Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat K3
- Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
- Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Comments
Selain itu, kemungkinan didalam tubuh legilatif sendiri banyak anggota yang tidak mendukung Raperda tersebut tetapi menolak dengan dalih atas nama rakyat sehingga pada saat ada kelompok masyarakat yang tidak mendukung dan merasa tidak dilibatkan dalam penyusunannya menjadi alasan yang tepat bahwa Raperda tersebut cacat hukum. Hal ini bisa dicegah seandainya dari awal aktor yang mengganggap dirinya tidak dilibatkan dalam hal ini masyarakat dan petani tembakau dilibatkan dalam dengar pendapat dengan anggota DPRD.
Tidak dapat dipungkiri masalah rokok adalah masalah yang kompleks.
Aspek perekonomian yang selalu menjadi alasan utama sehingga Kawasan Tanpa Rokok atau menutup pabrik rokok tidak pernah bisa diwujudkanMaka tidak dapat dinafikan pengusaha rokok akan melakukan berbagai cara termasuk melakukan lobby pihak-pihak yang berkuasa agar program penutupan pabrik rokok atau pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok dalam bentuk Raperda bisa tidak terwujud.
Karena itu menurut saya sanagat di perlukan sosialisasi terhadap masyarakat agar tembakau itu bisa di subtitusi kepada produk lain yang mana penghasialan petani tembakau tetap tidak berkurang meskipun raperda ini sudah di syahkan.
Aktor yang bertentangan, terdapat pro terhadap kebijakan yakni aktivis, QTI,
dan yang kontra adalah, masyarakat kretek dan petani tembakau. Dalam kasus ini tidak berjalan sesuai harapan karena dalam proses pembuatan peraturan ini tidak dilibatkanya petani tembakau juga pabrik-pabrik rokok serta menurut anggota DPRD yang satu per satu mengundurkan diri merasabkarena menurut mereka Raperda adalah cacat hukum dan akan merugikan petani tembakau.
Sebenarnya dari pemerintah setuju dengan adanya peraturan ini, namun terdapatnya protes dari pentani rokok serta pabrik yang membuat pemerintah menjadi enggan memberikan persetujuan mereka, serta menurut saya sendiri pemerintah tidak terlalu serius menghadapi masalah ini serta tidak begitu tegas dalam mengambil keputusan, karena apabila pemerintah serius untuk mengurangi dampak asap rokok di masyarakat pemerintah pasti memiliki solusi-solusi terhadap keluhan yang diutarakan oleh masyarakat petani, pengonsumsi rokok juga pabrik rokok sendiri. Perusahaan swasta memiliki andil yang lebih dari pada pemerintah yang dipilih secara demokratis bisa jadi pihak swasta tersebut yang memberikan sumbangan dana pada para calon DPRD yang akan melakukan kampanye oleh karenanya pihak swasta melakukan perjanjian dengan pemerintah untuk mendukung program/produk yang dimiliki oleh pihak swasta tersebut. Dapat pula dari pihak pemerintah sendiri menuruti apa yang petani dan masyarakat kretek lakukan karena pemerintah sendiri terlalu takut untuk kehilangan dukungan dari mereka.
Bisa juga para swasta memberikan pengendalian pikiran pada masyarakat kretek dan petani tembakau sehingga mereka dengan mudah dapat memengaruhi pola pikir dari masyarakat tersebut.
Menurut saya, sebagai bentuk pengawalan KTR alasan utama mengapa saat itu Raperda belum bisa disahkan adalah kurangnya sosialisasi dari pembentuk kebijakan, dalam hal ini mungkin saja terjadi kesalahpahaman sehingga mereka yang kontra terhadap kebijakan KTR merasa dirugikan. Padahal secara tertulis KTR berupaya untuk melindungi para perokok pasif khususnya mereka yang rentan terhadap asap rokok seperti ibu hamil dan anak-anak dengan menyediakan kawasan yang bebas asap rokok dan memberikan ruang khusus bagi mereka yang ingin merokok. Sehingga yang perlu menjadi bahan sosialisasi adalah bahwa yang dikendalikan dalam kebijakan KTR ini adalah asap rokok nya bukan rokoknya. Akan tetapi, meskipun demikian sosialisasi harus dimasifkan ketika KTR sudah berjalan hingga pada akhirnya bukan hanya asap rokok saja yang bisa dikendalikan tetapi juga rokoknya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah persepsi yang beredar dikalangan kaum elit ataupun masyarakat umum mengenai perusahaan rokok yang berdampak pada penambahan ekonomi negara harus diluruskan. Mengapa? Karena meskipun perusahaan rokok membayar pajak yang cukup besar pada negara kita, namun pada kenyataannya negara juga mengeluarkan dana yang lebih besar untuk mengobati mereka yang sakit akibat dari rokok. Dalam artian kita mengalami kerugian akibat dari rokok ini, sehingga tidak ada alasan lagi bagi negara ini untuk bisa mengendalikan serta mengurangi produksi rokok, apalagi saat ini mulai banyak penelitian yang bisa digunakan mengenai pemanfaatan tembakau selain sebagai bahan baku rokok. Dalam hal ini tentu saja pemerintah harus mampu bekerja ekstra keras dan melakukan kerjasama lintas sektoral dimulai dari sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik, ketenagakerjaan, lembaga aktivis atau organisasi-organisasi di masyarakat yang memiliki kepentingan dalam hal pengendalian tembakau serta melibatkan melibatkan pekerja/masyarakat yang memiliki andil dalam pembuatan rokok.
Mundurnya fraksi-fraksi di DPRD dalam proses raperda KDM tidak lepas dari proses”lobby” dari pihak swasta pertanyaannya apa yang membuat pihak swasta kuat menjadi pelaku kuat dalam pembuatan kebijakan dan bagaimana mereka melakukannya. Orientasi pihak swasta dalam hal ini pihak industri rokok adalah keuntungan mereka beranggapan bahwa mereka berperan serta dan memiliki pengaruh yang kuat dalam pendanaan proses pembangunan melalui pajak yang mereka bayarkan, mereka melakukannya dengan cara “mempengaruhi” proses penentuan agenda dengan cara” merasuki “ dengan menyediakan dana untuk keperluan kampanye-kampanye partai politik dengan harapan jika partai dan plitisi yang didukungnya berhasil merka dapat dengan mudah menyelusup dalam proses pembuatan agenda sehingga secara tidak langsung pihak swasta dapat terlibat langsung dan secara tidak langsung mempengaruhi sebuah proses penentuan kebijakan.dalam hal ini mundurnya fraksi-fraksi di DPRD dalam proses pengsahan raperda dapat menjadi bukti masuknya pihak swasta dalam sebuah proses pembuatan kebijakan mereka pihak swasta akan berusaha membatalkan kebijakan yang diperkirakan akan mempunyai dampak pada usaha yang mereka lakukan dalam hal ini perusahaan rokok akan berusaha untuk menggagalkan pengesahan raperda KDM karena akan berdapak pada penurunan keuntungan pada perusahaan rokok .
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Tentu hal ini harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat.
Aktor berperan dalam pelaksanaan kawasan tanpa rokok meliputi Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, PemerintahKabupaten/Kota, lembaga legislatif, petugas kesehatan, polisi pamong praja, fasilitas layanan umum (rumahsakit, sekolah, tempatbermain, perkantoran, tempatibadah, angkutanumum), organisasi (profesi kesehatan PPNI IDI IBI IAKMI dll, LSM), akademik (universitas). Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh penelitian Yayi suryo (2013) menjelaskan aktor yang berperan adalah kepala daerah sebagai pengambil kebijakan, lembaga legislatif, sosial masyarakat dan pihak akademisi yang memberikan advokasi kebijakan tersebut. Pelaksanaan peraturan daerah tersebut perlu. Perencanaan tidak cukup dalam pemberlakuan kawasan tanpa asap rokok, diperlukan pengembangan staf dan pengontrolan di dalamnya dan yang lebih penting yaitu di sosialisasikan dengan baik dan memberi alternatif lain terhadap petani tembakau untuk menjadi bahan baku yang lebih bermanfaat seperti di buat obat penyakit-penyakit, insektisida dll.
Perusahaan swasta lebih bisa mengambil hati masyarakat karena mereka memiliki program yang mudah di terima oleh masyarakat, program yang sesuai kebutuhan masyarakat di lapangan, seperti program beasiswa, program hiburan, dll, sehingga mereka lebih dapat di terima oleh masyarakat walaupun dibalik itu masyarakat juga di rugikan.
Hal tersebut tidak mudah tentunya, karena pasti ada aktor-aktor yang terus menetang demi kepentingan pribadi. selain itu kelompok swasta dan masyarakat yang pro terhadap rokok mempunyai pengaruh yang besar dan kreatifitas yang tinggi sehingga dapat menarik dan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat, contohnya seperti tayangan iklan-iklan ditelevisi yang menarik sehingga mendorong orang untuk mengikutinya.
Menurut saya ada berbagai alasan penyebab kebijakan bebas asap rokok sering tidak bejalan maksaimal banyak orang yang beranggapan bahwa dapat merugikan petani tembakau karena menyebabkan pabrik tutup, Basis argumen ini karena kawasan tanpa rokok menyebabkan konsumsi rokok menurun sehingga produksi turun dan prabrik rokok bangkrut. Selain itu juaga paraperokok menganggap kawasan tanpa rokok melanggar kebebasan mereka untuk merokok. Jika kawasan tanpa rokok akan diberlakukan, sebagian perokok menuntut agar pemerintah terlebih dahulu menyediakan tempat khusus merokok. Dengan kata lain, perda kawasan tanpa rokok dipaksa untuk ditunda sampai tuntutan terpenuhi. Alasan ini egois dan tidak logis karena memaksakan hak merokok di atas menghirup udara bersih. Logika sehatnya, kawasan tanpa rokok diprioritaskan secara mutlak karena kesehatan adalah kebutuhan, sedangkan merokok bukan kebutuhan hidup. Oleh karena itu perlu dilakukan kembali koordinasi yang lebih baik antara pihak-pihak yang terkait, Kemudian lebih di tingkatkan lagi promosi kesehatan menganai bahaya penggunaan rokok dan memberikan alternatif lain kepada para petani tembakau.
selain itu, pemerintah tidak terlalu serius dalam membuat suatu kebijakan (menurut saya), karena terlalu banyak PR yang belum finish pelaksanaanya dan lanjut ke kebijakan yang baru. mereka tidak terlalu peduli tentang berhasil atau tidaknya suatu program, (yang penting sudah di jalankan) berbeda dengan perusahaan suasta yang lebih fokus kepada kepuasan pelanggan.
Reply
Sebenarnay DIY bukan daerah penghasil tembakau, masih banyak komoditi lain yang bisa ditanam di DIY selain tembakau, jadi jika beralasan kasihan pada para petani tembakau adalah kalimat yang kurang masuk akal, masih bayak komoditi lain yang bisa ditanam di DIY selain tembakau
Menurut saya, alangkah lebih baik sebelum kebijakan ini diancang, diadakan survei lapangan terlebih dahulu untuk melihat bagaimana kondisi sebenarnya dilapangan, terutama kondisi petani tembakau (karena dilihat dari kasus, permasalahan timbul dari pihak ini). Pengadaan diskusi terbuka dengan masyarakat, petani tembakau, pedagang rokok, perokok, pemuka adat dan agama (tokoh masyarakat), sebelum peraturan ini resmi diancang dan dilegalkan, tentu akan sangat membantu dalam menyamakan persepsi dan tujuan, serta menghindari konflik dikemudian hari yang berakibat fatal (seperti di kasus).