Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat Gizi
- Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
- Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Comments
Dinegara kita, tembakau memberikan kontribusi besar dalam pendapatan negara sehingga kebijakan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tentu saja menuai reaksi keras dari sejumlah masyarakat kretek dan petani tembakau. Terlebih saat mereka tidak merasa dilibatkan dalam sebuah pembuatan kebijakan. Seyogyanya seluruh unsur masyarakat terwakili dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat orang banyak. Sehingga kebijakan yang ditetapkan mendapat dukungan masyarakat luas. Sayangnya, wakil-wakil rakyat dalam hal ini partai politik, justru turut memperkeruh suasana dengan tidak menanda tangani Raperda tersebut. Tentu saja ini tidak lepas dari manuver politik mereka dalam upaya pencitraan di Pemilu mendatang. Penolakan ini tidak mengejutkan karena penyusunan kebijakan merupakan perjuangan antar kelompok , sebagian mendukung perubahan dan sebagian lain menolak, tergantung kepada kepentingan mereka. Pemerintah memilih bersikap netral dengan menyeimbangkan tuntutan dan memberikan dukungan dalam bentuk lain. Raperda KTR ini merupakan usulan masyarakat yang berasal dari bawah, tentu saja prosesnya berjalan panjang dan berliku . Mungkin akan beda ceritanya bila Raperda merupakan hasil insiatif DPRD setempat, usulan kebijakan mungkin akan cepat prosesnya dan segera disyahkan oleh anggota dewan perwakilan rakyat.
Dibutuhkan perencanaan dan implementasi kebijakan yang lebih siap serta mempertimbangkan berbagai faktor dalam penyusunannya dengan memperhatikan kepatuhan terhadap peraturan sebagai upaya penegak hukum, pemantauan dengan evaluasi yang terus menerus.
ada beberapa point yang bisa digarisbawahi dalam kebijakan KTR Diy al: 1. peraturan rokok dipertajam/ kesepakatan pemahaman dahulu antara "tidak boleh merokok" dan "boleh merokok tapi pada tempat tertentu" dlm hal ini KTR 2. rokok menjadi hak asasi dan perilaku seseorang/individu dalam menentukan pilihan untuk dirinya sendiri3. ada banyak Pemain/aktor dlm kebijakan rokok al: pemerintah, legislatif/dprd dan organisasi masy/lsm, masyarakat, industri dari rokok itu sendiri baik dari petani tembakau, perusahaan rokok, pekerja include masing2 dg pro dan kotranya ttg kebijakan rokok itu sendiri 4. media rokok yang sangat kencang/ isu2 bahwa rokok tdklah berbahaya dll 5. penghasilan dari pajak rokoksangat tinggi itu harus bisa diterima dan difikirkan bgm caranya jka rokok bnr2 tdk lagi diproduksi 6.pada daerah yg sdh mempunyai kebijakan Ktr pun harus ada pegawasan yang terus menerus 7. bgm dengan saksi/hukuman bagi yang melanggar 8. point utama bahwa seharusnya peraturan KTR bisa disetujui dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh kepada masing2 aktor yang sudah disebutkan diatas. tks
Media memiliki peranan yang cukup besar dalam menggiring persepsi masyarakat terhadap rokok. Selama ini rokok dikenal sebagai simbol maskulinitas dikarenakan iklan-iklan rokok yang menggambarkan seperti itu jauh berbeda dengan iklan dari pomosi kesehatan anti rokok yang tidak mampu mengubah persepsi masyarakat akan bahaya rokok. Sehingga sangat penting bagi kelompok masyarakat yang pro terhadap raperda KTR agar lebih menggiatkan proses lobby dan advokasi yang terus menerus terhadap legislatif sebagai penyusun kebijakan agar dapat diwujudkan. Terima kasih.
Terima kasih
Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DIY belum juga disahkan. Sebelumnya DIY memiliki kebijakan tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) melaui Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009 dan Perda nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11.
Akan tetapi peraturan ini lemah karena tidak memberikan sangsi pada pelanggar sehingga perlu merancang Perda KTR yang mempunyai kekuatan hukum untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok.
Proses penyusunan kebijakan Raperda ini berlangsung alot karena adanya pertentangan aktor terkait. Jika kita melihat dimensi kekuasaan yang berjalan, maka terjadi berbagai hambatan yang disebabkan oleh;
1. Political Will dan komitmen politik
Komitmen politik yang dilakukan oleh satu fraksi DPR yang menyetujui Raperda tersebut akhirnya mengundurkan diri dan diikuti fraksi lain merupakan bentuk tidak komitmennya aktor-aktor tersebut dalam penetapkan Raperda KTR di DIY. Seyogyanya fraksi di DPR melindungi masyarakat dan berdasarkan evidence based bukan sekedar mengikuti political will semata. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu politik memusatkan perhatiannya pada perjuangan untuk memperoleh, mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.
Namun, Fraksi DPR sebagai aktor mengambil posisi penting dalam menentukan langkah lanjutan dari suatu kebijakan, sehingga komitmen mereka untuk melindungi masyarakat menjadi hal utama dari kepentingan pihak lain yang merugikan masyarakat.
2. Kekuatan lobby-lobby
Kekuatan lobyying berasal dari sekelompok orang dan swasta seperti pelaku industri rokok yang merasa dirugikan. Kekuatan lobby ini menjadi salah satu alasan terkuat akan tidak dilakukannya penandatangan KTR. Padahal Raperda KTR ini dapat mencegah masyarakat luas dari paparan asap rokok. "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang memprotes penandatandangan Raperda tersebut perlu mendapatkan advokasi lebih lanjut, sebab Raperda KTR tersebut tidak melarang merokok, tapi memberikan perlindungan asap rokok kepada orang lain (AROL), mencegah kepada yang belum merokok dan mengatur kawasan bebas asap rokok.
Tak bisa dipungkiri, media menjadi aktor pendukung yang secara tak langsung terlibat dalam proses penyusunan kebijakan. Advokasi melalui media pun jangan dilupakan dan perlu dilakukan secara masif untuk menyeimbangkan informasi timpang yang beredar & terkesan mendukung tidak disahkannya Perda KTR.
Sehingga perlu dilakukan edukasi melalui media tentang bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa rokok harus dilakukan karena memegang peranan yang penting dalam pembentukkan persepsi masyarakat mengenai Raperda KTR ini agar segera disahkan.
Berdasarkan beberapa parpol yang memilih mengundurkan diri, rasanya dalam penyusunan kebijakan Raperda KTR ini, mereka mengambil teori inkremental dalam pengambilan keputusan . Teori ini dengan cara menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan model yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan. Sehingga model pengambilan keputusan ini membuahkan hasil terbatas, praktis dan dapat diterima (segelintir kelompok yang memiliki kepentingan).
Oleh karenanya, perlu dilakukan tekanan oleh masyarakat (societal pressure), berbagai forum, lembaga dan organisasi sosial termasuk pemda wilayah itu sendiri agar Raperda KTR ini dapat segera ditandatangani dan diimplementasikan.
Seperti juga yang terjadi dalam penyusunan Perda AROL dan pengurangan kebiasaan merokok di DIY ini. Pada awal penyusunan dilakukan upaya diskusi dan duduk bersama antara QTI dan pegiat pengendalian tembakau membentuk Forum JSTT, melakukan penyusunan naskah akademik. Naskah akademik ini telah didiskusikan dan disetujui sehingga Raperda telah dimasukkan dalam Prolegda. Ditengah perjalanan alur penyusunan kebijakan ini, ternyata terdapat kepentingan lain yang menghambat pengesahan kebijakan yang telah disusun di awal. Kekuatan ini sudah pasti memiliki “power” yang lebih tinggi sehingga berhasil menghambat pengesahannya. Di sinilah “politik kepentingan” bermain dalam sebuah alur penyusunan kebijakan. Dalam kasus diatas "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" berhasil menghambat pengesahan Perda AROL karena mereka memiliki kemampuan Lobby pada level yang lebih tinggi.
Kesimpulannya hingga saat ini Perda AROL dan pengurangan kebiasaan merokok di DIY belum berhasil “menemukan Jendela”nya, dan masing-masing pihak masih harus saling bersepakat agar kepentingan semua pihak dapat terwujud, walaupun mungkin masih memerlukan waktu yang lebih lama.
Setelah membaca komentar teman2 di atas saya hanya ingin menambahkan menurut saya macetnya penyusunan Perda KTR ini dikarena adanya gejolak pihak-pihak yang merasa terancam dengan adanya perda ini. Tidak mungkin kita terus-terusan harus menyenangkan semua pihak. Menurut saya sebaiknya pihak yang berkewajiban dan berwenang dalam memutuskan Peraturan ini mengambil sikap tegas dan mulai menyusun prioritas dengan sebisa mungkin meminimalisir dampak bagi pihak yang diasumsikan akan “dirugikan”. Dengan diberlakukannya peraturan ini tidak serta merta pabrik rokok langsung tutup atau pertanian tembakau langsung dibumihanguskan tapi ini merupakan langkah untuk “menertibkan” para perokok dan melindungi orang-orang yang sebenarnya sangat BERHAK untuk terlindungi dari bahaya asap rokok. Peraturan tentang rokok memang akan menemui berbagai hambatan dan tantangan karena rokok yang seakan-akan sudah mendarahdaging di negeri ini sehingga para actor yang berperan harus mengambil sikap tegas, dan konsisten terus melakukan advokasi dan melobi pihak2 yang dianggap kurang menyetujui peraturan ini. Pemangku kebijakan harus kokoh untuk memperjuangkan perda ini meski harus mendapat gempuran kapital.
ROKOK di Nusantara telah mengalami evolusi panjang, menyentuh batas-batas sosial, ekonomi, tradisi, budaya, bahkan agama. Jika ditelisik secara struktural, semua ranah kemasyarakatan tersebut membangun suatu pola kombinasi kepentingan yang saling bergantungan.Tarik ulur dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan menjadikan regulasi rokok tidak terkendali.Kalangan antirokok maupun yang mengklaim peduli terhadap kesehatan masyarakat senantiasa memproduksi informasi tentang bahaya rokok bagi kesehatan yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Sementara para pelaku industri rokok, atau kalangan yang mengklaim membela kepentingan buruh dan petani tembakau menandinginya dengan dalil perekonomian rakyat. Taruhlah pada tahun 2010 rokok menyumbang cukai sebesar Rp 57 triliun.
Pada dasarnya semua pihak menginginkan regulasi rokok yang komprehensif yang mengakomodasi segala kepentingan masyarakat. Pemerintah mesti tegas dalam menentukan regulasi tembakau. Jika memang industri tembakau akan digulung, harus dipikirkan industri turunan atau alternatif tembakau agar masyarakat buruh tetap memiliki harapan. Juga memikirkan tanaman alternatif pengganti tembakau untuk daerah-daerah potensial tembakau agar masyarakat petani tetap bisa melangsungkan kehidupannya.
KTR pada prinsipnya tidak hanya membuat daerah bebas asap rokok, tetapi juga bebas dari promosi iklan-iklan rokok. Padahal, sumber pendapatan daerah dari perusahaan-perusahaan rokok juga cukup besar berasal dari pajak pemasangan iklan-iklan rokok. Hal ini yang mungkin juga menjadi alasan tidak dapat dibentuknya perda KTR oleh pemerintah daerah dan legislatif. Pemerintah daerah hendaknya perlu mencari sumber pendanaan lain selain dari pajak iklan rokok tersebut.
Pembahasan raperda KTR sudah masuk sampai prolegda akan tetapi ada beberapa fraksi di DPRD dimentahkan atau ditolak perda tersebut. Kemungkinan ada beberapa alasan tersendiri bahwa kemungkinan dengan membatasi para perokok akan mengurangi pedapat daerah terkait pajak rokok. atau mungkin lobi yang dilakukan oleh pengusaha rokok kepada legislative sehingga pengambil keputusan tidak memiliki power dan kebijakan ini lemah. Di sisi lain pemerintah harus menggambil sikap tegas dengan melobi kapada frakasi yang pro terhadap Raperda KTR
bahwa besarnya political will disini snagat mempengaruhi proses penyusunan kebijakan. Beberapa teman memang sudah mmaparkan bahwa maslah politik sebenarnya dibayangi dengan kapitalisme ( pengaruh yang sangat besar dari Perusahaan Rokok dan sekutunya).
Sebenarnya konten tidak bermasalah dari Perda, sudah siap, penyusunan sudah lama dan sudah sampai tahap hearing ditingkat akhir. Munculnya masalah adalah dari aktor aktornya yaitu DPRD dengan ketidak setujuannya yang tiba tiba dan munculnya masyarakat kretek dan tembakau di akhir tahap dengar pendapat.
Ketika kita sudah mengetahui sumber masalhnya, dari situ pula kita mencoba menyelesaikannya. Untuk masalah dengan DPRD kita bisa belajar dari Kab. Kulon Progo bagaimana eksekutif (terutama Bupati ) melakukan advokasi dan negosiasi terus menerus kepada pihak legislatif dalam upaya persetujuan KTR.
Sedangkan untuk masalah masyarakat kretek dan petani tembakau, kita harus menelusur siapa sebenarnya mereka? Apakah memang masyarakat DIY yang benar – benar petani tembakau atau masyarakat yang dikendalikan oleh kapitalisme Perushanan Rokok. Kita bisa menyelami lagi mereka, mendengar apa yang dipermasalhkan mereka jika mereka memang petani rokok dan masyarakt kretek. Selain itu kita bisa mencontoh pergerakan mereka dengan membuat perestujuan atau komitmen KTR dikelompok – kelompok kecil dahulu misal dalam skala Dusun, Desa, atau komunitas2 sehingga banyak muncul deklarasi KTR (komitmen tertulis) di banyak tempat walaupun skalanya kecil (menjamur). Ini yang nantinya dapat dijadikan kekuatan bargaining position di tingkat atas, karena dukungan kelompok2 kecil. Denagn banyaknya pergerakan seperti itu dimasyarakat maka bisa dijadikan alasan untuk mempertanyakan kenapa DPRD menolak padahal DPRD adalah wakil rakyat di legislatif.
Memang untuk mewujudkannya butuh usaha dan komitmen yang besar serta waktu yang cukup lama.
Pertanyaan yang terus disampaikan adalah, apakah ketika proses pembuatan kebijakan, para petani tembakau dan pemilik pabrik rokok sudah dilibatkan?
Kemudian, sudahkan dibuat win-win solution kepada seluruh aktor yang terlibat di dalamnya?
Misalnya, dapatkan petani tembakau yang merasa rakyat kecil ini diarahkan untuk mengolah sektor pertanian lain seperti holtikultura atau sejenisnya, yang pada dasarnya sama-sama dalam lingkup pertanian. Dapatkah pemerintah memfasilitasi perubahan tersebut bagi para petani tembakau?
Apakah hal ini disebut sulit karena petani tembakau berada di bawah kuasa pemilik pabrik rokok? Jika dirasa iya, adakah solusi lain yang juga dianggap bijak untuk diterapkan pada pemilik pabrik rokok?
Memang pembuatan perda ini adalah fenomena yang dilematis antara aspek kesehatan dan aspek kesejahteraan, di mana kesejahteraan petani tembakau juga perlu diperhatikan di samping kepentingan kesehatan masyarakat luas.
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP no. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Tembakau bagi Kesehatan merupakan dasar dibentuknya perda-perda KTR atau KDM (Kawasan Dilarang Merokok) di Indonesia. Pada PP no. 109 Tahun 2012 pasal 7 ayat 1 dan 2 telah dicantumkan bahwasanya pemerintah mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan produk tembakau, serta mendukung pelaksanaan diversifikasi produk tembakau dalam rangka pengamanan produk tembakau (rokok) bagi kesehatan. Hal ini saya rasa yang perlu ditingkatkan pelaksanaannya agar petani tembakau tidak mengalami 'keresahan' akibat dibentuknya perda KTR.
Selain 'menyelamatkan' petani tembakau, yg harus dipikirkan juga adalah 'menyelamatkan' dana CSR yang biasanya memang banyak dikeluarkan oleh perusahaan atau pabrik rokok. Seperti yang kita ketahui, pabrik atau perusahaan rokok sudah mengeluarkan dana CSR, misalnya untuk bidang pendidikan dan olahraga. Mungkin pemerintah dapat melakukan lobbying pada perusahaan besar seperti perbankan atau food industry, sehingga dana CSR dapat terselamatkan, karena dana CSR berperan cukup besar dalam pembangunan negara, terutama di bidang pendidikan. Terima kasih
Menurut saya, selama keputusan politis di negara ini masih banyak ditentukan oleh dominasi kekuatan pemilik modal yang besar, maka kebijakan yang sifatnya kontra rokok akan terus mengalami kendala. Selain konsisten berupaya melakukan advokasi guna meminimalisir konsumsi dan paparan rokok di masyarakat, ada baiknya kita juga mempertimbangkan untuk mencari jalan keluar lain dengan mengintervensi dampak buruk rokok menggunakan kebijakan di sektor lain.
Misalnya:
- Mengembangkan alternatif komoditas pertanian selain tembakau yang memiliki nilai ekonomi serupa bagi para petani tembakau.
- Menggalakkan aturan pengurangan polusi udara selain dari asap rokok, misalnya regulasi kualifikasi knalpot kendaraan, cerobong asap pabrik, dan pembakaran sampah sehingga konsentrasi zat racun di udara dapat berkurang.
- Memberlakukan aturan wajib untuk membangun area hijau lebih banyak, khususnya di area tempat-tempat umum guna menetralisir sebagian gas2 beracun yang beredar di udara (termasuk yang bersumber dari rokok).
- Memberlakukan standarisasi dan subsidi penyediaan pangan lokal yang aman dan berkualitas sehingga masyarakat memperoleh akses yang mudah dan murah terhadap makanan sehat untuk mengkompensasi dampak negatif akibat rokok karena pada dasarnya kejadian penyakit itu multifaktorial.
Dll.
terima kasih
Menanggapi komentar yang disampaikan teman-teman di atas, saya setuju dengan sebagian besar pernyataan yang mengungkapkan bahwa aktor di pembuatan kebijakan ini masih belum menemukan titik temu dalam penetapan Raperda Kawasan Tanpa Rokok DIY. Seperti yang telah tercantum di Pedoman Kawasan Tanpa Rokok, sebelum perumusan dilakukan, Dinas Kesehatan dan lembaga pemerintahan terkait hendaknya berkonsolidasi lintas program dan lintas sektor. Tidak hanya elite pemerintahan saja yang diajak berkoordinasi tetapi juga perwakilan LSM atau bahkan perwakilan petani kretek, seperti halnya dalam kasus ini. Menyamakan persepsi berkaitan dengan tujuan dan manfaat adanya KTR perlu dilakukan sejak awal, toh KTR bukan dibuat untuk serta merta melarang orang merokok, tetapi sebagai upaya perlindungan Asap Rokok Orang Lain (AROL).
Peran media sebagai kontrol sosial juga sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan publik ini, diharapkan media dapat mensosialisasikan adanya kebijakan KTR agar dapat tersampaikan secara luas. Informasi mengenai KTR juga dapat disampaikan dengan media komunikasi yang menarik, seperti yang dilakukan negara Thailand dalam membuat iklan promosi kesehatan.
Diperlukan lobbying dan advokasi lebih kuat dari dinas terkait dan LSM atau komunitas anti rokok kepada pemerintah eksekutif dan legislatif agar kebijakan KTR dapat segera ditandatangani, apabila terganjal di permasalahan dana, dapat bekerja sama dengan instansi besar sebagai bagian dari program CSR, misalnya Bank, perusahaan otomotif, atau perusahaan farmasi.
Sebagai solusi terhadap aksi "walk-out" beberapa fraksi di legislatif sebagai dukungan terhadap "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau", perlu disampaikan alternatif usaha pertanian dan perkebunan lain selain tembakau, atau adanya upaya community empowerment terhadap masyarakat tersebut agar ke depannya tidak terlalu menggantungkan sumber pendapatan dari pertanian tembakau dan/atau pabrik rokok.
Terima kasih
Dalam pembuatan kebijakan diperlukan proses yang panjang,multidisiplin,dan melibatkan semua pihak, baik pembuat kebijakan dan masrayarakat dalam arti yang luas. Kebijakan pada realiatanya tidak bisa dilepaskan dari politik yang ada.
FYI, beliau adalah peneliti dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.
Ohya sambil diisi evaluasi minggu ke-2-nya kmd dikirimkan scr 'berjamaah' spt minggu lalu, ya. Suwun
Pendapat Prof Hasbullah akan efektif jika dijadikan kebijakan oleh pemerintah pusat yang di dalam kebijakannya terdapat rangkaian kebijakan pendukung; antara lain menyediakan terapi bagi masyarakat yang ingin berhenti merokok, mekanisme penjualan rokok yakni “Kebijakan kenaikan cukai rokok akan lebih efektif jika pada saat yang sama ada larangan menjual rokok secara eceran dan isi kemasan bungkus rokok dibatasi minimal 20 batang serta aturan peredaran jenis rokok lain untuk mencegah maraknya rokok ilegal.
Evaluasi minggu keduanya sedang dalam proses, pak Fahmy
:)