Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat FETP
- Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
- RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
- Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan
Comments
IDI menganggap, DLP akan sulit berjalan karena kurangnya sarana dan prasarana, termasuk langkanya dosen Kedokteran di beberapa daerah terpencil. Belum lagi dengan kurangnya alat di Faskes Primer. Mengapa banyak orang lari ke rumah sakit dan malas ke puskesmas atau klinik? Karena disana tidak lengkap alatnya. Di sisi lain, bagaimana dokter umum mau pintar kalau dia tidak pernah pegang alat EKG atau rontgen. Jadi kenapa bukan ini dulu dibenahi. DLP dianggap akan memberatkan calon dokter dan dianggap merendahkan serta meragukan kompetensi dokter umum yang melayani di layanan primer. Saat ini yang jadi permasalahan bukan hanya kompetensi dokternya karena kompetensi mereka akan meningkat dengan sarana dan prasarana yang memadai. Tetapi ada 6 komponen yang saling berkaitan seperti sarana yang bagus, obat bagus, tersedianya alat kesehatan, ada tenaga media, pembinaan operasionalisasi serta tenaga medis yang kompeten.
UU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR yang mempunyai agenda antara lain: untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Intitusi yang dilibatkan dalam penyusunan RUU ini adalah Kementerian Pendidikan karena dianggap bahwa kebijakan ini berhubungan dnegan pendidikan. Kementerian Kesehatan tidak dilibatkan dari awal hingga setelah ada pertentangan dari IDI, akhirnya Kementerian kesehatan dilibatkan walaupun sebenarnya sudah terlambat karena tidak dilibatkan dari mulai Agenda Setting, penyusunan kebijakan, monitoring dan terbentuknya RUU.
Sikap dari perhimpunan profesi yang semula menolak akhirnya bisa menerima keputusan MK karena UU tersebut tetap di keluarkan walaupun ada perhimpunan profesi yang menentangnya, dalam rangka kepentingan atau menyalurkan Aspirasinya dan kepentingan untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan, IDI akhinya menerima UU tersebut dengan harapan dapat di libatkan langsung dalam penyusunan PP dan petunjuk tekhnis yang akan di keluarkan selanjutnya.
Disini terlihat bahwa Kekuasaan dalam pembuatan UU atau Kebijakan Kesehatan itu terletak di tangan Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan dan lembaga Legislatif/DPR. IDI sebagai Organisasi perhimpunan profesi seharusnya mengikuti proses secara terus menerus agar dilibatkan langsung dalam penyusunan RUU dari mulai agenda setting dari mulai menyusun kebijakan, monitoring dan sampai terbentuknya RUU agar aspirasi dan kepentingannya dapat di akomodir dalam UU tersebut, bukan malah menentangnya karena yang akan di rugikan kalau UU ini di undangkan tanpa masukan dari orang atau lembaga yang kompeten di bidangnya makan akan sangat merugikan IDI sendiri karena dinilai kurang kooperatif terhadap Pemerintah.
UU No 20 tahun 2013 memperkenalkan istilah Dokter Layanan Primer sebagai strata baru pendidikan kedokteran di Indonesia. Sebagai tambahan, hanya dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis yang bisa masuk dan berada di dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Kedepannya hanya dokter layanan primer dan dokter praktik umum yang telah mengikuti program yang dapat menjadi dokter-dokter penyedia pelayanan kesehatan primer.
Dua organisasi penting di dunia kedokteran yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menentang RUU Pendidikan Kedokteran. Argumen yang diajukan, antara lain adalah sudah ada UU Praktek Kedokteran. Sementara itu perkumpulan penyelenggara pendidikan kedokteran, Asosiasi Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) yang awalnya menentang, kemudian berubah pendapat dan mendukung RUU Pendidikan Kedokteran. Berbagai universitas besar awalnya juga menentang atau ragu-ragu. Akan tetapi setelah proses penyusunan berjalan, berubah mendukungnya.
Kontra terkait Dokter Layanan Primer sampai sekarang masih bergulir ditunjukkan dengan adanya demonstrasi secara serentak yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di seluruh Indonesia pada tanggal 24 Oktober 2016 bertepatan dengan hari dokter nasional.
Melihat hal tersebut maka memang tampak bahwa kebijakan Pendidikan Kedokteran yang disahkan dengan UU No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran mengundang pertentangan dari stakeholder dimulai dari penyusunan sampai dengan pengedahan dan pelaksanaan UU tersebut dimana hal tersebut juga salah satunya adalah akibat dari kurang baiknya sikap dan koordinasi antar pemerintah dan stakeholder terkait.
Salah satu problem kesehatan di Indonesia adalah sebaran dokter di wilayah Indonesia belum merata. Data Konsil Kedokteran Indonesia menyebutkan wilayah Indonesia Timur paling sedikit memperoleh dokter, dilanjutkan dengan Indonesia Tengah. Saat ini hanya 12 provinsi di Indonesia yang jumlah rasio dokter sesuai untuk jumlah penduduk di daerah tersebut. Jika program DLP tetap dilaksanakan, pelayanan kesehatan akan terhambat. Masyarakat menghadapi risiko para dokter puskesmas di lingkungan mereka berkurang karena melanjutkan pendidikan DLP.
Persoalan lain, pendidikan DLP harus diselenggarakan di Fakultas Kedokteran (FK) yang berakreditasi A. Boleh akeditasi B, tetapi tetap bekerja sama dengan FK berakreditasi A. Dari 75 fakultas kedokteran yang ada saat ini, hanya 17 fakultas yang berakreditasi A (22,67 persen). Dengan beban berat FK menerima mahasiswa S1 rata-rata sebanyak 100-200 orang dan peserta pendidikan dokter spesialis per bidang ilmu, rata-rata 10-20 orang (terdapat 34 bidang spesialis saat ini), beban yang ditanggung akan bertambah. Apalagi, jika diharuskan menerima dokter pendidikan DLP (jumlah pengajar, sarana, prasarana, dan dana).
Dari awal penyusunan RUU ini, DPR adalah lembaga yang sangat inisiatif, akan tetapi ada beberapa stakehoulder seperti AIPKI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Penyelenggara pendidikan kedokteran dan yang lain tidak sepakat akan tetapi seiring berjalannya proses penyusunan ternyata yang awalnya kontra akhirnya pro terhadap penyususan RUU. Jadi, kemungkinan disini ada power atau kekuasaan yang mereka miliki untuk menekan orang yang kontra ini sehingga akhirnya mereka ikut pro dalam penyusunan RUU ini yang artinya bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi stakeholder yang lain untuk pro sehingga sehingga RUU ini bisa terus berjalan.
Mengenai UU tentang DLP, jika kami melihat dari sudut pandang kami bahwa apakah kemudian ini menjadi penting untuk dilakukan? Karena sekarang ini justru menurut kami yang perlu dilakukan untuk perbaikan layanan primer adalah bagaimana fasilitas sarana dan prasaran serta SDM nya. Sebelum melangkah ke arah tersebut, seharusnya yang perlu menjadi fokus adalah ketersediaan layanan primer di daerah pedalaman karena sampai sekarang masih banyak masyarakat yang belum bisa menjangkau layanan primer dikarenakan jarak yang terlalu jauh. Di sisi lain, jika kemudian ada layanan primer tapi justru terkadang tidak punya dokter spesialis atau dokter umum atau SDM yang handal dibidangnya sehingga layanan tersebut menjadi tidak mempunyai capabilitas yang cukup untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Harusnya jika kami melihat pemerintah harusnya fokus utamanya adalah perbaikan sistem dan pelayanan kesehatan dan pemerataan tenanga kesehatan sesuai dengan kebutuhan di setiap layanan karena kenyataan sekarang ini yang terjadi bahwa banyak dari tenaga kesehatan yang tidak ingin ditempatkan di daerah pedalaman. Disisi lain, kurangnya apresiasi pemerintah terhadap mereka yang sudah bekerja lama dipedalaman sehingga keinginan orang untuk bekerja di pedalaman menjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada.
- Alur masalah: Isu tentang UU Pendidikan kedokteran yang dilatarbelakangi dengan keinginan pemerintahikut perperan dalam pendidikan kedokteran (pendirian fakultas kedokteran, beasiswa dan residen). Keinginan pemerintah untuk menertibkan pendirian pendidikan kedokteran adalah yang sangat baik karena dilatarbelakangi banyaknya pendirian fakultas kedokteran yang seharusnya belum layak. Namun berdasarkan kasus tersebut bahwa pentingnya koordinasi yang baik berbagai lembaga pemerintah dalam menyusun UU. Karena koordinasi yang kurang baik dalam kasus ini, sehingga berjalan lambat dan sikap ragu-ragu diawal bagi sebagian, hingga akhirnya berubahan sikap dipertengahan dan diakhir .
- Kelompok-kelompok terlibat dalam menyusunan UU Pendidikan kedokteran adalah lembaga legilatif sebagai Pokja RUU, lembaga eksekutif seperti kementrian pendididikan dan kementrian kesehatan, juga seharusnya melibatkan organsasi profesi terkait (IDI, AIPKI, KKI) ketika adanya pembuatan kebijakan, karena profesi tersebut yang akan menjalankan hasil dari kebijakan yang dibuat. Sehingga kebijakan dibuat tidak menimbulkan pertentangan diakhir. Sama hal rencana DLP yang sedang hangat dibahas saat ini.