Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat KMPK
- Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
- Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Comments
Dilihat dari sisi lain, adanya pertentangan antar pelaku (Aktor), karena ada para petani tembakau dan pengusaha-pengusaha kecil yang juga mempunyai peranan penting dalam penyusunan raperda ini. Untuk itu perlu adanya advokasi dan regulasi pemerintah dengan melibatkan dan memperhatikan banyak stakeholder dalam penyusunan raperda KTR ini.
Kelompok petani tembakau dapat menekan pemerintah untuk tidak menyetujui kebijakan KTR.
Nlai-nilai sosial dan politik digunakan untuk menunda pembautan keputusan karena berpihak kepada petani tembakau sehingga kebijkan KTR tetap hanya dalam agenda. Kebijakn juga dipengaruhi dengan adanya kewenangan tradisional dan kharismatik dimanan kebijakan KTR tersebut juga tidak didukung oleh pemimpin kharismatik.
Salah satu partai menyatakan mengundurkan diri (diikuti dengan partai-partai lainnya) karena adanya protes dari masyarakat kretek (petani tembakau)
dengan demikian terlihat bahwa ha-hak petani tembakau lebih dipentingkan, sehingga pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan lebih memilih keputusan untuk tidak membuat keputusan sampai saat ini.
Kemungkinan pihak pengusaha tembakau mengalihkan masalah kesehatan mesyarakat dengan cara mengerahkan masyarakat petani tambakau dan dampaknya bagi ekonomi mereka dan mungkin bagi beberapa partai politik dan jurnalis tetap untuk menyuarakan hak-hak petani tembakau.
Para ahli mengatakan bahwa negara sendiri merupakan suatu kelompok berkepentingan yang berkuasa atas proses kebijakan untuk mearaih kepentingan, untuk tetap berkuasa para pejabat terpilih mungkin memilih untuk menfasilitasi kelompok-kelompok dengan anggaran, barang dan jasa dan peraturan yang mendukung dengan harapan bahwa kelompok-kelompok ini tetap menjadikan mereka berkuasa.
Untuk itu diperlukan advokasi yang terus menerus baik kepada legislatif maupun eksekutif untuk dapat menggoalkan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.
Saat ini Perda KTR belum juga di tanda tangani. Berdasarkan informasi, dapat diketahui bahwa ada penyebab tidak ditandatanganinya Perda KTR di DIY karena terdapat stakeholder yang tidak diikutkan dalam pembahasan Perda tersebut yang kemudian melakukan protes sehingga mengakibatkan satu per satu fraksi di legislatif keluar. Berdasarkan informasi lain diketahui bahwa pemegang kukuasaan tertinggi di daerah tersebut juga mempunyai kepentingan terhadap keberlangsungan rokok di DIY. Unsur politik dan kekuasaan dalam penyusunan perda ini sangat kuat, terlihat dari perjuangan untuk mempertahankan dan memperngaruhi pihak lain untuk menghentikan atau menghambat pengesahan Perda KTR. Dapat diketahui bahwa "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" dan pimpinan tertinggi di DIY mampu mempengaruhi legislatif untuk tidak mengesahkan Perda tersebut.
Dalam kasus tersebut tidak terdapat konflik aktual karena pihak yang berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan konfrontasi. Dalam proses ini terlihat bahwa pemegang kekuasaan dan kelompok tertentu dengan mudah mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki.
Dalam perjalanan penyusunan perda ini diketahui bahwa media sebatas memberitakan dan memberikan informasi tentang perda. Tidak ada iklan atau berita yang mengiring masyarakat untuk memihak salah satu pihak yang pro maupun yang kontra pada ini. Para legislatif dan pegiat anti rokok dirasa kurang memanfaatkan peran media dalam menggiring masa untuk mensukseskan perda KTR.
Di sisi lain, kelompok stakeholder yang tidak mendukung pengesahan Raperda KTR memiliki pengaruh lebih besar dalam mempengaruhi. Kelompok stakeholder yang tidak mendukung Raperda KTR, antara lain pabrik rokok, perokok aktif, petani tembakau hingga kepala daerah. Pabrik rokok dan petani tembakau di DIY memiliki kepentingan dari segi ekonomi dan bisnis yang mana jika kebijakan Raperda KTR diterapkan akan mempengaruhi jumlah keuntungan yang didapat (capital power). Perokok aktif sendiri memiliki kepentingan lain, yaitu kelompok yang menjadi pelaku utama dan menjadi alasan dibentuknya Raperda KTR. DIY memiliki jumlah kelompok perokok aktif yang cukup besar sehingga suara mereka mampu menghalangi pengambilan kebijakan (social power). Informasi yang disajikan oleh media belum memberikan pandangan yang netral terhadap Raperda KTR sehingga menimbulkan banyak persepsi di masyarakat yang pada akhirnya memandang penerapan kebijakan tersebut akan lebih merugikan masyarakat dibandingkan dengan keuntungan yang dihasilkan (information power). Selain itu, Raperda KTR di DIY belum disahkan juga disebabkan oleh adanya kepentingan Kepala Daerah terkait produksi rokok mempengaruhi persepsi dan perannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan (political power). Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa penolakan pengesahan Raperda KTR dipengaruhi oleh kepentingan, posisi/jabatan, kekuatan kekuasaan dan komitmen yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder.
Oleh karena itu, agar Raperda KTR di DIY dapat disahkan perlu adanya kemampuan advokasi dan lobby yang kuat sehingga dapat memberikan pandangan jelas dan mengubah persepsi stakeholder yang tadinya tidak mendukung pengesahan kebijakan menjadi mendukung pengesahan kebijakan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan strategi perubahan kebijakan.
Adalah sangat memungkinkan konsep kekuasaan memiliki faktor kekuatan terhadap implementasi kebijakan di suatu daerah. Kekuasaan difahami sebagai kemampuan untuk mencapai hasil yang diharapkan – untuk “melakukan” sesuatu. Tiga dimensi kekuasaan diketahui bahwa kekuasaan sebagai pengambilan keputusan, kekuasaan sebagai bahan pengambilan keputusan, kekuasaan sebagai pengendali pikiran. Tiga dimensi kekuasaan memberikan cara pandang yang berbeda tentang siapa yang memegang kekuasaan dan seberapa luas pembagiannya dalam proses kebijakan. Jika pemimpin daerah/pemerintah memiliki kekuasaan dan kemampuan kendali akan aktor lainnya dalam arah persetujuan mengenai kebijakan KRT, tentunya penyusunan Raperda DIY akan bisa diimplementasikan sesuai harapan.
DIY bisa belajar dari Kulon Progo dan Gunungkidul yang telah berhasil memiliki perda KTR. Sebagai contoh, di Kulonprogo, pihak eksekutif memiliki inisiatif yang tinggi dalam mesukseskan adanya perda KTR. Dipaparkan dalam sebuah artikel, Bupati Kulonprogo menggunakan bentuk komunikasi dan gaining commitment ke banyak kelompok masyarakat (petani, ibu-ibu, ormas Muhammadiyah,dll) sampai membentuk pakta integritas sebagai bentuk pernyataan janji bersama untuk menyanggupi mematuhi aturan yang berlaku. Selain itu beliau juga diketahui intens melakukan komunikasi dengan pihak DPRD. Ketika perda ini disahkan dilakukan penghentian reklame rokok sebagai salah satu implementasi keseriusan terhadap regulasi ini, diikuti oleh pembatasan merokok, iklan dan berjualan rokok.
Sampai saat ini, informasi yang saya ketahui, perjalanan Raperda KTR DIY sampai pada kegiatan FGD dengan tema uji shahih Raperda KTR yang diadakan oleh MTCC (Muhammadiyah Tobacco Control Center). Masih akan terus ada upaya dalam menyukseskan aktualisasi dari regulasi ini. Yang perlu menjadi perhatian kedepannya adalah bagaimana akhirnya tujuan dari dibentuknya regulasi ini dapat dicapai dan dirasakan sehingga beban kerugian akibat rokok semakin berkurang. Ketika regulasi ini kemudian disahkan perlu dukungan dari seluruh pihak agar dapat diimplementasikan secara optimal. Lagi, proses monitoring dan evaluasi tentunya memiliki peranan yang sangat penting disini, untuk kemudian siapa pihak yang akan melakukan monev dan dalam bentuk apa prosesnya sehingga adanya implementasi perda mengenai KTR betul memberikan efek yang nyata bagi Yogyakarta, agar tidak hanya regulasi nya yang berhasil disahkan tetapi juga implementasinya yang penuh manfaat. Dan tentunya dukungan berbagai pihak seperti negara, organisasi masyarakat, dan perusahaan swasta dalam penyusunan kebijakan dalam satu kerangka fikir yang sama akan menghasilkan keputusan bulat dengan implikasi yang lebih besar.
Proses penyusunan Raperda KTR tidak sesuai dengan harapan? Pertanyaan ini menjadi topik diskusi minggu ini yang membahas proses penyusunan kebijakan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tahun 2012 di DIY tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang mana sampai sekarang Raperda tersebut tidak ditandatangani menjadi sebuah Perda. Penerapan KTR sebenarnya bukanlah suatu issue baru karena penerapan KTR merupakan kewajiban setiap pemerintah daerah, seperti yang tertera pada UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009.
Tetapi di DI. Yogyakarta, proses penyusunan kebijakan Raperda tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan karena adanya pertentangan dari para pemangku kepentingan, yang memiliki kekuasaan dalam menolak penetapan Raperda, baik itu pihak yang menyusun, mengadvokasi, melaksanakan hingga pihak yang terkena dampak dari kebijakan Raperda tersebut baik secara langsung maupun tak langsung, dan negatif maupun positif.
Bila kita menganalisis lebih lanjut dari pemangku kepentingan tersebut yaitu yang pertama adalah pihak masyarakat bernama “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau” yaitu kelompok petani tembakau dan pabrik rokok yang menyatakan tidak setuju pengesahan Raperda dengan alasan bahwa mereka tidak dilibatkan dalam pengembangan susunan Raperda. Selain itu dalih lain adalah pabrik produk tembakau merasa dirugikan dan seluruh mata rantai industri merugi mulai dari pedagang di toko tradisional dan modern, pekerja pabrikan rokok sekaligus petani tembakau dan cengkeh.
Pemangku kepentingan kedua adalah anggota dewan. Semisal sejumlah anggota DPRD Bantul seperti dari fraksi PDI Perjuangan, Golkar, PPP dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengaku simpati terhadap pengunjuk rasa yang menolak Raperda KTR, dan mengagendakan penolakan tersebut dalam pertimbangan pokok dalam pembahasan Raperda KTR selanjutnya bahkan berpendapat menyayangkan unjuk rasa penolakan Raperda KTR yang tidak dilakukan jauh-jauh hari karena pembahasan Raperda tersebut sudah dilembur dan bahkan telah disetujui tim inisiator yang berasal dari beberapa fraksi. (Berita Antara Yogya tanggal 13 Desember 2012). Akhirnya satu persatu fraksi di DPRD mengundurkan diri dengan alasan Raperda cacat hukum dan akan merugikan petani tembakau.
Pemangku kepentingan berikutnya adalah para pegiat anti rokok, pihak perpajakan daerah dan kepala daerah yang seyogianya menjadi publik figur pendukung KTR, tetapi sebaliknya pada tahun proses penyusunan Raperda KTR DIY, berharap agar persoalan rokok didudukkan secara hati-hati, adil, proporsional dan serta mempertimbangkan dampak sosial ekonominya. Selain itu kebiasaan beliau merokok dan memiliki merk rokok sendiri yang selalu menjadi idolanya yaitu Kraton Dalem. Rokok tersebut merupakan produk dari perusahaan rokok yang diprakasai oleh anak Sultan sendiri, diluncurkan pada tahun 2003 menggandeng PT Sampoerna Tbk sebagai konsultan dan partner (Ardini Maharani, Tribun news.com, 08 Mei 2015).
Selanjutnya media massa yang seharusnya turut sebagai penentuan agenda Raperda KTR, mengarahkan perhatian pada pokok persoalan “politik tingkat tinggi” yang mendukung kebijakan ekonomi dan pemerintahnya.
Terima Kasih
Salam KMPK
saya setuju juga tentang lobby yg saudara sampaikan kemudian memberi alternatif solusi bagi para perokok untuk tetap bisa punya hak merokok ketika Perda KTR diberlakukan, semisal membuat ruang khusus merokok di tempat kerja, atau tempat-tempat umum lainnya.
Berusaha mengomentari Raperda di DIY mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang di dalamnya diatur mengenai kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok, beberapa daerah telah menetapkan produk hukum yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok atau KTR. Tidak terkecuali dengan Kota Yogyakarta yang pada tahun 2012 menetapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) KTR sebagai Program Legislasi Daerah (Prolegda) tahun 2013. Raperda KTR tersebut diinisiasi oleh DPRD Kota Yogyakarta dengan diawali dorongan dari beberapa penggiat tobacco control yang tergabung dalam Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (FJSTT). KTR dianggap perlu diwujudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok. Sebelum masuk menjadi Prolegda, upaya untuk mengurangi jumlah perokok telah banyak dilakukan oleh Dinas Kesehatan melalui beberapa program serta kemitraan. Field Coordinator lembaga Quit Tobacco Indonesia mengatakan, pada Juli 2012 pihaknya telah mensurvei 1.032 responden tentang efektivitas pelaksaan Peraturan Gubernur DIY Nomor 42 Tahun 2009 tentang kawasan dilarang merokok itu di lima kabupaten Kota DIY. Hasilnya, mayoritas responden (90,3 persen) responden menyatakan peraturan gubernur tak berjalan.Padahal, 96,3 persen responden setuju atas dibentuknya perda kawasan tanpa rokok. Hanya 1,8 persen yang menolak. Tetapi hal ini tidak cukup kuat untuk mempengaruhi dipercepatnya masa penetapan pelaksanaan Raperda, hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya analisa daya kemungkinan (potensi) konflik dan aktor-aktor pembuat kebijakan yang terlibat. Peran swasta dalam penentuan dan penentuan agenda setting pun tidak main-main. Perusahaan rokok besar dan petani rokok merupakan aktor-aktor yang sedikit banyak merupakan penentang keras pemberlakuan Raperda ini. Banyak sekali kepentingan yang mereka suarakan apabila Raperda ini disahkan dan dilaksanakan. Peraturan yang ada seharusnya memuat kepentingan banyak orang baik itu perokok dan bukan perokok, karena kalau dikembalikan ke hakikatnya setiap orang memiliki hak sebagai manusia untuk dapat melakukan apa yang mereka inginkan (merokok). Akhirnya setelah melalui proses yang panjang, pada 1 April 2016 Raperda KTR mulai diberlakukan di lingkungan kantor pemerintah kota, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan di Yogyakarta (Antara News, 3 Maret 2016)
Terima Kasih
Kembali terhadap kasus DIY, kebijakan tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) dianggap lemah karena adanya perbedaan kepentingan antar kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut akan dirugikan ketika diberlakukan KDR. Pelaku kebijakan “leader” kemungkinan besar bagian dari kelompok-kelompok tersebut. Artinya kekuasaan dan kewenangan yang mereka miliki sama kuatnya, sehingga mengabaikan tujuan utama pembuatan kebijakan tersebut.
Terima kasih.
Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 pada Bagian Ketujuh Belas tentang Pengamanan Zat Adiktif (tembakau), ditekankan pada pasal 115, setiap pemerintah daerah WAJIB menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya.
Pasal ni sudah merupakan dasar hukum yang kuat untuk pengesahan Raperda KTR di DIY. Namun dengan adanya pertentangan antar aktor yaitu Kepala Daerah, DPRD, para pengusaha pabrik rokok, Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau, pemerhati FJSTT, yang masing-masing dengan latar belakang berbagai kepentingan, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya, mengakibatkan Raperda ini tidak dilanjutkan keberadaannya sampai sekarang.
Mengutip dari pembahasan soal diatas, dan keberhasilan dari kabupaten tetangga DIY yang telah memilik Perda KTR, saya lebih menekankan pada advokasi dan lobby/negosiasi.
Menurut KBBI, lobi/negosiasi adalah suatu upaya pendekatan yang dilakukan oleh satu pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk memperoleh dukungan dari pihak lain yang dianggap memiliki pengaruh atau wewenang dalam upaya pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Tujuan dikatakan tercapai apabila negosiasi yang dilakukan dapat menemukan suatu solusi/jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak yang berselisih.
Perlu adanya lobi “lagi” antara pihak-pihak yang terkait dalam penandatangan Ranperda KTR ini, yaitu Kepala Daerah, DPRD, para pengusaha pabrik rokok, Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau, serta stakeholder lain, untuk menemukan suatu solusi yang menguntungkan semua pihak, demi terwujudnya Kawasan Tanpa Rokok di DIY tercinta ini.
Terima kasih.
Dalam Pergub 42 tahun 2009 di DIY tentang kawasan dilarang merokok, belum di lakukan karena terdapat stakeholder yang tidak diikutkan dalam pembahasan perda tersebut kemudian melakukan protes, sehingga sampai saat ini belum disahkan. Dan perda KTR di DIY harus ada karena merupakan amanat dari UU 36 tahun 2009. Selanjutnya dalam penyusunan perda diketahui bahwa media massa hanya sebatas memberikan informasi ke masyarakat. Seharus nya peran serta masyarakat, organisasi, dan perusahaan swasta sangat dibutuhkan dalam penyusunan kebijakan. Adanya komponen masyarakat yang bernama “ masyarakat kretek dan petani tembakau” yang ikut juga memprotes dengan pembuatan perda tersebut juga berpengaruh terhadap perda yang sampai sekarang tidak disahkan. Berdasarkan analisis di ats dapat disimpulkan terjadi penolakan pengesahan raperda yang dipengaruhi oleh kepentingan golongan bukan masyarakat, dan kekuatan kekuasaan yang dimiliki stakeholder.
Menurut George. R.Terry menjelaskan dasar – dasar pengambilan keputusan yang berlaku :
1. Institusi
Keputusan yang diambil bersifat subjektif yaitu mudah terkena sugesti, pengaruh luar, dan faktor kejiwaan lain. Sifat subjektif dari keputusuan intuitif ini terdapat beberapa keuntungan, yaitu :
1. Pengambilan keputusan oleh satu pihak sehingga mudah untuk memutuskan.
2. Keputusan intuitif lebih tepat untuk masalah-masalah yang bersifat kemanusiaan.
Pengambilan keputusan yang berdasarkan intuisi membutuhkan waktu yang singkat Untuk masalah-masalah yang dampaknya terbatas, pada umumnya pengambilan keputusan yang bersifat intuitif akan memberikan kepuasan. Akan tetapi, pengambilan keputusan ini sulit diukur kebenarannya karena kesulitan mencari pembandingnya dengan kata lain hal ini diakibatkan pengambilan keputusan intuitif hanya diambil oleh satu pihak saja sehingga hal-hal yang lain sering diabaikan.
2. Pengalaman
Dalam hal tersebut, pengalaman memang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah. Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan praktis. Pengalaman dan kemampuan untuk memperkirakan apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu dalam memudahkan pemecaha masalah.
3. Fakta
Keputusan yang berdasarkan sejumlah fakta, data atau informasi yang cukup itu memang merupakan keputusan yang baik dan solid, namun untuk mendapatkan informasi yang cukup itu sangat sulit.
4. Wewenang
Keputusan yang berdasarkan pada wewenang semata maka akan menimbulkan sifat rutin dan mengasosiasikan dengan praktik dictatorial. Keputusan berdasarkan wewenang kadangkala oleh pembuat keputusan sering melewati permasahan yang seharusnya dipecahkan justru menjadi kabur atau kurang jelas.
5. Rasional
Keputusan yang bersifat rasional berkaitan dengan daya guna. Masalah – masalah yang dihadapi merupakan masalah yang memerlukan pemecahan rasional. Keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan rasional lebih bersifat objektif. Dalam masyarakat, keputusan yang rasional dapat diukur apabila kepuasan optimal masyarakat dapat terlaksana dalam batas-batas nilai masyarakat yang di akui saat itu.
Menurut saya, pada proses penyusunan kebijakan RAPERDA di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan dikarenakan adanya pertentangan masyarakat pelaku atau actor. Yang terdiri dari pemerintah Yogyakarta, DPRD Yogyakarta, badan legeslatif Yogyakarta, masyarakat kretek dan petani tembakau. Dan pada nilah tidak terjadi pesetujuan terhadap perda KTR. Hal ini dikarenakan para actor yang tidak singkron antara para power yang malah mempunyai kepentingan masing-masing dan para social power seperti masyarakat kretek dan petani tembakau yang tidak di libatkan dalam penyusunan RAPERDA nya, sehingga para social power tersebut akan merasa dirugikan karena tidak mengetahui isi kandungan dari kebijakan RAPERDA tersebut, mereka akan memiliki persepsi mereka bahwa raperda tersebut malah dapat merugikan. Para social power masyarakat kretek dan petani tembakau akan merasakan kerugian disebabkan tidak adanya income kembali dan para power ini juga menjadi terpecah karena ada yang pro dengan adanya kebijakan ini dan ada yang kontra karena memihak para masyarakat kretek dan petani tembakau karena menganggap Pergub 42 Tahun 2004 ini kurang berguna sehingga timbul adanya lobbying dari marketing atau pihak pihak social power pengusaha rokok yang ternama kepada pihak pihak power yang berkuasa sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kebijakan ini. Harapanya dalam membuat sebuah kebijakan atau penyusunan Raperda KTR kota Yogyakarta yang terdiri dari IX BAB dan 28 Pasal ini bisa dibahas secara tuntas dan di tinjau serta di evaluasi kemabali dengan melibatkan para stakeholder atau aktor-aktor seperti masyarakat dan petani tembakau serta pabrik rokok dapat menyampaikan inspirasi mereka sehinggaa dapat ditemukan sebuah kesepakatan dalam penetapan perda tersebut. Sehingga dapat tercapainya tujuan dari Pergub No 42 Tahun 2004 yaitu bagaimana cara agar pemerintah biasa menyelamatkan masyarakat Yogyakarta dari dampak rokok.
Terima kasih
Saat ini seluruh kabupaten dan kota yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah memiliki regulasi dalam hal itu, meski bentuk regulasinya berbeda-beda. Peraturan pemerintah Provinsi DIY tentang kawasan tanpa rokok belum terlalu populer di masyarakat jangankan masyarakat biasa pimpinan instansi dan staf pemerintah serta sektor swasta dan pemuka agama pun banyak yang belum tahu. Padahal peraturan (Pergub) No. 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) ini, sudah di sosialisasikan oleh pemerintah Provinsi DIY setahun sebelum penetapan 2009. Kenapa peraturan tentang kawasan tanpa rokok atau kawasan dilarang merokok tidak efektif ? ini dikarenakan tidak ada penegakan hukum yang kuat terhadap Peraturan Gubernur ini, sehingga dalam pelaksanaan banyak yang menganggap PerGub tentang KDM/KTR ini hanyalah angin lalu. Ini perlunya peraturan daerah (PerDa) tentang kawasan tanpa rokok untuk memaksimalkan penegakkan aturan yang telah dibuat dengan adanya PerDa tentang kawasan tanpa rokok ini, tingkat kesehatan masyarakat akan meningkat. Namun ada saja hambatan mengenai kawasan tanpa rokok ini mulai dari pabrik rokok, petani tembakau, hingga anggota dewan yang kurang paham yang bertugas menjaga kesejahteraan rakyat dalam hal ini kesehatan masyarakat. Hal ini yang membuat peraturan kawasan tanpa rokok di Provinsi DIY menjadi lemah karena kurangnya peran atau perhatian dari pemerintah daerah dan anggota legislatif sebagai pengambil/pembuat keputusan serta tokoh-tokoh masyarakat, karena dukungan dari semua pihak terhadap penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di daerah sangatlah penting.
Di Provinsi DIY sudah ada beberapa kota/kabupaten yang menerapkan peraturan tentang kawasan tanpa rokok yang dilakukan secara bertahap seperti Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Yogyakarta meskipun baru diterapkan di beberapa tempat dan akan dijalankan secara bertahap. Di Kabupaten Kulon Progo telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dengan aturan itu Pemerintah Kulon Progo tidak lagi bekerja sama dengan para industri rokok di segala bidang dan sudah tidak ada lagi spanduk, baliho atau umbul-umbul rokok yang terpasang di seluruh wilayah Kulon Progo. Sementara itu di Kabupaten GunungKidul juga telah menerapkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok, dengan adanya PerDa ini Pemerintah GunungKidul mengharapkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok di tempat-tempat umum untuk terciptanya udara yang baik dan sehat.
Domain kawasan tanpa rokok (KTR) menurut UU Nomor 36 tahun 2009 ada tujuh jenis yakni fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang di tetapkan. Dengan adanya UU Nomor 36 Tahun 2009 tersebut diharapkan pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait dapat mendukung dan menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), agar tingkat kesehatan masyarakat dapat meningkat dan masyarakat bisa hidup lebih sehat.
Terima Kasih, mohon di koreksi apabila ada kekurangannya.
Saat ini seluruh kabupaten dan kota yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah memiliki regulasi dalam hal itu, meski bentuk regulasinya berbeda-beda. Peraturan pemerintah Provinsi DIY tentang kawasan tanpa rokok belum terlalu populer di masyarakat jangankan masyarakat biasa pimpinan instansi dan staf pemerintah serta sektor swasta dan pemuka agama pun banyak yang belum tahu. Padahal peraturan (Pergub) No. 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) ini, sudah di sosialisasikan oleh pemerintah Provinsi DIY setahun sebelum penetapan 2009. Kenapa peraturan tentang kawasan tanpa rokok atau kawasan dilarang merokok tidak efektif ? ini dikarenakan tidak ada penegakan hukum yang kuat terhadap Peraturan Gubernur ini, sehingga dalam pelaksanaan banyak yang menganggap PerGub tentang KDM/KTR ini hanyalah angin lalu. Ini perlunya peraturan daerah (PerDa) tentang kawasan tanpa rokok untuk memaksimalkan penegakkan aturan yang telah dibuat dengan adanya PerDa tentang kawasan tanpa rokok ini, tingkat kesehatan masyarakat akan meningkat. Namun ada saja hambatan mengenai kawasan tanpa rokok ini mulai dari pabrik rokok, petani tembakau, hingga anggota dewan yang kurang paham yang bertugas menjaga kesejahteraan rakyat dalam hal ini kesehatan masyarakat. Hal ini yang membuat peraturan kawasan tanpa rokok di Provinsi DIY menjadi lemah karena kurangnya peran atau perhatian dari pemerintah daerah dan anggota legislatif sebagai pengambil/pembuat keputusan serta tokoh-tokoh masyarakat, karena dukungan dari semua pihak terhadap penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di daerah sangatlah penting.
Sebenarnya amanat untuk membuat kawasan tanpa rokok secara jelas telah tertuang dalam UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat (2) yang menyatakan bahwa: ”Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya”. Termasuk juga untuk Kota Yogyakarta yang mau tidak mau harus memiliki peraturan perundangan yang mengatur tentang KTR. Walaupun proses formalisasi kebijakan pengendalian asap rokok yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok saat ini telah memasuki tahap program legislasi daerah (Prolegda), namun masih belum ada kepastian raperda tersebut akan disahkan. Sejatinya Raperda tentang KTR bukan untuk melarang orang merokok, hanya mengatur tempat untuk merokok agar dapat menciptakan kenyamanan bagi semuanya. Meskipun dalam proses tersebut masih terdapat pro dan kontra dari kalangan internal dewan, namun formalisasi kebijakan tersebut dinilai penting untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, kebersihan lingkungan dan beberapa alasan lain.
Dalam perjalanannya, isu mengenai rokok mengalami multitafsir, memuat banyak kepentingan politik, mengalami pasang surut, dan juga menuai pro kontra. Namun demikian, hal yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa dalam Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok tersebut tidak melarang orang merokok. Perda tersebut hanya mengatur dan menata kawasan mana saja yang tidak boleh terpapar asap rokok. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat non perokok dan terutama kelompok rentan.Bagaimanapun akhirnya, perjalanan inisiasi isu perlindungan masyarakat terhadap asap rokok hingga menjadi sebuah agenda kebijakan merupakan suatu hal yang penting. Ketika sebuah masalah publik bertahan sekian lama dan belum ada solusi nyata, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya menjadi sebuah kebijakan.
(1) Dalam dimensi kekuasaan, apa yang dilakukan oleh DPRD DIY dengan menarik kembali dukungan terhadap pembahasan Raperda KTR karena adanya protes dari kelompok yang tidak setuju (Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau) merupakan bentuk kekuasaan dari dimensi "pluralisme". Menurut teori ini kekuasaan tersebar diseluruh masyarakat tanpa ada yang memegang kekuasaan mutlak sehingga negara (Pemerintah Propinsi dan DPRD DIY) memutuskan diantara kepentingan-kepentingan yang bersaing. Meskipun demikian ini juga bisa dilihat dalam dimensi "pilihan rakyat", dimana para anggota DPRD berusaha memfasilitasi kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai modal dan sumber daya yang kuat untuk tetap terpilih sebagai anggota DPRD pada Pemilu berikut.
(2) Dari contoh kasus, kita juga bisa melihat bahwa kemudian proses advokasi menjadi terhambat oleh upaya somasi yang dilakukan kelompok penentang Perda KTR terhadap kelompok pendukung KTR. Ini bisa berarti efektivitas advokasi yang dilakukan belum maksimal. Ada stakeholder-stakeholder yang masih luput dari sasaran advokasi. Keterlibatan media dibutuhkan disini untuk menyampaikan secara detail ketentuan-ketentuan dalam Raperda tersebut, walaupun sebenarnya banyak media yang digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pada tahap ini telah terjadi pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pertarungan terjadi antara Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT), Pemprov, dan Dinas kesehatan yang melihat sisi positif apabila diterapkan Raperda tersebut Dengan kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang menolak penandatangan Raperda, dimana dalam perspektif ekonominya menganggap merugikan masyarakat dan petani tembakau serta pengusaha/pabrik rokok dalam hal pendapatan. Disinilah terjadi tarik menarik kepentingan antara pelaku (actor) yang mendukung kebijakan dan yang menolak kebijakan.
Maka perlu suatu tindakan untuk memperbaiki proses-proses kebijakan (proses-proses pengambilan kebijakan yang adil dengan melibatkan semua stakeholder dan mereka diberikan kesempatan untuk mengemukakan pandangan yang mempengaruhi kebijakan). Untuk itu ada cara-cara lain yang ditempuh untuk mengurangi prasangka, misalnya dengan metode triangulasi, sumber informasi dan hasil-hasil uji coba bersama kolega sehingga semua pihak belajar menerima fakta sehingga hasil-hasil analisis kebijakan tidak akan menimbulkan prasangka lagi.
Untuk itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan serta lobby kepada pihak-pihak tersebut guna meluruskan dan menyamakan persepsi atas kebijakan ini agar dapat dilegalisasi dan diberlakukan secara luas.
2. Tidak semua pengambil kebijakan didukung oleh sumber-sumber dana (distribusi kekuasaan dan ekonomi), pihak-pihak yang memiliki sumber daya politik kemungkinan besar mendanai analisis kebijakan tetapi pengaruhnya bisa berimbas pada siapa yang akan menggunakan analisis dan bagaimana hal itu digunakan. Kelompok yang mempunyai sumber daya politik menempati posisi yang lebih baik dalam mengembangkan strategi-strategi politik untuk mengatur : posisi, para pengambil kebijakan, kekuasaan dan persepsi seputar kebijakan. Dalam hal ini "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang didukung oleh pengusaha/pabrik-pabrik rokok mempunyai sumber daya ekonomi dan politik yang lebih baik untuk mempengaruhi kebijakan.
Stakeholder yang mendukung peraturan perda KTR memang tidak banyak, jika dirinci hanya ada kurang lebih 3 stakeholder seperti, Dinas Kesehatan, LSM anti rokok dan ormas-ormas lain yang mendukung perda KTR. Sedangkan jika dibandingkan dengan stakeholder yang menolak, jelas kurang jumlah. Maka setelah membaca berbagai literatur ada beberapa hal yang bisa disimpulkan
1. Petani tembakau disini sebagai stakeholder yang memiliki peran penting dalam menolak perda KTR. Dimana mereka sebagai aktor utama yang menanam cikal bakal rokok itu. Setelah saya membaca berbagai literatur, ternyata ada peraturan SK Mentan no 127/KTSP/SR/120/2/2007 tentang tembakau rajangan varietas bligon 1. Dengan adanya SK ini berarti petani tembakau memiliki perlindungan hukum yang kuat untuk menanam bahan utama rokok (meski tidak semua tembakau dijadikan rokok). Jika ada perda Kawasan Tanpa Rokok, sama artinya dengan menentang peraturan SK Mentan ini. Alhasil untuk melobi stakeholder (petani) memang tidak mudah, selain faktor diatas, alasan yang sering dikemukakan untuk menentang perda KTR ini adalah memutuskan jalur pendapatan petani, karena memang faktanya, tanaman yang bisa tumbuh subur jika musim hujan ataupun kemarau adalah tembakau. Maka dari itu untuk melobi petani supaya bisa ke arah netral atau bahkan ke arah ‘mendukung’ harus diselesaikan mulai dari permasalahan yang di hulu.
2. Selanjutnya pemikiran saya secara pribadi, untuk memperkuat lobi Perda KTR, perlu ditambahkan data-data, stakeholder pendukung (Dinas Kesehatan maupun ormas pendukung) menganalisis biaya yang dikeluarkan pemerintah setempat untuk menyembuhkan masyarakat yang ‘sakit karena dampak rokok’, kemudian dibandingkan dengan pendapatan pemda hasil dari cukai rokok tersebut. Meski tidak mudah, namun dengan data-data yang jelas “berapa pendapatan yang diterima pemda dibandingkan berapa pengeluaran pemda untuk biaya penyembuhan penduduk yang sakit akibat rokok”, proses lobi dan advokasi perda KTR ini bisa dipertimbangkan kembali, terlepas dari kekuatan sang aktor utama di DIY.
Terimakasih, kurang lebihnya mohon dimaklumi.
Dari referensi yang saya baca, tahapan analisis pemangku kepentingan meliputi: (1) Identifikasi latar belakang pemangku kepentingan seperti: posisi, sumber daya, kepemimpinan dan pengetahuan; (2) identifikasi kepentingan; (3) analisis pengaruh pemangku kepentingan; dan (4) identifikasi resiko dan antisipasi manajemen resiko.
Kira-kira ini catatan tambahan tentang kurang berhasilnya advokasi pembuatan Perda KTR di Propinsi DIY selain yang disebutkan teman-teman sebelumnya. Terima kasih.
1. Seberapa Penting Kebijakan
Untuk menilai suatu kebijakan itu penting atau tidak maka yang harus dilakukan adalah menilai seberapa besar dampak kebijakan terhadap masyarakat. Kaitannya dengan proses penyusunan kebijakan Raperda KTR di Provinsi DIY, dinilai tidak berjalan sesuai dengan harapan. Sebagaimana yang terlihat dalam hasil studi yang telah dilakukan oleh QTI atau Quit Tobacco Indonesia (salah satu pegiat pengendalian tembakau) terhadap 1032 responden tentang efektivitas PerGub dan pengamatan terhadap beberapa tempat merokok dan menemukan bahwa 90,3% responden menyatakan peraturan tidak efektif walaupun 96,3% menyatakan setuju dengan PerGub tersebut (dan hanya 1,8% yang menolak). Dengan begitu kita dapat melihat bahwa peluang dari sustainability kebijakan tersebut lemah.
Terlepas dari itu semua, yang seharusnya menjadi pusat perhatian kita adalah seberapa penting kebijakan dan dampaknya terhadap masyarakat, mengingat masyarakat memerlukan perlindungan terhadap kesehatannya, yang kesemuanya itu merupakan tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah. Dengan demikian, kebijakan KTR di Provinsi DIY diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik dan dengan sistem pengawasan yang baik pula.
2. Sistem Politik Yang Berlaku
Berbicara mengenai sistem politik yang berlaku di Indonesia maka akan berkaitan dengan bentuk kekuasaan yang ada. Merujuk pada kasus di atas yaitu: kebijakan Raperda KTR di Provinsi DIY yang tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor) dan kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis maka bentuk kekuasaan yang ada merupakan bentuk kekuasaan sebagai bahan pengambilan keputusan. Hal tersebut disebabkan oleh kekuasaan berada pada seorang Sultan yang merupakan seorang yang paling ditaati khususnya di DIY yang dalam hal ini memiliki kepentingan individu (memiliki aset pada perusahaan rokok) untuk menolak dicetuskannya kebijakan KTR. Selain itu, dalam skala nasional kebijakan tentang KTR banyak ditentang oleh para oposisi kebijakan yang tentunya juga memilki sebuah kepentingan di dalamnya. Mereka mampu menganalisis dan menguasai kekuatan politik dengan melakukan pengendalian pikiran di mana dalam hal ini mereka menggunakan kekuasaan sebagai pengendali pikiran. Misalnya perusahaan rokok memberikan banyak beasiswa untuk para pelajar dan mahasiswa yang umumnya merupakan perokok dan gencar menggunakan media massa untuk mempromosikan produk-produk rokok, dan memplesetkan kata-kata peringatan pada bungkusan rokok dengan kata ”Merokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan” yang seharusnya diganti dengan kata akan, walaupun terkesan sepele namun hal itu bisa mengubah persepsi seseorang terhadap rokok dan masih banyak lagi usaha-usaha yang dilakukan oleh kaum oposisi untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Dengan demikian diperlukan suatu advokasi atau lobby yang lebih agresif dan terus menerus dari yudikatif ke legislatif untuk pelaksanaan kebijakan KTR di Provinsi DIY sebagaimana yang telah dilakukan oleh daerah Kulon Progo dan Gunung Kidul.
Terima Kasih
Lalu untuk mewujudkan amanat UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 115 Ayat 2, yang menyebutkan bahwa setiap daerah wajib menetapkan KTR sesuai dengan peraturan perundangan di daerahnya) dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif, pembahasan mengenai regulasi/peraturan daerah yang mendukung KTR terus bergulir walaupun belum membuahkan hasil. Maka pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2009 telah merencanakan sebuah Perda yang membahas tentang KTR. Seperti yang diungkapkan oleh Sadar Narimo, S.Ag, SH “Rancangan Peraturan Daerah tentang KTR yang telah masuk dalam Prolegda selama empat kali tetapi belum dapat disahkan karena masih terjadi perdebatan kepentingan antar fraksi (28 Mei 2014, www.dprd-diy.go.id) Berita di atas menunjukkan bahwa Raperda KTR DIY telah mengalami kebuntuan sebanyak 4 kali karena belum berhasil ditetapkan sebagai Perda, dan masih menjadi sebuah Raperda yang dimasukkan dalam Prolegda di tahun 2014, bahkan sampai dengan Prolegda tahun 2016.
Menurut Agus Mulyono dari Fraksi Golkar, banyak pasal yang terkesan ngawur dan dibuat-buat. Misalnya, ada pasal yang berbunyi: Tidak ada kawasan untuk merokok. “Pasal ini sangat ekstrim dan menunjukkan tidak adanya proses diskusi,” ujar Agus,. Sedangkan Ketua Fraksi Demokrat Putut Wiryawan melihat penolakannya atas Raperda ini tidak ditunggangi kepentingan apapaun. Meski tak merokok, Putut melihat kepentingan dalam raperda ini harus mengakomodasi hak perokok, juga melihat keberadaan pihak yang selama ini menganggtungkan perekonomiannya dari industri kretek. “DIY punya ribuan buruh yang bekerja di pabrik rokok. Selain itu juga asongan yang mengandalkan hidupnya pada berjualan rokok. Kepentingan ini tetap harus masuk,” kata dia (Tempo, Jumat 14 Desember 2012). Menurut saya keterwakilan masyarakat baik itu konstituen sebagai suatu kesatuan yang diwakili Anggota Dewan dalam sebuah parpol(fraksi) maupun keterwakilan individu ataupun kelompok yang memiliki kepentingan terhadap KTR yang berada pada posisi akan menerima atau menolak beberapa atau keseluruhan ketentuan (pasal maupun ayat) yang sedang dirancang penyusunannya.
Hal ini menunjukkan begitu banyak pihak yang berkepentingan dalam penyusunan peraturan tersebut. Pihak-pihak ini antara lain pemerintah dan jajarannya baik legislatif dan eksekutif, LSM-LSM, Pemerhati Kesehatan, Pemerhati Konsumen, Pengusaha dan Pedagang Rokok, Petani tembakau, dan sebagainya. Pembahasan regulasi yang mengatur tentang pengendalian penyakit akibat merokok dan paparan asap rokok ini di skala nasional pun banyak menemui kendala. Hal ini seperti yang diungkapkan Sekretaris Forum JSTT, V. Sri wijiyati: “...PP Nomor 109 Tahun 2012. Itupun tertundanya sudah lama. Dari tahun 2009, diundangkan baru tahun 2012. Dulu dan salah satu PP yang legal draftingnya muter-muter pembahasannya karena harus diketahui ditandatangani oleh menteri keuangan, menteri pertahanan keamanan, padahal hubungannnya apa. Itu salah satu PP yang paling panjang prosesnya.” Kendala-kendala yang dihadapi tentunya berkaitan erat dengan kekuasaan, kepentingan dan hegemoni (3 dimensi kekuasaan) dari beberapa pihak yang sedang terlibat pada kondisi pro dan kontra pembahasan regulasi KTR. Sebelum diinisiasi menjadi Prolegda, Raperda KTR di DIY merupakan wujud perjuangan yang diinisiasi oleh berbagai lembaga dan institusi, beberapa di antaranya adalah Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (FJSTT) yang di dalamnya memuat berbagai macam NGO yang berada di Yogyakarta, sperti: Perkumpulan IDEA, PLIP Mitra Wacana, Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Cabang DIY, GEBRAK, REWANG, LAKPESDAM NU PC Bantul, PKK Kota Yogyakarta, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) DIY, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Forum Pelajar Nusantara (FPN) Yogyakarta, Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), dan beberapa organisasi lainnya. Sedangkan pihak yang kontra adalah pengusaha dan pedagang rokok serta petani tembakau yang juga tergabung dalam suatu komunitas atau forum tertentu.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 13 tahun 2012 tentang kewenangan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yakni bentuk dan susunan pemerintahan DIY menganut sistem desentralisasi asimetris yang menggabungkan sistem monarki dalam kelembagaan informal pemerintahan daerahnya, dengan tetap memegang erat nilai-nilai keistimewaan dari asal-usul kerajaan (Janah M, 2014). Oleh karena adanya sistem monarki di kelembagaan informal, maka dalam hal kebijakan kesehatan, teori elitisme berperan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan penguasa . Dalam kasus KTR ini, kelompok kepentingan muncul yakni antara kelompok pro KTR (Dinas Kesehatan, organisasi masyarakat JSTT) dengan kelompok yang tidak setuju KTR (masyarakat kretek petani tembakau, perusahaan swasta/industri rokok, perokok) namun keduanya tidak memiliki akses yang sama terhadap proses penyusunan kebijakan. Advokasi dan lobbying yang lebih kuat yang akan lebih banyak mempengaruhi keputusan sang penguasa yakni Pemerintah Daerah. Sayangnya disini kelompok yang kontra KTR lebih banyak berpengaruh terhadap kebijakan dibanding kelompok pro KTR dengan argument-argumen terhadap nasib petani tembakau. Tujuan dari peraturan KTR bukan untuk melarang merokok, tetapi menjaga agar semua orang memperoleh udara yang berkualitas baik dan mengurangi dampak buruk merokok dengan menyediakan tempat/bilik merokok, dan poin-poin lain yang sebenarnya tidak benar-benar mematikan nasib petani tembakau. Pada tahun 2013 beberapa partai dalam DPRD mengundurkan diri untuk keputusan peraturan KTR karena protes masyarakat kretek mengindikasikan terdapat kepentingan. Sejatinya, Kekuasaan berfungsi untuk mempengaruhi orang lain dengan membentuk keinginan mereka (Buse). Jadi sebenarnya apabila pihak-pihak yang memiliki kekuasaan (Kepala Daerah, Pemda) itu memiliki komitmen yang kuat untuk membuat kebijakan KTR dengan tujuan demi kesehatan masyarakat maka undang-undang yang sudah disusun akan disahkan. Hal ini memiliki arti Pemda tidak memiliki komitmen untuk kesehatan masyarakat. Disini peran media ikut berpengaruh terhadap opini-opini di masyarakat terkait bahan untuk membuat kebijakan maupun sebagai diseminasi kebijakan yang telah dibuat. Sehingga menurut saya dapat dimanfaatkan oleh pihak pro KTR untuk pengalihan “isu” bahwa apakah pemerintah DIY komitmen terhadap kesehatan masyarakatnya akibat rokok atau tidak. Sehingga masyarakat luas akan dapat menilai kondisi tersebut sehingga harapannya dapat menjadi bahan pengambilan keputusan sang penguasa (Kepala Daerah).
Mengapa kelompok kontra KTR terutama sektor swasta (Perusahaan/industri rokok) menjadi pelaku kuat dalam mempengaruhi kebijakan politik? Yakni karena perusahaan atau swasta memberi pemerintah pendapatan berupa pajak. Jadi bisa dikatakan terdapat “simbiosis mutualisme” antara sektor swasta dan pemerintah. Oleh sebab itu, PR penting kita adalah bagaimana cara membuat para stake holder yang kontra KTR dimana memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi kebijakan dapat beralih menjadi pihak yang mendukung KTR bersama interesest group. Interest group didominasi oleh masyarakat yang bukan perokok. 96,3% masyarakat menyatakan setuju dengan PerGub tersebut, hanya 1,8% yang menolak. Sehingga dengan penyadaran kepada masyarakat yang terus menerus terhadap kesehatan dan bahaya merokok dengan dukungan media seperti yang saya kemukakan sebelumnya, sehingga masyarakat dihimpun untuk bersatu memberikan suara terhadap KTR sehingga akhirnya memiliki kekuatan yang besar, harapannya stake holder yang kontra KTR dapat mendukung KTR untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Sekian pendapat saya, mohon koreksinya apabila terdapat kesalahan. terimakasih.
Seperti pada Gunung Kidul, seharusnya pemerintah DIY optimistis, keberadaan perda tersebut tidak akan mengurangi pendapatan daerah melalui bagi hasil cukai rokok. Seperti di Gunung Kidul Sebab dari hasil penerimaan secara nasional terus mengalami peningkatan, misalnya di 2011 penerimaanya sebesar Rp77 triliun, sedang di tahun ini sebesar Rp116,3 triliun. “Dari jumlah tersebut, Gunungkidul mendapatkan bagi hasil sebesar Rp34,7 miliar,” Dan petani tembakau di daerah ini juga tidak perlu khawatir dengan keberadaan dengan keberadaan perda ini. Sebab, larangan ini tidak mengatur bagi petani untuk menanam tembakau. “Tidak usah khawatir karena masyarakat tetap bisa menanam,” Hanya yang diperlukan aturan yang jelas terhadap kawasan yang bebas dari asap rokok. “Kalau untuk fasilitas pendidikan dan kesehatan itu sudah jelas. tapi untuk kawasan perkantoran, apakah ini radiusnya lima meter atau hingga pagar batas kantor, dan ini harus dijelaskan, dan jangan sampai aturan tersebut malah berpotensi menurunkan omzet para pedagang”.
• Seharusnya pemerintah melupakan ego sektoral untuk bersama-sama memberi solusi terhadap pemecahan masalah terkait dampak buruk rokok. Kurang baiknya jalinankomunikasi antar lembaga pemerintah, khususnya antara eksekutif dan legislatif justru merupakan salah satu hambatan yang cukup berarti, mengingat masyarakat sudah mulai kritis. dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Untuk itu, seharusnya komunikasi antara legislatif dan eksekutif dapat terjalin dengan lebih baik. Khususnya bagi legislatif yang selama ini terkesan terlalu politis dalam mendefinisikan masalah dan dalam setiap aspek kebijakan.
• Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, baik itu dari kalangan akademisi, ornop maupun kelompok masyarakat di Kota Yogyakarta harus mampu menjaga keberlanjutan usahanya dengan tetap menjaga
kredibilitas dan tetap menomorsatukan kepentingan rakyat dengan tetap mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Mungkin akan jauh lebih baik lagi bila masyarakat lebih intens dilibatkan dalam setiap tahapan advokasi kebijakan ataupun program-program riil lainnya.
• Untuk penelitian selanjutnya agar melakukan penelitian tentang mekanisme politik yang terjadi di internal legislatif dalam penyusunan peraturan daerah, agar mampu memahami sejauh mana kepentingan politik mempengaruhi proses maupun substansi dari peraturan daerah tersebut. Mengingat dalam konteks raperda KTR ini banyak anggapan dari lembaga di luar dewan yang berasumsi bahwa raperda KTR dipengaruhi oleh kepentingan politik sehingga menyebabkan beberapa kendala dan hambatan dalam proses pembentukannya.
Jangan lagi ada anggapan jika raperda tetap KTR maka akan mematikan industri rokok di Kota Jogja. Mulai dari pedagang asongan penjual rokok hingga toko-toko yang menjual rokok. ”Industri rokok ini sangat besar. Dari mulai petani produksi tembakau sampai dengan penjual eceran. terhambatnya penyelesaian Raperda KTR menjadi Perda memang didasari oleh berbagai pandangan. Salah satunya karena ada beberapa pihak yang beranggapan pengesahan Raperda ini akan berpengaruh terhadap penurunan pendapatan daerah dari cukai rokok. Meski ada tekanan dari Fraksi PDI Perjuangan yang menarik semua anggota Pansus, pembahasan tak terpengaruh. Jangan karena ada tekanan dari industri rokok terhadap wakil rakyat di DPRD Kota Jogja dan pemkot menghambat Perda ini untuk diterbitkan
Belum lagi, beberapa tempat selain yogyakarta, seperti yang disebutkan teman-teman di atas juga telah berupaya melakukan penggalakan regulasi serupa di wilayahnya cakupan, entah itu kecamatan atau tingkat desa. Dan dalam hal ini peran leader yang mampu memiliki kekuasaan dan kewenangan yang tinggi sangat mempengaruhi aturan tersebut dijalankan. Leader yang mampu merangkul stakeholder yang ada dan bersama mencari solusi terbaik terhadap hal-hal yang dirasa agak akan menjadi penghalang. Semoga kedepannya DIY akan terus belajar dari sekitar dengan dukungan banyak masyarakat untuk implementasi raperda ini.
Melihat kasus Raperda KTR di DIY yang tidak berjalan sesuai harapan, juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan dari berbagai pihak. Ada perang pengaruh antara pemerintah dalam hal ini DPR dan sektor kesehatan dengan pihak ‘grass root’ yaitu masyarakat tembakau dan pabrik rokok sendiri. Terlihat ada dimensi kekuasaan Implisit yaitu dimana ‘grass root’ memiliki pengaruh yang tidak dapat dilihat secara nyata dalam kekuasaan tetapi dapat dirasakan. Hal ini menjadi langkah awal yang penting untuk mengawali sebuah kebijakan. Maka diharapkan ada analisis stakeholder yang lebih detail di DIY sebelum melanjutkan proses pengesahan Perda KTR ini yang merupakan turunan Pergub dan segala dasar peraturan yang sudah cukup jelas mengatur adanya kawasan tanpa rokok di daerah. Terkait siapa siapa saja yang punya andil dalam rokok dan tembakau harus ada usaha pelibatan dari pemerintah yang memiliki kekuasaan Yuridis di DIY. Agar tidak menjadi celah kelemahan yang dimanfaatkan oleh oknum atau kelompok tertentu untuk mempengaruhi ‘grass root’ agar konfrontasi dan tidak sepakat. Misalnya adanya undangan fisik yang sudah diberikan atau perwakilan di setiap lini rokok yang sudah didekati. Memang pengesahan Perda atau peraturan lain yang dianggap sensitif HAM dan ekonomi akan menimbulkan kehebohan, seperti KTR ini misalnya. Sehingga peran pengusul yaitu DPR dan Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (FJSTT) menjadi sangat penting dalam lobby dan pendekatan, bukan hanya pada pimpidan daerah namun juga penguatan masyarakat ‘grass root.'
Sadar atau tidak sebenarnya dimensi kekuasaan implisit yang dimiliki ‘grass root’ terkadang lebih punya pengaruh besar dalam kebijakan, sekarang tergantung pihak mana yang bisa kuat infiltrasi dan lobby nya kepada mereka dan dibawa kemana. Kita masih ingat peristiwa 1998 dimana kekuatan mahasiswa sebagai bagian ‘akar rumput’ mampu menggulingkan presiden, hal ini bukan sebuah kemustahilan bisa diulang dalam hal Perda KTR DIY dengan advocacy masif ke atas dn lobby serta penyadaran pesuasif ke bawah.
Next...
Pemanfaatan media dalam blow up issu dan menggiring opini juga bisa berpengaruh besar bagi masyarakat, misalnya menggencarkan info bahaya rokok di media visual dan juga audio yang dimiliki Yogya. Seperti memaksimalkan videotron atau baliho baliho dan dalam jangka waktu tertentu menggencarkan sosialisasi dan informasi rokok dan tembakau dengan informasi yang mendukung pentingnya KTR ini. Diperlukan pemahaman yang sama di masyarakat dengan pengusul dan pendukung Perda KTR. Contoh informasi tersebut misalnya seperti yag disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Fita Yulia Kisworini yaitu, "Berdasarkan hasil penelitian, Fita mengingatkan bahwa merokok meningkatkan potensi seseorang untuk menderita berbagai penyakit mulai dari penyumbatan pembuluh darah, jantung, stroke, darah tinggi, diabetes melitus dan gagal jantung. Dampak dari merokok tidak hanya dirasakan oleh perokok itu sendiri, tetapi juga orang yang ada di sekitarnya yang tidak merokok. Oleh karena itu, diperlukan aturan agar perokok bisa merokok di lokasi yang sudah ditetapkan.Berdasarkan hasil penelitian, biaya pembelian rokok di Indonesia dalam setahun mencapai Rp138 triliun, namun biaya medis dan nilai akibat hilangnya produktivitas cukup banyak yaitu masing-masing Rp2,1 triliun dan Rp105,3 triliun. Angka tersebut tidak sesuai dengan penghasilan dari cukai rokok yang hanya mencapai Rp55 triliun," Saya rasa info semacam itu penting agar diketahui masyarakat dan pemegang kebijakan yang juga mungkin belum yakin atau masih perlu advokasi yang lebih masif.
Terkait pergerakan ‘grass root’, perlu diapresiasi bagaimana organisasi masyarakat Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) bahkan sudah mengambil beberapa tahapan guna mengawal isi Perda dengan adanya pertemuan pertemuan yang membahas detail Raperda KTR kota Yogyakarta yang terdiri dari IX Bab dan 28 Pasal. Kemudian ada FGD Uji Sahih Ranperda KTR yang mengikut sertakan berbagai kalangan yang berasal dari Anggota DPRD Kota Yogyakarta, Dinas Kesehatan DIY, Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul, Jogja Sehat Tanpa Tembakau, Dekan dari Universitas UI, UMY, Janabadra, UAD, dan Widya Mataram, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Yogyakarta, dan masih banyak lagi. Mereka melakukan analisis terhadap raperda kawasan tanpa rokok kota yogyakarta dan memberikan hasil telaah analis peserta FGD dalam bentuk rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta. Saya rasa ini adalah awal yang cukup konstruktif bagi dukungan pengesahan PERDA KTR DIY. Tinggal sejauh mana pengawalan terhadap hasil FGD ini dan kendali pada lini masyarakat oposisinya.
Dikuatkan lagi dengan pernyataan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DPRD Kota Yogyakarta, Diani Anindiati, diungkapkanny bahwa ”Raperda KTR telah selesai dievaluasi PemdaDIY. Namun, belum diparipurnakan karena hingga kini pansus belum menerima kembali naskah raperda tersebut. Info terakhir, hasil evaluasi gubernur sudah selesai. Kalau sudah sampai ke kita, kita ajukan untuk diparipurnakan,” Dia optimis dalam paripurna nanti raperda bisa langsung disahkan. Karena hasil evaluasi Pemda DIY tidak ada catatan krusial yang wajib dibahas ulang di tingkat pansus. “Nanti kesepakatan rapat pansus, tapi seharusnya tidak lagi karena itu sudah dari provinsi,” katanya.
Kalau daerah lain faktanya bisa, apa iya DIY tidak bisa ???
Banyak produk-produk hukum yang dapat dijadikan pedoman Pemerintah Daerah dalam hal perlindungan masyarakat terhadap bahaya yang diakibatkan oleh adiksi rokok. Komitmen pemerintah daerah yang kurang optimal serta kinerja dari anggota DPR yang merupakan wakil rakyat yang memihak pada kepentingan salah satu kelompok sehingga mengakibatkan regulasi tersebut tidak berlanjut. Dalam permasalahan penetapan peraturan Kawasan Tanpa Rokok terdapat kelompok yang setuju dan tidak setuju, kelompok yang tidak setuju tentu saja dari pihak Produsen rokok, petani tambakau, perokok aktif, pekerja pabrik, pedagang rokok. Sedangkan dari kelompok yang setuju dari perokok pasif, pegiat anti rokok. Dilihat dari kekuatannya, kelompok yang tidak setuju memilki pengaruh sangat kuat dalam hal advokasi ke pihak pemerintah daerah maupun DPR dalam rangka pengamanan bisnis mereka khususnya dari pihak produsen rokok dan petani tembakau. Besaranya kontribusi produsen rokok dari hasil cukai yang masuk ke kas Negara, membuat pihak produsen rokok memiliki tempat atau kekuasaan dalam hal mempengaruhi kebijakan pemerintah khususnya mengenai rokok. Mengingat bahaya asap rokok yang begitu besar pengaruhnya terhadap kesehatan, Pemerintah Daerah seharusnya tegas dalam membuat kebijakan khususnya tegas dalam pengaturan iklan, keseriusan pemerintah daerah setempat terhadap peredaran rokok termasuk iklan rokok dan tempat merokok membuahkan hasil berupa peraturan yang melarang iklan rokok di dalam Kota, larangan merokok di tempat-tempat tertentu, seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan, kantor, tempat ibadah dan angkutan umum.
Proses yang terjadi dalam proses politik dalam persepektif dalam tiga dimensi ini adalah sebuah proses ekskalatif. Dimana kelompok yang terdominasi akan bergerak dari sebuah kondisi ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi melawan kelompok dominan. Proses ini dipersepsikan oleh Gaventa (1985) sebagai kondisi ”power serves to create power, powerlessness serves to re-enforce powerless-ness”
Di DIY kebijakan yang mengatur tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) sudah ada yaitu Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009dan merupakan amanah dari Perda nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11. Peraturan ini dianggap lemah karena tidak dapat memberikan sangsi pada pelanggar dan dianggap kurang disosialisasikan oleh pemerintah daerah.
Studi yang dilakukan oleh QTI atau Quit Tobacco Indonesia (salah satu pegiat pengendalian tembakau) terhadap 1032 responden tentang efektivitas PerGub dan pengamatan terhadap beberapa tempat merokok menemukan bahwa 90,3% responden menyatakan peraturan tidak efektif walaupun 96,3% menyatakan setuju dengan PerGub tersebut (dan hanya 1,8% yang menolak).
Oleh karena itu, dan oleh karena amanah dari UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 tersebut, Perda KTR yang mempunyai kekuatan hukum dianggap perlu untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok. Sebelumnya, telah banyak kegiatan untuk perlindungan asap rokok dan pengurangan jumlah perokok di DIY yang dilakukan oleh QTI dan yang juga bersama-sama dengan pegiat pengendalian tembakau membentuk Forum JSTT. Para aktivis ini juga membantu DPRD provinsi dan 3 kabupaten lain yang menginisiasi Perda KTR sejak 2012-2013 dengan mengembangkan naskah akademik. Naskah akademik ini telah didiskusikan dan disetujui sehingga Raperda telah dimasukkan dalam Prolegda.
Tahap-tahap pembahasan dari Raperda dan public hearing telah dilakukan sampai tahap akhir, namun pada saat penandatangan akan dilakukan di tahun 2013, komponen masyarakat yang bernama "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut dan menuntut Raperda tidak ditandatangani. Alasan yang mereka kemukakan adalah tidak dilibatkannya petani tembakau dan pabrik rokok dalam pengembangan Raperda. Satu per satu fraksi di DPRD akhirnya mengundurkan diri, karena menurut mereka Raperda adalah cacat hukum dan akan merugikan petani tembakau.
Untuk menyurutkan kegiatan pengendalian tembakau oleh para aktivis, kelompok masyarakat tersebut melayangkan somasi kepada Forum JSTT atas kegiatan-kegiatannya yang dianggap akan mematikan petani tembakau. Karena kesibukan menggalang kekuatan untuk menahan somasi tersebut, maka kegiatan pengendalian tembakau kurang gencar dilaksanakan pada saat ini.
Perlawanan kelompok masyarakat
Kebijakan pemerintah seringkali mendapatkan perlawanan dari kelompok masyarakat yang merasa terdiskriminasi akibat ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan mereka. Perlawanan dari kelompok masyarakat inilah yang kemudian memunculkan gerakan advokasi. Advokasi merupakan upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui berbagai pendekatan persuasif. Pendekatan tidak hanya dilakukan kepada pemerintah, melainkan juga masyarakat luas agar mendapat dukungan sebanyak-banyaknya sehingga mampu menekan pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan. Untuk itulah diperlukan strategi komunikasi yang tepat dalam upaya advokasi. Peraturan Pemerintah nomor 109/2012 tentang pengendalian tembakau telah menimbulkan perlawanan dari kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Komunitas Kretek. Kebijakan tersebut dinilai telah memberikan dampak buruk bagi petani tembakau, pedagang asongan, buruh pabrik, konsumen rokok dan seniman bahkan masyarakat secara luas. Untuk itu, sejak tahun 2010 komunitas kretek melakukan upaya advokasi untuk mencabut kebijakan tersebut. Kebijakan Peraturan Pemerintah nomor 109/2012 berawal dari rokok yang telah lama menjadi polemik di Indonesia. Perdebatan panjang pro dan kontra terhadap rokok masih terus belangsung baik di kalangan pemerintah, tokoh agama, konsumen rokok dan masyarakat umum lainnya. Isu kesehatan menjadi dalang yang dimainkan pemerintah untuk membuat regulasi tentang produk tembakau dan sigaret tersebut. Isu yang dilemparkan pemerintah ke masyarakat
antara lain dampak dari kebiasaan merokok.
Konflik kepentingan income negara
Berdasarkan hasil penelitian dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia tahun 2011, bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang melaksanakan GATS (16 lowand middle income countries), Indonesia menduduki posisi pertama dengan prevalensi perokok aktif tertinggi, yaitu 67,0 % pada lakilaki dan 2,7 % pada wanita (bandingkan dengan India, 2009): laki-laki 47.9% dan wanita 20.3 %; Philippines (2009): laki-laki 47,7 % dan wanita 9,0%; Thailand (2009): laki-laki 45,6% dan wanita 3,1%; Vietnam (2010): 47,4% laki-laki dan 1,4% wanita. GATS juga menemukan bahwa 60,9% pria, 2,7% wanita dan ratarata 31,5% atau 54,3 juta orang dewasa saat ini merokok kretek. Melihat besarnya angka prevalensi perokok aktif di Indonesia, sudah pasti industri kretek memiliki peran yang penting dalam negara. Lihat saja, ditilik dari sisi ekonomi, industri kretek menyumbang pendapatan pajak dan cukai negara yang sangat besar nilainya. Berdasarkan data Ditjen. Bea Cukai 2011, tahun 2009 penerimaan cukai rokok sebesar Rp. 54,3 triliun, naik di tahun 2010 menjadi Rp. 59,3 triliun. Sedangkan, di tahun 2011 penerimaan cukai rokok oleh negara melonjak hingga Rp 77 triliun. Pendapatan pajak dan cukai oleh negara terus meningkat dari tahun ke tahun.
Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam tempo.co (3/4/12) mengkritik kampanye antirokok yang tengah gencar disosialisasikan oleh pemerintah dan LSM-LSM. Ia menuturkan gencarnya kampanye anti tembakau dan nikotin membahayakan kesehatan tidak lepas dari kepentingan industri farmasi berskala raksasa. Contohnya, ujung dari kampanye itu adalah penjualan obat antirokok berupa permen, koyo, obat tetes, tablet, dan inhaler. Bahkan, tiga industri farmasi besar mengalokasikan US$ 750.000 untuk mendukung WHO’s Nicotine Replacement Therapy. Disadari atau tidak, isu kesehatan yang digadang-gadangkan oleh pemerintah dalam PP no. 109/2012 demi menyelamatkan bangsa justru mematikan sumber ekonomi bangsa dengan membuka celah besar bagi industri asing dan
menenggelamkan industri lokal. Khususnya, dalam hal ini petani dan buruh menjadi orang yang paling dirugikan. Padahal, kretek bukan hanya sebagai barang konsumsi, tetapi juga bagian dari budaya indonesia yang seharusnya dipertahankan dan dilestarikan. Inilah yang tengah diperjuangkan oleh Komunitas Kretek. Komunitas ini aktif membela tembakau dan rokok kretek sebagai sebuah produk budaya unggulan khas nusantara melalui sejumlah kegiatan komunikasi untuk membentuk opini publik sehingga mampu mempengaruhi pemerintah untuk membuat kebijakan publik yang dapat melindungi khususnya para buruh dan petani tembakau. Dalam hal ini, Komunitas Kretek aktif melakukan kegiatan yang ditujukan kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan yaitu melalui advokasi terhadap PP 109/2012. Pembelaan Komunitas Kretek melalui advokasi ini berlangsung di dua lini besar. Pertama, bahwa sumber-sumber ekonomi yang menjadi sumber penghidupan orang banyak harus tetap berada di tangan rakyat. Kedua, dalam operasi dagangnya, industri-industri asing (dalam hal ini industri rokok putih dan farmasi internasional) sekaligus penggrojokan wacana harus dibongkar oleh wacana tandingan. Untuk itu, sebagai sebuah advokasi terhadap kebijakan pemerintah, tentu tidak mudah dan memerlukan strategi komunikasi yang tepat agar mampu mempengaruhi opini, tingkah laku, minat serta kepercayaan publik dan pemerintah terhadap pesan yang disampaikan.
Pada sisi lainya di Yogyakarta ada pabrik rokok PT Yogyakarta Tembakau Indonesia yang pemiliknya tiga putri Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X. Pabrik ini memproduksi rokok dengan merek KratonDalem. .
Konfik pada penguasa elit politik legislatif
Raperda Kawasan Tanpa Rokok dinilai tiga fraksi di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta memuat aturan yang berlebihan. Menurut Agus Mulyono dari Fraksi Golkar, banyak pasal yang terkesan ngawur dan dibuat-buat. Misalnya, ada pasal yang berbunyi: Tidak ada kawasan untuk merokok. Pasal ini di nilai Agus Mulyono sangat ekstrim dan menunjukkan tidak adanya proses diskusi.
Penilaian itulah yang menyebabkan Fraksi Golkar, Fraksi Demokrat dan Fraksi PKB mencabut dukungan terhadap raperda itu pada Otkober lalu. Abdul Halim Muslih dari Partai Kebangkitan Bangsa pun menilai aturan soal penyeragaman seluruh kawasan yang dilarang merokok tidak rasional. Menurutnya tidak masalah jika dalam suatu ruang, perokok mendapat tempat khusus akan tetapi dalam raperda diseragamkan semuanya sehingga menghalangi hak perokok. Alasan kedua PKB tidak setuju dengan raperda ini karena hanya akan bertumpuk dengan aturan yang sudah diatur melalui Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 42 tahun 2009 tentang Kawasan Larangan Merokok. Dalam aturan itu sudah dipetakan jelas tempat vital yang memang harus steril seperti sekolah, rumah sakit, angkutan umum, dan lainnya. Menurutnya hak orang tidak merokok harus dilindungi tapi bukan dengan cara menghilangkan hak perokok, dan mematikan yang berkaitan seperti pengasong dan petani
Sedangkan Ketua Fraksi Demokrat Putut Wiryawan melihat penolakannya atas Raperda ini tidak ditunggangi kepentingan apapaun. Meski tak merokok, Putut melihat kepentingan dalam raperda ini harus mengakomodasi hak perokok, juga melihat keberadaan pihak yang selama ini mengantungkan perekonomiannya dari industri kretek. DIY punya ribuan buruh yang bekerja di pabrik rokok. Selain itu juga asongan yang mengandalkan hidupnya pada berjualan rokok. Kepentingan ini tetap harus masuk.
Hal tersebut diatas terjadi karena adanya tarik menarik kepentingan dalam mentapkan kebijakan rokok di tingkat pemerintah dan legislatif dalam proses pembuatan Perda KTR. Kebijakan yang terkait rokok yang ada saat ini adalah pemerintah lebih mementingkan aspek ekonomi (penerimaan) dibandingkan aspek kesehatan, cara pandang seperti ini disebut sebagai kebijakan yang bersifat myopik, tidak melihat jauh ke depan dampak dari kebijakan yang ada saat ini. Pada jangka pedek, penerimaan dari cukai rokok merupakan sumber devisa pemerintah, namun untuk jangka panjang, konsumsi rokok akan berdampak pada timbulnya berbagai penyakit dan akan menjadi beban negara dan juga daerah untuk biaya pengobatan.
Penetapan KTR di berbagai tatanan dapat diwujukan melalui penggalangan komitmen bersama untuk melakukannya. Dalam hal ini peran stekeholder (Gubernur DIY, Dinas Kesehatan Provinsi DIY, DPRD, perokok pasif, perokok aktif, industri rokok, LSM yang terlibat dalam pengendalian rokok dan tembakau, penyedia fasilitas umum dan Pemda DIY). Pemerintah harusnya memikirkan untuk kepentingan masyarakat harus dilindungi dari dampak buruk rokok dan asap rokok, serta masyarakat harus diberikan lingkungan yang sehat. Peran pihak lain seperti LSM yaitu menyatakan bahwa rokok dan asap rokok membahayakan kesehatan. Kawasan bebas rokok meningkatkan kesehatan publik dan membantu perokok berhenti. Komitmen bersama sangatlah penting untuk menentukan keberhasilan dari KTR sebagai salah satu upaya penanggulangan bahaya rokok.
Kuatnya lobi industri rokok ke pemerintahan dan parlemen membuat berbagai aturan untuk membatasi peredaran rokok sulit diwujudkan. Sehingga, upaya Indonesia untuk mengakses Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejak 2003 hingga kini juga belum terwujud. Kini sudah 180 negara menandatangani FCTC dan Indonesia menjadi satu-satunya negara besar yang belum menandatanganinya.
Persoalannya tidak hanya sedangkal membandingkan penerimaan Negara atas cukai rokok dan biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh Negara dan masyarakat untuk mengatasi dampak rokok. Namun persoalannya, bisakah menghitung pemasukan masyarakat dari rokok? Mulai dari pertanian tembakau. Petani tembakau di sentra-sentra pertembakauan menghasilkan uangnya sendiri. Selain petani, di sana terlibat pula para peternak yang menyuplai ratusan ton pupuk kandang, penyedia jasa transportasi, penyuplai batang pisang untuk keranjang tembakau, berikut segala multiplier effect pertanian tembakau yang memutar uang ratusan triliun se-Indonesia. Pada level hilir, ada biro advertising yang hidup dari iklan rokok. Lalu ada EO musik dan aneka pagelaran seni, para seniman yang hidup dari sana, buruh pabrik rokok, para SPG, pemilik warung penjual rokok, pengasong rokok, dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya.
Persoalan lain, bahaya perokok pasif diperkuat oleh berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa perokok pasif cenderung menerima dampak lebih bahya daripada perokok aktif. Data dari The Tobacco Atlas 4th Edition tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat 600.000 orang yang meninggal dunia akibat rokok, dan 75% diantaranya adalah perempuan dan anak–anak. Di sisi lain, jumlah para perokok terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Itu artinya akan semakin sedikit udara bersih yang tersedia bagi mereka yang tidak merokok.
Melihat permasalahan tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak buruk rokok bagi kesehatan adalah dengan mengatur perilaku para perokok. Mengatur bukan berarti melarang. Hanya menempatkan perokok di tempat yang terpisah dari non perokok agar hak non perokok untuk mendapatkan udara yang bersih dapat terwujud. Untuk itu dibutuhkan satu peraturan yang memuat sanksi tegas bagi para pelanggar. Dengan demikian diharapkan pada level implementasi akan lebih efektif.
Dr. Rohani Budi Prihatin, M.Si sebagai salah satu penyusun Raperda KTR DI Yogyakarta mengatakan, tentang KTR ini, banyak yang salah paham. KTR bertujuan untuk mengubah letak perokok bukan menghalangi orang merokok.
Yogyakarta sendiri sebenarnya sudah memiliki Pergub DIY No. 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun kenyataannya belum mampu menjawab kebutuhan perlindungan para kaum non perokok di Kota Yogyakarta. Menurut Didik Joko Nugroho, dari Quit Tobacco Indonesia, Pergub yang ada baru sebatas himbauan sehingga tidak bersifat mengikat dan tidak mempunyai sanksi yang jelas. Diharapkan dengan adanya perda KTR ini, semua menjadi jelas. Selain itu, sosialisasi adanya peraturan tersebut belum dilakukan secara optimal. Komitmen pemerintah untuk benar-benar menerapkan apa yang ada di dalam pergub itu terlihat masih lemah.
Proses formalisasi kebijakan pengendalian asap rokok yang tertuang dalam Raperda KTR saat ini belum ada kepastian akan disahkan. Sejatinya Raperda tentang KTR bukan untuk melarang orang merokok, hanya mengatur tempat untuk merokok agar dapat menciptakan kenyamanan bagi semuanya. Kesadaran akan kebutuhan hidup sehat tanpa rokok di Kota Yogyakarta mulai terbentuk sejak munculnya beberapa program yang dimotori oleh lembaga tobacco control Quit Tobacco Indonesia dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam rangka menginisiasi usaha perlindungan masyarakat terhadap asap rokok.
Untuk konteks Raperda KTR, NGO yang mengawal dari awal Raperda diinisiasi hingga masuk ke dalam agenda legislatif adalah Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (FJSTT) yang merupakan gabungan dari berbagai lembaga, institusi, maupun aktifis yang peduli dengan tobacco control. Forum JSST terbentuk karena adanya keinginan para NGO di Yogyakarta untuk mewujudkan kebijakan yang mengatur tentang KTR.
Beberapa NGO yang terlibat antara lain, Perkumpulan IDEA, PLIP Mitra Wacana, Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Cabang DIY, GEBRAK, REWANG, LAKPESDAM NU PC Bantul, PKK Kota Yogyakarta, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) DIY, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Forum Pelajar Nusantara (FPN) Yogyakarta, Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), dan beberapa organisasi lainnya.
Dalam perjalanannya, isu mengenai rokok mengalami multitafsir, memuat banyak kepentingan politik, mengalami pasang surut, dan juga menuai pro kontra. Namun demikian, hal yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa dalam Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok tersebut tidak melarang orang merokok. Perda tersebut hanya mengatur dan menata kawasan mana saja yang tidak boleh terpapar asap rokok. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat non perokok dan terutama kelompok rentan.
Sangat mungkin adanya kemampuan advokasi dan lobi yang kuat dari "Masyarakat kretek dan Petani Tembakau” pada penyusun kebijakan serta berusaha mempengaruhinya dengan dasar kepentingan komersil. Kemampuan lobi yang dilakukan oleh pihak yang kontra jauh lebih agresif dibandingkan dengan yang pro sampai akhirnya Raperda KTR gagal untuk disahkan.
Selain itu, peran media dalam proses penyusunan Raperda KTR di DIY sepertinya masih sangat kurang. Pun dalam hal mengangkat isu gagalnya Raperda ini disahkan. Seharusnya sejak awal, media harus bisa membentuk opini publik tentang pentingnya Raperda KTR ini, dengan mengungkapkan beberapa fakta terkait rokok juga memaparkan “true concept” tentang KTR. Bahkan ketika Raperda pada titik krusial pengesahan, media justru lebih fokus pada somasi dan protes yang dilakukan “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau”. Seharusnya media dapat mengungkap mengapa Raperda KTR gagal disahkan. Peran media untuk mem “blow up” sebuah isu sebagai pembentuk opini publik sangat diharapkan sebagai bentuk pengawalan obyektif terhadap fakta di balik penyusunan Raperda KTR ini, sehingga kemungkinan penyimpangan dan penenggelaman isu pentingnya KTR dapat diantisipasi. Sebelum akhirnya tujuan disahkannya Raperda KTR akan semakin sulit direalisasikan.
Dalam penelitiannya tentang “Agenda Setting Rancangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Tentang Kawasan Tanpa Rokok”, Diena Tiara Sari (2014) mengungkapkan bahwa DPRD Kota Yogyakarta sebagai aktor terakhir yang memiliki peran pemegang legitimasi untuk memasukkan isu perlindungan masyarakat terhadap asap rokok ke dalam agenda kebijakan pemerintah. Antara pemerintah eksekutif dan para NGO cenderung memiliki hubungan yang lebih dekat, karena background organisasi mereka yang sama, yaitu tobacco control. Sedangkan hubungan antara pemerintah eksekutif dan legislatif kurang terjalin dengan baik, karena kurangnya komunikasi diantara keduanya. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bersama QTI dan FJSTT berusaha memperjuangkan perlindungan masyarakat terhadap asap rokok dengan berbagai upaya. Termasuk terwujudnya mendorong Raperda KTR. Sedangkan DPRD Kota Yogyakarta cenderung sebatas menjalankan tugasnya dalam proses pembuatan kebijakan, tanpa melihat secara lebih dalam mengenai tobacco control. Masih banyak dari anggotanya yang cenderung mengedepankan kepentingan partai daripada melihat isu kebijakan secara objektif.
Bagaimanapun, isu perlindungan masyarakat terhadap asap rokok hingga menjadi sebuah agenda kebijakan merupakan hal yang penting. Ketika sebuah masalah publik bertahan sekian lama dan belum ada solusi nyata, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya menjadi sebuah kebijakan. Seperti yang dikemukakan Parsons (2005) dalam bukunya “Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan” yang menjelaskan bahwa kebijakan publik menitikberatkan pada "publik dan problemnya". Isu dan persoalan disusun, didefinisikan dan diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Dari proses itulah diharapkan akan muncul solusi baru yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah publik terkait.
terlihat sekali bgmn cara pemerintah dalam membuat keputusan dan pengaruh stakeholder dalam pembuatan keputusan.
Stake holder yang mendukung kebijakan ini adalah, DPR (uu kesehatan) gubernur (pergub di tahun 2009) DPRD ( raperda), Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT) QTI (Quit tobacco Indonesia) yang semuanya setuju untuk perlu melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok. Namun penolakan kebijakan juga muncul dari stakeholder lain, diantaranya "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang menyatakan protes dan melayangkan somasi kepada JSTT .Hal tersebut banyak menyita perhatian JSST untuk menggalang kekuatan melawan somasi sehingga pengawalan JSTT dalam terbentuknya kebijakan KTR di jogja menjadi terhambat.
Dari kasus tersebut dapat dilihat kelompok masyarakat penolak kebijakan Perda KTR yaitu “Masyarakat kretek dan petani tembakau “ ternyata mempunyai pengaruh kekuasaan yang besar, ditinjau dari sumber daya keuangan yang kemungkinan besar mempunyai backingan dana dari pengusaha rokok kretek, legitimasi di masyarakat petani tembakau, ditambah lagi adanya kemungkinan isu yang diangkat oleh kelompok tersebut yang menyatakan kretek menjadi bagian dari hasil budaya Indonesia sehingga mereka mampu mendapat simpati dan dukungan publik. Kekuatan kelompok stake holder dari pengusaha rokok, yang mempunyai sumber daya keuangan besar juga memungkinkan mereka untuk menggalang dukungan publik melalui media, dengan isu ekonomi, ketersediaan lapangan kerja, perekonomian masyarakat buruh pabrik rokok, petani tembakau, meskipun awam kita ketahui bahwa isu yang diangkat tersebut bisa jadi merupakan taktik stakeholder dalam menyembunyikan kepentingan utamanya, yaitu untuk melanggengkan industri rokok. Sebagaimana kita ketahui bussines interest merupakan interest group yang paling besar pengaruhnya terhadap suatu kebijakan. Karena dengan kekuatan keuangan dan sumber daya politis (mempunyai relasi orang politik/mempunyai jabatan) yang mereka miliki, meraka dapat melakukan lobby agar suatu agenda kebijakan bisa dibatalkan. dalam kasus ini bisa dilihat pada saat proses penandatanganan raperda dari banyak partai yang akhirnya mundur padahal sblmny mereka pro KTR.
Meskipun ada banyak kelompok di luar pemerintah yang mencoba mempengaruhi pikiran pemerintah dalam membuat kebijakan. Kekuasaan pemangku kebijakan, yakni pemerintah yang berperan sebagai kotak hitam, akan mendapat dan mengumpulkan berbagai macam input dalam membuat kebijakan untuk kemudian dihasilkan suatu kebijakan publik (output). Input kedalam kotak hitam tersebut, bisa berupa tuntutan, dukungan, maupun sumberdaya untuk membentuk suatu kebijakan bisa diimplementasikan ke masyarakat. Semakin besar tuntutan dan dukungan yang pro pemerintah maka akan semakin besar peluang dihasilkan kebijakan yang pro pemerintah. Contohnya; keberhasilan Kulon Progo dan Gunung kidul mempunyai perda KTR karena ada advokasi terus-menerus dari eksekutif legislatif.
Pemerintah yang awalnya menggunakan model rasional dalam membuat keputusan, ditandai dengan persertujuan dibentuk raperda KTR yang mempunyai kekuatan hukum ,untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok. Namun akhirnya pemerintah menggunakan model incremental dalam membuat keputusan, hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan "Sampai sekarang Perda tersebut tidak pernah ditandatangani dan anggota DPR sudah berganti." karena pada saat akan ditandatangani pada Januari 2013, salah satu partai menyatakan mengundurkan diri (diikuti dengan partai-partai lainnya). Tampaknya model mixed scanning bisa diterapkan di kulon progo, dan gunung kidul yang ditandai dengan keberhasilan daerah tersebut membuat perda KTR.
Dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembuatan keputusan menjadi suatu kebijakan merupakan sekumpulan proses dalam mengidentifikasi stakeholder yang terlibat, menilai sumber daya kekuasaan yang dimiliki tiap stake holder (SDM, keuangan, keahlian, sumber daya politis, akses ke media, simpati dan dukungan publik) dan kemampuan dalam menilai kepentingan, posisi, dan komitmen dari para stakeholder tersebut.
Untuk dapat memperbesar kekuatan pro pemerintah, alangkah baiknya jika pemerintah dapat melakukan kerjasama, atau aliansi dengan interest2 group , baik insider group atau outsider group, agar dukungan pemerintah semakin besar, sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah juga mendapat banyak dukungan dan masukan yang relevan.
Sesuai Kasus Minggu ke-2 ini :
Dalam pengambilan kebijakan tidak uput dari unsur-unsur yang saling terikat satu sama lain, 4 unsur yang dimaksud adalah Aktor (siapa-siapa yang terlibat dan berpengaruh), Proses (bagaimana kebijakan itu terbentuk atau pun tidak terbentuk), Konteks (Faktor-faktor apa saja yang ada dalam pengambilan kebijakan itu) dan Konten (Apa isi dari kebijakan yang akan dihasilkan). Keempat unsur ini harus terpenuhi dan bersinergi dengan baik, agar suatu kebijakan bisa dihasilkan, sebaliknya apabila keempat unsur ini tidak bisa saling bersinergi maka tidak akan pernah ada kebijakan yang dihasilkan.
Penyusunan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR), terhenti pada tahapan pengesahan, tidak berhasil menjadi suatu kebijakan seperti yang diharapkan sesuai amanah Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115, Perda KTR yang mempunyai kekuatan hukum dianggap perlu untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok, karena adanya protes dari masyarakat kretek (petani tembakau).
Disimpulkan bahwa keempat unsur dalam pengambilan kebijaka tidak terpenuhi dan tidak bersinergi dengan baik. Menurut saya, hal ini dipengaruhi oleh :
1. Aktor (Pelaku). Anggora DPRD, Masyarakat kretek (petani tembakau).
2. Proses. Dalam proses Penyusunan kebijakan tidak sampai tahapan finalisasi, (beberapa fraksi) tidak mau menandatangani pengesahan Perda tentang KTR itu), yag diakibatkan oleh pro dan kontra, yang salah satunya Masyarakat kretek (petani tembakau)
3. Konteks . Penyusunan kebijakan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politik serta kelompok elitism yang memainkan peranannya dalam penyusunan kebijakan tersebut.
4. Konten (Isi). Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau merasa tidak diajak dalam proses pembuatan Raperda KTR sehingga mereka beranggapan isi dari produk hukum ini tidak mencerminkan aspirasi masyarakat.
Dari kasus ini saya melihat, semua kebijakan yang akan diambil, pasti ada pro dan kontra. Namun sebelum kebijakan itu disahkan, semua pihak yang berkepentingan pasti akan melakukan upaya-upaya untuk menggagalkan atau tidak suatu kebijakan itu. Yang pada akhirnya sangat tergantung pada pihak yang memiliki yang mempunyai kemampuan lobby-loby politik, dengan keleluasanya ini kelompok-kelompok elit (Perusahaan) melakukan upaya-upaya lobby yang berujung pada kebijakan itu ada atau tidak ada. Dengan keputusan DPRD (beberapa fraksi) untuk tidak menandatangani pengesahan Perda KTR tersebut, dapat saya simpulkan bahwa kekuasaan digunakan untuk tidak membuat keputusan, yang menjadi isu “melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok “ tetap tersembunyi dan gagal memasuki arena politik.
Tasman
Terima Kasih