dan Sumber daya manusia, Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang makin baik seyogyanya dibarengi dengan penambahan tenaga medis yang memungkinkan pelayanan yang optimal, masih banyak alat-alat kesehatan belum tersedia dipuskesmas sehingga mengalami kesulitan melakukan diagnosa penyakit.
Kepesertaan JKN ini memuat berbagai elemen masyarakat. Adapun pembiayaannya menggunakan pooling yang berbeda, bersubsidi dan mandiri. Jika yang dimaksud tidak bisa berpindah tempat penggunaan subsidi silang, kebijakan ini bisa membuat sebagian peserta mundur perlahan... Karena akses dan kemudahan pengguna menjadi kunci dalam kepuasan...
Mungkin mekanisme 'wilayah' yang perlu mendapat perhatian, apakah dalam 1 kota, provinsi atau 1 pulau :)
Selebihnya, saya sepakat dengan pendapat Pak Fadli mengenai JKN ini.
Melakukan evaluasi atas sebuah kebijakan yang dapat memberikan masukan bagi pemerintah/ pembuat keputusan dengan hasil yang dapat dipertanggung-jawabkan tidaklah mudah. Sebagian karena kesulitan yang bersifat instrinktif (karena sifat dampak yang berdimensi luas dan dapat menyebar), juga karena beragam kebijakan juga menuntut beragam metode pengukuran yang sesuai; serta karena kurangnya usaha yang serius untuk itu. Untuk menghasilkan studi evaluasi yang benar-benar berguna, maka memahami kriteria evaluasi yang harus dipenuhi, memahami metoda penelitian evaluasi, serta memilih metoda pengukuran yang tepat adalah syaratnya. Evaluasi yang telah dilakukan pada kebijakan ini lebih cenderung ke jenis evaluasi sumatif, artinya evaluasi masih dilakukan sesudah program tersebut berjalan. Melihat cakupan JKN ini sangat luas evaluasi yang dilakukan harus bersifat formatif, sebelum kebijakan dimulai, pada tahap pengembangan dan implementasi kebijakan sehingga kebijakan JKN ini bisa lebih tepat sasaran.
Penelitian monitoring kebijakan merupakan memang bukan hal yang mudah dilakukan. Akan tetapi penelitian sebagai bentuk monitoring terhadap pelaksanan JKN dan evaluasinya perlu dilaksanakan karena walau dalam pelaksanaanya kita menghadapi bnayak kendala akan lebih baik apabila sistem yang sudah berjalan ini diperbaiki sehingga tujuan utamanya tercapai jangan sampai berhenti ditengah jalan. Dengan penelitian dapat diketahui permasalahn dan hambatan yang benar – benar dirasakan provider pelayanan serta masyarakat. Evaluasi yang bersifat bottom up perlu dlkuakan. Hambatan – hambatan yang ditemui dilapangan perlu diakomodir dan dicarikan solusinya. Perbaikan dilakuakn secra bertahap demi pemerataan pelayanan. Pihak pusat dan daerah bersinergi membawa JKN yang benar – benar adil dan dirasakan rakyat.
Kebijakan ini sangatlah bermanfaat jika bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dibutuhkan sebuah regulasi dalam proses perbaikannya.dibutuhkan pemerataan fasilitas sarana dan prasarana di berbagai daerah serta pengawasan terhadap jalannya kebijakan dibutuhkan demi tercapainya asas dan tujuan yang diharapkan.
Terima kasih
Penelitian multi-center di 12 provinsi dan dipusat yang dilakukan oleh FK UGM dan 10 perguruan tinggi lain pada tahun 2014 tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah penelitian kebijakan sebab penelitian tersebut dilakukan dalam rangka monitoring pelaksanaan suatu kebijakan yaitu terkait JKN. Penelitian ini juga dapat dimaksudkan ke dalam evaluasi kebijakan yang formatif yaitu evaluasi yang dirancang untuk menilai proses implementasi kebijakan dan berbagai pemikiran untuk memodifikasi dan mengembangkan program atau kebijakan sehingga membawa perbaikan signifikan.
Dalam penelitian tersebut juga dihasilkan beberapa saran perbaikan kebijakan dan menurut saya strategi terpenting ialah Perubahan kebijakan penanganan dana di BPJS dan APBN/APBD (Pooling the Risk) supaya tidak terjadi “salah sasaran” penggunaan dana BPJS; dan Perubahan Kebijakan di penyaluran dana BPJS terkait upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan di daerah dan perbaikan sarana dan prasarana kesehatan yang membutuhkan.
terima kasih.
Pelaksanaan kebijakan JKN bersifat Top-down karena berperan sentral dalam pelaksanaannya. Penerapan top-down diambil karena menyangkut dengan hajat hidup orang banyak dan juga agar mudah melakukan evaluasi terhadap jalannya implementasi di lapangan termasuk kegagalan-kegagalannya. Elemen-elemen terkait yakni stakeholder, pengguna, maupun maupun provider menjadi perhatian dalam JKN ini.
Dalam penetapan kebijakan JKN ini diperlukan suatu pemahaman dan kesepakatan atas tujuan bersama semua pihak terkait, mengenai tugas maupun langkah operasional pelaksanaan JKN yang telah dispesifikasikan secara utuh. Akantetapi, jika diamati proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan JKN ini belum terlihat adanya beberapa upaya tersebut. Hal ini terjadi karena dianggap sangat sulit dilakukan dan butuh waktu yang lama sehingga jika JKN dianggap kebijakan politis semata, ya sah-sah saja.
Hingga 2 tahun berjalannya JKN, lebih dari 50% penduduk Indonesia, yakni lebih dari 164 juta jiwa terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. JKN yang berprinsip pada adequacy dan equity yaitu kecukupan dan kesetaraan belum mampu melayani secara merata (pemerataan pelayanan kesehatan) padahal JKN diharapkan dapat menjadikan penduduk Indonesia mendapat pelayanan kesehatan secara menyeluruh, tanpa membedakan golongan apapun. Evaluasi formatif perlu dilakukan sesegera mungkin agar asas pemerataan kebermanfaatan dapat dilakukan. Selain itu evaluasi sumatif perlu dikaji agar menjembatani antara biaya dan keuntungan yang bisa diperoleh baik itu oleh pengguna dalam hal ini masyarakat, stakeholder dan juga providernya.. Sehingga win-win solution dan keberlanjutan JKN ini dapat terlaksana.
Jika menganalisa kebijakan JKN secara retrospektif, trend pembangunan RS pemerintah dan swasta yang menjamur dalam 4 tahun terakhir tidak mendukung tujuan kebijakan JKN dalam hal pemerataan. Selain itu perkembangan tempat pendidikan dokter spesialis dan subspesialis menjadi salah satu faktor penghambat kebijakan JKN.
Sedangkan dari aspek prospektif, JKN ini bisa menghasilkan ending yang berbeda, tergantung skenario yang dibuat, ideal, tidak baik atau bahkan terburuk. Skenario ini tergantung dari komponen pembangunan fisik & RS baik/buruk, jumlah, distribusi dan mutu spesialis/subspesialis sesuai harapan atau sebaliknya. Namun melihat kondisi saat ini, ada baiknya kita menganalisis kebijakan menggunakan skenario terburuk agar dapat mengatasi permasalahan JKN.
Oleh karenanya untuk hadapi skenario terburuk, hubungan Peneliti Kebijakan (Peneliti, Perguruan tinggi, LSM) dengan Pengambil Kebijakan perlu dipupuk dan tumbuh beriringan.
Lalu, Strategi Perubahan Kebijakan apa yang perlu dilakukan ?
Caranya dengan penambahan RS dan fasilitas kesehatan yang terstandar (penguatan sisitem rujukan dan kebijakan kompensasi BPJS), reformasi tempat pendidikan untuk perbaiki jumlah dan distribusi dokter spesialis dan subspesialis serta menjadi bagian integral sistem pelayanan kesehatan. Selain itu perlu ada amandemen UU SJSN dan UU BPJS serta berbagai regulasi terkait. Adapun prinsip amandemen terkait dana PBI yang terbatas jangan sampai disalahgunakan oleh masyarakat mampu, negara harus melindungi fakir miskin dan membuka sumber dana kesehatan dari orang kaya sehingga lebih banyak dana untuk pelayanan kesehatan.
Terima kasih.
Perlu dikaji lagi makna keadilan sosial yang dimaksud, apakah adil di sini berarti sama rata atau sesuai kebutuhan. Berdasarkan KBBI makna adil sosial adalah kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yg bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya. Perlu digarisbawahi frasa memiliki kesempatan yang sama, hal ini berarti bahwa setiap manusia Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik yang tinggal di daerah maju maupun daerah perifer. Olek karena itu yang perlu diperhatikan adalah kesempatan yang sama tersebut. Untuk menciptakan kesempatan yang sama berarti harus menyediakan fasilitas yang sama di semua daerah.
Pelayanan JKN tidak akan menjadi adil apabila fasiltas, sarana dan prasarana kesehatan di daerah perifer tidak sama dengan di daerah maju. Pengadaan fasilitas ini bisa menggunakan sisa dana serapan JKN yang rendah di daerah perifer. Jadi, dana tersebut tidak digunakan oleh daerah maju yang malah akan membuat daerah perifer semakin tertinggal.
Demkian.
Saya sependapat dengan Sdri. Rizka, dimana pelaksanaan JKN ini menggunakan sistem "Top-Down" sehingga pemerintah pusat yang membuat kebijakan ini tidak paham betul mengenai kondisi di daerah-daerah, terutama di daerah 3T. Seperti yang telah dijelaskan pada saat kuliah, seharusnya dilakukan uji coba JKN atau pemberlakuan JKN pada daerah yang siap sehingga tidak terjadi ketimpangan pada daerah-daerah yang memang akses kesehatannya masih susah. Sistem pembiayaan JKN yang terpusat membuat pemerintah daerah susah untuk mengembangkan pelayanan kesehatan di daerahnya, sehingga makin timbul gap antar daerah-daerah. Perbaikan akses pelayanan kesehatan dan penambahan SDM terutama pada daerah-daerah 3T mungkin dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum JKN diberlakukan secara luas, sehingga tidak timbul kesenjangan yang semakin besar.
Terima kasih
Mengenai pelaksanaan JKN yang menggunakan metode Top-Down sebaiknya diperbaiki menggunakan metode Bottom-Up agar pemerintah pusat lebih memahami permasalahan yang berada di daerah-daerah, khususnya daerah dengan infrastruktur kesehatan dan tenaga kesehatan yang belum merata.
Penelitian tentang kebijakan dan pelaksanaan kebijakan memang perlu banyak dilakukan sebagai bentuk evaluasi. Penelitian kebijakan dan pelaksanaan JKN dapat digolongkan sebagai analisis prospektif dan retrospektif. Terlebih kebijakan JKN ini, dibutuhkan analisis yang mendalam sebagai bahan perbaikan pelaksanaan ke depannya. Saya juga setuju dengan rekomendasi bahwa bidang preventif dan promotif diberi perhatian khusus. Karena penurunan beban kesehatan di masyarakat diawali dari kegiatan promotif dan preventif, maka sebaiknya JKN memberikan porsi khusus untuk program tersebut. Peningkatan kegiatan promotif dan preventif yang menjadi konsentrasi khusu di berbagai kementerian juga berguna untuk mengurangi beban JKN dalam memberikan jaminan untuk penyakit tidak menular.
Demikian pendapat dari saya, mohon maaf apabila ada kesalahan. Terima kasih
Melakukan perbaikan melalui pengubahan kebijakan JKN akan sulit, menghabiskan banyak waktu dan dana, sehingga ada baiknya jika memperbaiki apa yang sudah ada. Salah satu upaya yang perlu diterapkan yaitu pemberian dana kompensasi bagi daerah yang tidak memiliki faskes dan SDM kesehatan yang memadai karena sebenarnya pemberian dana kompensasi sudah diatur dalam pasal 23 dan 24 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Pada prinsipnya UU JKN dibentuk adalah untuk memberikan jaminan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam hal akses pelayanan kesehatan. Namun dalam pelaksanaannya masih ada berbagai kendala ( telah dibahas di minggu 1) berkaitan dengan sarana, prasarana dan SDM antara daerah periver dengan dengan daerah maju. Hal ini berdampak pada klaim BPJS dan berpeluang menimbulkan kesenjangan. Dari hasil monitoring yang telah dilakukan akhirnya diperoleh beberapa rekomendasi kebijakan diantarannya adalah program” sister hospital” di NTT. Melalui program ini daerah mendapat “residen senior” sehingga dapat melakukan dan mendapatkan lebih banyak klaim dari tindakan medis. Sambil program ini berjalan diharapkan ada perbaikan sarana, parasarana dan peningkatana jumlah SDM (Dokter umum dan Dokter spesialis) sehingga pemerataan jaminan kesehatan Nasional dapat terwujud.Thanks.
Pada permasalahan JKN ini, permasalah utamanya adalah pada implementasi di lapangan. Hingga saat ini tujuan dan standar kebijakan telah disusun akan tetapi mungkin masih belum menyentuh hal-hal terkait implementasi di lapangan. Yang terpenting adalah para implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.Sehingga masih banyak menimbulkan permasalahan. Kedepannya, diharapkan pemerintah merespon terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan akibat kurang sempurnanya kebijakan ini sehingga segera dilakukan langkah-langkah perbaikan, dan pada akhirnya kebijakan JKN yang telah berjalan dapat lebih baik dan benar-benar menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Secara umum, JKN ada untuk mencegah pemiskinan akibat dari bencana sakit dan sekaligus untuk mencegah kehidupan yang tidak produktif.
Namun realisasinya program JKN ini belum dirasakan sampe ke polosok tanah air, khususnya di kabupaten2 terpencil salah satu contoh di Kabupaten jayapura misalnya.. dimana akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih sulit mungkin sama kasusnya pada NTT, sebelas duabelaslah ya..Untuk itu program BPJS itu harus didukung dengan kesiapan sarana dan prasarana kesehatan untuk menunjangnya,mungkin perlu adanya KPK dan BPK untuk mengawasi pelaksanaan BPJS dan Program JKN karena menggunakan anggaran negara yang besar.
Karena anggaran yang besar itu harus digunakan maksimal bagi masyarakat namun diawasi dalam penggunaannya. terima kasih