Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat SIMKES
- Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
- RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
- Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan
Comments
2. Hal yang sedikit janggal adalah RUU ini merupakan inisiatif DPR, biasanya semua draft RUU merupakan usulan dari kementerian/lembaga. Perlu di teliti juga latar belakang dari awal mula adnya RUU tentang Pendidikan Kedokteran ini.
3. Setelah disahkan menjadi UU, muncul dinamika terkait Dokter Layanan Primer (DLP). Berdasarkan data dari Konsul Kedokteran Indonesia (KKI) jumlah dokter umum di Indonesa mencapai 114.588 (dengan jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 250 juta) maka di dapat rasio 45 dokter umum per 100.000 penduduk. Secara jumlah mungkin sudah mencukupi, tetapi permasalahan yang lain adalah bagaimana pemerataan dan kualitas dari dokter tersebut. Saat ini permasalahan kesehatan salah satunya adalah tingginya angka kematian ibu dan bayi yang dapat dicegah dengan perbaikan layanan kesehatan komunitas di faskes primer. Oleh karena itu peran DLP menjadi sangat penting
Koordinasi antara stakeholder yaitu Kementerian Dikbud dan Kementerian Kesehatan yang tidak sejalan, menyebabkan RUU tidak berpihak kepada dokter umum di Indonesia.
Peran IDI saat proses pembuatan RUU menolak hingga walk out membuat UU sudah terbit, sedangkan pasal tentang DLP yang ditolak sudah masuk ke dalam UU. Yang kemudian dilakukan JR oleh IDI ke MK pun juga ditolak. IDI selanjutnya harus pro aktif dalam menyusun RPP turunan dari UU Pendidikan Kedokteran agar ke depan anggotanya yaitu dokter umum di Indonesia tidak dirugikan lagi.
Sesuai dengan Tujuan Pembelajaran bagian Peran badan legislative dan eksekutif dalam penentuan kebijakan dalam hal ini adalah Anggota Legislatif dari Partai Politik dalam Proses Kebijakan. Menjadi sebuah catatan, apakah para Anggota legislatif tersebut memang sudah benar-benar mampu menjadi aktor yang menentukan kebijakan?
Hal yang perlu lebih menjadi prioritas yaitu :
1. Mempersiapkan layanan untuk Universal Coverage 2019
2. Memperbaiki Maldistribusi Tenaga Kesehatan Inter dan Antar Wilayah
3. Mengendalikan Biaya Pelayanan (mengendalikan rujukan FKTP)
Biaya akan cukup besar jika harus diterapkan, semua dokter harus sekolah lagi dan akan membutuhkan banyak biaya kalau seluruh dokter umum harus mengikuti DLP. Di luar negeri, pedidikan dokter yang dianggap setara dengan DLP ini adalah sama dengan pendidikan dokter umum yang ada di Indonesia, artinya tidak ada perbedaan antara dokter umum dan DLP.
Artinya ada pemborosan anggaran apabila diterapkan DLP ini dengan pembiayaan pemerintah. Melihat hal ini, DLP seharusnya tidak menjadi prioritas hingga tahun 2019 dimana universal coverage diasumsikan sudah 100%.
Teori penentuan kebijakan menurut model Kingdon menggambarkan bahwa pemunculan kebijakan melalui tiga alur. Kebijakan hanya akan dianggap serius oleh pemerintah ketika ketiga alur tersebut berjalan bersamaan (Buse, hal 95). Alur penentuan agenda menurut Kingdon yaitu :
1. Alur Masalah
Alur masalah mengacu pada persepsi yang menganggap masalah sebagai urusan publik yang memerlukan tindakan pemerintah dimana dalam kasus ini peningkatan kualitsa SDMK dokter umum dianggap sebagai suatu hal yang cukup serius.
2. Alur Kebijakan
Alur kebijakan terdiri dari analisis yang berkesinambungan terhadap masalah dan solusi-solusi yang ditawarkan bersama-sama dengan perdebatan yang mengelilingi masalah tersebut dan kemungkinan tanggapan terhadapnya (Buse, hal 96). Jika dilihat pada kasus ini, DLP mungkin bukan satu-satunya solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah peningkatan kualitas layanan dokter umum, dalam prosesnya kemungkinan ada pilihan-pilihan lain yang pada akhirnya tidak masuk dalam penentuan agenda kebijakan. Perdebatan ketika pembahasan kebijakan juga cukup alot sampai-sampai IDI sebagai OP yang menaungi para dokter melakukan walk out.
3. Alur Politik
Alur politik berjalan cukup terpisah dari kedua alur yang lain dan terdiri dari kejadian-kejadian seperti perubahan dalam pemerintahan dan kampanye-kampanye yang dilakukan oleh kelompok kepentingan tertentu (Buse, hal 97). Pada kasus UU nomor 20 tahun 2013 hal yang perlu diperhatikan yaitu ide pembahasan RUU yang berasal dari DPR. Dalam proses penentuan kebijakan biasanya aka nada naskah akademik yang akan dibahas sebagai dasar penentuan kebijakan, namun dalam kasus ini anggota DPR yang mempunyai ide untuk membahas RUU, meskipun RUU tersebut sudah merupakan produk dari anggota DPR terdahulu.
Sistem pemerintahan sebuah Negara yang mempengaruhi perumusan kebijakan publik berkaitan dengan hubungan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Badan legislatif adalah badan yang mewakili rakyat, dalam hal ini DPR. Badan eksekutif adalah pimpinan Negara dalam hal ini presiden dan para menteri. Pada kasus ini eksekutif dirasa sangat kurang berperan dalam proses agenda kebijakan terutama kementerian kesehatan. Dalam prosesnya tidak tampak koordinasi antara Kemenristekdikti sebagai penyelenggara pendidikan kedokteran dengan kemenkes sebagai institusi yang akan menerima produk dari pendidikan dokter layanan primer. Legislator dalam kasus ini berperan sebagai whistle blower yang berinisiatif membahas RUU pendidikan dokter.
Dalam kasus ini partai politik tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan, namun partai politik memiliki pengaruh yang lebih besar dalam mempengaruhi anggota lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif dalam proses kebijakan.
Interest group dalam kasus ini adalah IDI sebagai organisasi profesi dokter. Dalam kasus ini taktik dan strategi kelompok interest dirasa kurang tepat dengan melakukan walk out. Adanya walk out menyebabkan tidak adanya aspirasi dokter dalam proses penentuan kebijakan sehingga legislatif berjalan sendiri tanpa adanya masukan dari pihak-pihak yang kompeten dan berhubungan langsung dengan kebijakan. Padahal jika saja IDI tidak melakukan walk out tentu masalah-masalah kebijakan yang menjadi perbedaan dapat dicari solusinya.
Setelah UU terbit IDI melaksanakan YR, hal ini tentu saja membutuhkan resources yang lebih besar. Jika dari awal IDI tidak melakukan walk out maka tidak perlu lagi adanya YR dan protes-protes terkait kebijakan dimaksud karena dari awal prosesnya sudah dikawal oleh IDI sebagai organisasi profesi dokter.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menentang RUU Pendidikan Kedokteran. Dalam proses penyusunan ini IDI melakukan langkah Walk Out (WO) atau menolak ikut terlibat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran, akan tetapi proses penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran tetap berjalan. Argumen yang diajukan, antara lain adalah sudah ada UU Praktek Kedokteran. Sementara itu perkumpulan penyelenggara pendidikan kedokteran, Asosiasi Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) yang awalnya menentang, kemudian berubah pendapat dan mendukung RUU Pendidikan Kedokteran.
Poin penting yang menjadi kontra bagi praktisi kedokteran adalah Dokter Layanan Primer (DLP). UU No 20 tahun 2013 memperkenalkan istilah Dokter Layanan Primer sebagai strata baru pendidikan kedokteran di Indonesia. Sebagai tambahan, hanya dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis yang bisa masuk dan berada di dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Kedepannya hanya dokter layanan primer dan dokter praktik umum yang telah mengikuti program yang dapat menjadi dokter-dokter penyedia pelayanan kesehatan primer.
Pasca disahkannya UU Pendidikan Kedokteran pada tahun 2013, IDI tetap menentang UU tersebut, melalui Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mereka mengajukan Yudisial Review (YR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) walaupun hasilnya hakim-hakim MK menolak secara keseluruhan gugatan YR PDUI.
Namun seiring berjalannya waktu di awal tahun 2016, proses internal berlangsung di IDI, terjadi perubahan sikap. Kabar terakhir pada bulan April 2016 disebutkan bahwa PB IDI menerima hasil dari MK dengan berbagai catatan dan berusaha aktif kembali dalam penyusunan RPP dan berbagai regulasi terkait UU Pendidikan Kedokteran. Dengan melakukan perubahan sikap ini, IDI sebagai perhimpunan profesi masuk kembali dalam proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran. Meskipun demikian masih terjadi perbendaan pendapat di kalangan IDI sendiri, dibuktikan dengan adanya demonstrasi secara serentak yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di seluruh Indonesia pada tanggal 24 Oktober 2016 bertepatan dengan hari dokter nasional.
Melihat hal tersebut diatas tampak bahwa dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 peran stakeholder kurang terlibat dan kalaupun ada sempat terjadi aksi walk out tetapi penyusunan RUU terus berjalan sehingga merugikan pihak terkait itu sendiri, walaupun terakhir ini (2016) akhirnya IDI berubah sikap dan masuk kembali dalam proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran Indonesia.