Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat SIMKES
- Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
- Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Comments
ada hal yang menarik ketika pemerintah dianggap melanggar hak azasi manusia jika dilarang merokok namun sebenarnya para perokoklah yang malanggar hak azasi orang yang tidak merokok. ketika orang merokok disekitar orang-orang yang tidak merokok maka dia sebenarnya mencemari udara bersih yang dengan asap yang mengandung racun. dalam hal ini hak orang untuk menghirup udara bersih telah dilanggar oleh para perokok.
demikian pendapat saya
terima kasih
Jadi mungkin inilah yang kerap menghambat dalam penyusunan kebijakan tentang Pembatasan Rokok/Merokok. Termasuk yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam penyusunan Raperda di DIY tentang Rokok mengalami hambatan dan sampai saat ini belum rampung, termasuk kemungkinan adanya pihak stakeholder yang memiliki kepentingan dari perusahaan rokok.
Regulasi kawasan tanpa rokok seharusnya dibuat bukan untuk memusuhi perokok, sehingga perlu diatur ruang khusus bagi perokok, peraturan dibuat harus berkeadilan dan tidak menyudutkan secara sosial. Hal ini dikarenakan juga banyak masyarakat yang hidup dari usaha rokok ini, seperti pekerja pabrik rokok, penjual rokok, bahkan mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa dari produsen rokok.
Terlihat bahwa pemegang kekuasaan yang dominan adalah para elitisme yang diwakili oleh "masyarakat kretek dan petani tembakau". bisa jadi dalam pelaksanaannya komponen masyarakat ini "ditunggangi" oleh pemilik perusahaan rokok yang takut perusahaannya terancam gulung tikar, sehingga stake holder yang berperan pada gagalnya perda KTR di DIY adalah masyarakat kretek dan petani tembakau yang diwakili suaranya oleh anggota DPRD dimana mereka melakukan somasi ke forum JSTT atas kegiatan-kegiatan yang dianggap mematikan petani tembakau. Kemampuan advokasi dan lobby dari kelompok masyarakat ini sangat kuat ke anggota DPRD sampai-sampai bisa mempengaruhi partai politik di DPRD dalam memberikan suara pada pembahasan raperda.
Saya rasa media kurang berperan dalam penyebarluasan raperda dalam mendukung pembuatan kebijakan KTR.
Negara kurang berperan dalam peraturan KTR karena sampai saat ini belum ada aturan yang lebih tinggi dari Presiden (negara) tentang KTR. di DIY peran ormas dan perusahaan swasta sangat mempengaruhi gagalnya perda KTR
Kontek wacana diatas bisa kita menarik kesimpulan bahwa rokok termasuk penyumbang pendapatan Negara yang sangat besar, kalau kita merujuk kembali ke kota DIY Raperda banyak yang tidak berjalan dikarenakan bisa berdampak mengurangi pendapatan asli daerah (PAD). Dan berdampak buruk bagi kemajuan daerah tersebut dari segi pendapatan.
Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby yang sangat besar dikarenakan berkaitan dengan financial yang tinggi di bidang rokok tersebut. Para pengusaha baik itu pribadi ataupun masyarakat dapat melukukan pengaruh-pengaruh yang besar kepada anggota DPRD.
Merujuk kembali Kawasan Tanpa Rokok (KTR) jika diberlakukan diDIY banyak masyarakat yang menggantungkan kehidupan dijasa rokok tersebut. Ini berarti dapat mengurangi sumber pendapatan petani tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa "shadow economy" di Indonesia mengendalikan kebijakan yang terjadi di negara kita. Salah satu contoh kasusnya seperti yang sekarang sedang kita bahas. Kekuasaan golongan tertentu karena "kekayaan" yang dimiliki mampu menjadi "pengendali pikiran" dengan cara apapun yang akan dilakukan. => Teori 3 Dimensi Kekuasaan
Untuk Pergub sendiri tidaklah terlalu kuat karena di sana tidak adanya sanksi yang tegas untuk tempat-tempat KTR.
Dasar hukum ditetapkannya KTR pun sudah sangat jelas yaitu :
1. UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat 2 “Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di wilayahnya”.
2. UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS Pasal 29 hurup t “Memberlakukan seluruh lingkungan RS sebagai Kawasan Tanpa Rokok).
3. PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan Pasal 49 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)”.
4. Peraturan Bersama Menkes dan Mendagri No. 188/MENKES/PB/I/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan KTR.
Konsep KTR bukan melarang orang untuk merokok, tetapi mengatur dimana seseorang boleh merokok dan tidak boleh merokok, seperti yang ditetapkan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat 1 yaitu Kawasan Tanpa Rokok antara lain :
1. Fasilitas pelayanan kesehatan
2. Tempat proses belajar mengajar
3. Tempat bermain anak
4. Tempat ibadah
5. Angkutan umum
6. Tempat kerja
7. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
Jadi melihat dari kawasan yang ditetapkan sebagai KTR tersebut hanya ditempat itulah yang dilarang merokok, diluar dari tempat yang ditetapkan tidak ada larangan orang untuk merokok. Sehingga kekhawatiran dari sebagian pihak menjadi tidak beralasan, seperti contoh kasus pembahasan Raperda KTR Provinsi DI Yogyakarta yang menimbulkan reaksi dari komponen masyarakat bernama “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau” yang menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda KTR DIY sehingga sampai saat ini pembahasan Raperda KTR yang sudah dibahas dan beberapa kali dilakukan hearing di rapat DPRD tersebut kemudian pada akhirnya ditangguhkan akibat dari satu persatu fraksi DPRD DIY mengundurkan diri dalam pembahasan Raperda KTR DIY. Berkaca dari hal tersebut, tampak pengaruh-pengaruh luar eksekutif dan legislatif yang cukup kuat dan besar sehingga mampu mempengaruhi proses pembahasan dan pengesahan Raperda KTR Provinsi DI Yogyakarta.