Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat FETP
- Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
- Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Comments
hal ini dapat menunjukkan bahwa kebijakar tersebut di serahkan ke pasar yang adalam hal ini adalah Petani Tembakau. dimana penentu kebijakan bukanlah dari pihak pemerintah, namun dari pihak masyarakat petani tembakau. karena masyarakat petani tembakau mempunyai peran yang cukup besar dalam menyumbang pendapatan daerah salah satunya adalah Cukai rokok, disamping itu juga akan berdampak kepada buruh, seandainya kebijakan tersebut tidak berpihak kepada petani tembakau.
pada tahun 2013 juga mendekati masa masa pemilu, dimana partai akan berlomba-lomba untuk mencari simpati masyarakat. Para pemimpin partai menilai bahwa komponen petani tembakau ini mempunyai massa yang cukup besar untuk menyumbang suara pada pemilu di tahun 2014.
Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Kenapa? Sebenarnya, dalam dimensi kekuasaan, kelompok ini tidak mempunyai kekuasaan sebagai pengambil keputusan, yang dalam hal ini wewenang pengambilan keputusan terletak pada DPR. Kelompok ini memiliki dimensi kekuasaan atau power as non-decision making tetapi hebatnya mereka bisa mempengaruhi para pembuat keputusan (DPR) untuk membuat keputusan/ kebijakan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
2. Masyarakat yang pro RPP yang kurang memberikan "pressure" kepada DPR dalam mengawal rpp ini. pendekatan-pendekatan politis masih belum terlihat didalamnya.
3. isi dalam naskah akademik belum melibatkan seluruh komponen termasuk orang-orang yang anti pada rpp, karena begitupun juga kebijakan ini mengarah kepada pelaku perokok tersebut.
Sehingga seharusnya hal tersebut cukup menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menyusun dan menetapkan KTR untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok, apalagi didukung dengan adanya Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009 dalam pelaksanaan Perda Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11, tetapi belum meberikan sanksi yang dianggap cukup bagi pelanggar dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah, sehingga perlu dibuat suatu Perda yang khusus tentang KTR.
Pada kasus Raperda DIY yang sampai saat ini tidak dapat disahkan adalah karena adanya beberapa actor dari komponen masyarakat bernama “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau” yang menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut. Sehingga satu persatu fraksi DPRD akhirnya mengundurkan diri.
Menurut pengalaman kami dalam menyusun Raperda KTR Kabupaten Kapuas, sempat terjadi pertentangan dari pihak DPRD, dimana pembahasan Raperda tersebut dibahas melalui rapat Panitia Khusus (Pansus) terdapat fraksi yang menentang pembahsan Raperda tersebut, tetapi dengan berbagai upaya dari pihak eksekutif dalam memberikan penjelasan tentang konsep KTR, bahwasanya KTR bukan melarang orang untuk merokok tetapi mengatur agar orang lain tidak terpapar oleh asap rokok orang lain (AROL).
Penyusunan Raperda KTR Kabupaten Kapuas juga cukup lama dimana pada awalnya Oktober 2014 diajukan Raperda KTR tetapi karena kurang dilengkapi dengan Naskah Akademik maka akhirnya ditunda di pembahasanan dan baru disahkan pada Bulan Juli 2016.
Melihat kasus Raperda DIY tersebut dapat dilihat bahwa tekanan dari masyarakat dan pihak swasta berperan besar menekan berbagai pihak termasuk aktifis dan fraksi DPRD sehingga pada akhirnya Raperda tersebut tidak dapat disepakati dan disahkan.
Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor) adalah memang benar. Jika dianalisis berdasarkan dimensi kekuasaan maka dapat dilihat perjalanan kebijakan tersebut mendapat hambatan karena;
1. Komitmen politik. Komitmen awal satu fraksi DPR yang menyetujui Raperda tersebut akhirnya mengundurkan diri, dan juga diikuti fraksi lain adalah bentuk tidak komitmen politik dari actor-aktor tersebut dalam sikap menetapkan Raperda KTR di DIY yang melindungi masyarakat banyak dan tentunya sudah berdasarakan evidence based. Fraksi sebagai Aktor mengambil posisi penting dalam menentukan langkah lanjutan dari suatu kebijakan, sehingga sikap komitmen mereka untuk melindungi masayarakat adalah hal utama dari kepentingan pihak lain yang merugikan masyarakat banyak.
2. Kekuatan lobyy. Kekuatan lobyying yang berasal dari pihak yang merasa dirugikan terlihat dalam penandatandangan Raperda KTR tersebut. Lobyy tersebut bisa berasal dari sekolompok orang atau swasta seperti industri-industri rokok. Kekuatan lobby bisa merugikan banyak pihak khususnya kelompok yang akan terpapar dengan asap rokok.
3. Kepada "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang memprotes penandatandangan Raperda tersebut perlu didiskusikan lebih lanjut, sebab Raperda KTR tersebut tidak sepenuhnya mengambil sikap melarang merokok, tapi lebih kepada perlindungan asap rokok kepada orang lain (AROL) dan mengaturan kawasan bebas asap rokok atau mencegah kepada yang belum merokok.