Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat PPK
- Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
- Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Comments
Terdapat beberapa permasalahan konsep pada proses pembuatan kebijakan Perda KTR di Yogyakarta :
1. Konsep aktor :
ada beberapa fraksi di DPR mengundurkan diri tidak menandatangani pengesahan kebijakan KTR dan ada elemen "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang merasa tidak diajak dalam proses pembuatan kebijakan.
2. Konsep konten/isi
Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau merasa tidak diajak dalam proses pembuatan Raperda KTR sehingga mereka beranggapan isi dari produk hukum ini tidak mencerminkan aspirasi masyarakat khususnya yang tergabung di "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau"
3. Konsep proses
Raperda KTR sudah masuk di Prolegda dan sudah dibahas di DPR namun akhirnya bermasalah pada saat menjelang disahkan (proses finalisasi) ditandai dengan beberapa fraksi tidak mau menanda tangani
4. Konsep konteks
Apakah pengajuan Raperda KTR juga dibarengi dengan kajian situasi kondisi politik yang terjadi di Jogja?karena pada awalnya tidak terjadi permasalahan namun menjadi gagal ketika akan disahkan.
Kesimpulan saya atas permasalahan kebijakan tersebut :
1. Esensi kebijakan KTR adalah melindungi kesehatan perokok pasif atau kelompok berisiko dari paparan asap rokok, ada Hak Asasi didalamnya, sudah semestinya harus diperjuangkan
2. Kebijakan KTR tidak dibuat untuk melarang orang merokok tetapi menempatkan perokok untuk lebih bijak dalam melakukan aktifitas merokok, tidak melarang orang merokok tetapi merokoklah pada tempatnya "Jadilah perokok yang memiliki Etika"
3. Proses politik menjadi hal yang wajib untuk diperhatikan dalam rangkaian proses pembuatan kebijakan, bukan tidak mungkin hanya tinggal tanda tangan namun menjadi gagal semuanya karena proses atau situasi politik ini tidak dikawal sepenuhnya
4. Perusahaan telah memainkan politik peran yaitu lobying kepentingan kepada DPR dan kelompok masyarakat dengan begitu canggihnya, kita sebagai MPH bisa belajar dari hal ini karena kuadran negatif mengandung titik positif yang apabila kita cermat dalam melihatnya maka terdapat peluang untuk melakukan hal yang luar biasa.
1. Telah nyata bahwa kepentingan publik dapat dikalahkan oleh kepentingan individu/kelompok. Dalam hal ini bahwa Raperda KTR yang hanya tinggal pengesahan, secara mendadak bisa dibatalkan penandatanganannya ketika para pengusaha turun tangan. Sehingga masing2 partai politik di DPRD DIY mengambil sikap balik badan. Padahal sudah banyak energi, waktu dan sumber daya yang dikeluarkan oleh akademisi, praktisi, kelompok anti tembakau, pemerintah dan legislatif di Prop. DIY dalam mengusung draft Raperda KTR tersebut yang pada akhirnya harus masuk laci.
2. Bahwa pertentangan/konflik pelaku (aktor) yaitu pengusung dan penolak Raperda KTR memang terjadi. Hasilnya bisa kita lihat sendiri dimenangkan oleh kelompok penentang Raperda KTR yang meliputi pengusaha rokok dan kelompok petani tembakau melalui "lobi cerdik" yang tidak menutup kemungkinan berbau gratifikasi.
3. Bahwa pengambil kebijakan tertinggi dalam pengesahan Perda KTR tersebut (Bupati dan anggota DPRD Prop. DIY) diisi oleh orang yang tidak "concern" terhadap dunia "publik health". Hal ini bisa diakibatkan bahwa latar belakang pendidikkan mereka yang bukan dari Kesmas, sehingga merasa tidak terlalu vital untuk segera menetapkan Perda KTR.
1. Telah nyata bahwa kepentingan publik dapat dikalahkan oleh kepentingan individu/kelompok. Dalam hal ini bahwa Raperda KTR yang hanya tinggal pengesahan, secara mendadak bisa dibatalkan penandatanganannya ketika para pengusaha turun tangan. Sehingga masing2 partai politik di DPRD DIY mengambil sikap balik badan. Padahal sudah banyak energi, waktu dan sumber daya yang dikeluarkan oleh akademisi, praktisi, kelompok anti tembakau, pemerintah dan legislatif di Prop. DIY dalam mengusung draft Raperda KTR tersebut yang pada akhirnya harus masuk laci.
2. Bahwa pertentangan/konflik pelaku (aktor) yaitu pengusung dan penolak Raperda KTR memang terjadi. Hasilnya bisa kita lihat sendiri dimenangkan oleh kelompok penentang Raperda KTR yang meliputi pengusaha rokok dan kelompok petani tembakau melalui "lobi cerdik" yang tidak menutup kemungkinan berbau gratifikasi.
3. Bahwa pengambil kebijakan tertinggi dalam pengesahan Perda KTR tersebut (Bupati dan anggota DPRD Prop. DIY) diisi oleh orang yang tidak "concern" terhadap dunia "publik health". Hal ini bisa diakibatkan bahwa latar belakang pendidikkan mereka yang bukan dari Kesmas, sehingga merasa tidak terlalu vital untuk segera menetapkan Perda KTR.
1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam konsep segitiga kebijakan, ada beberapa unsur/ faktor yang mempengaruhi sebuah kebijakan yaitu Aktor, Proses, Konteks dan Konten. Keempat faktor ini harus benar-benar terpenuhi dan bersinergi dengan baik agar suatu kebijakan bisa dihasilkan, sebaliknya jika keempat faktor tersebut tidak bisa saling mendukung maka mustahil untuk dihasilkan suatu kebijakan. Begitu pula dengan kasus Raperda KTR di DIY, ada pertentangan antara aktor yang terlibat dan berkepentingan dengan adanya kebijakan tersebut. Yaitu adanya penolakan dari “Masyarakat kretek dan Petani Tembakau”. Pertentangan ini kemungkinan besar adalah karena belum adanya kesepakatan terkait KONTEN dari perda tersebut.
Dari kasus tersebut menurut saya ini adalah sebuah bukti nyata bahwa dalam penyusunan suatu kebijakan, keempat faktor tersebut (Aktor, Proses, Konten dan Konteks) sangat berpengaruh dan saling terkait. Ketika Aktor yang terkait tidak sepemahaman, apalagi kalau sampai tidak dilibatkan kemudian kontek yang tidak melihat situasi dan kondisi ditambah lagi konten dari kebijakan tersebut pun dipertentangkan maka proses nya pun pasti akan terganjal.
2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Kalau kita bicara suatu kebijakan, baik itu sebelum atau sesudah kebijakan itu disahkan, pasti akan ada konflik kepentingan didalamnya, ada pro dan kontra. Sebelum kebijakan disahkan, semua pihak yang berkepentingan pasti akan melakukan upaya-upaya untuk menggagalkan atau men”goal”kan kebijakan tersebut. Sehingga endingnya akan sangat tergantung pada pihak mana yang memiliki “kekuatan” lebih dalam melakukan lobby-lobby nya. Rendahnya integritas anggota dewan, kurangnya pengawasan, dan leluasanyan pihak perusahaan dalam melakukan lobby-lobby sangat menentukan disetujui atau tidak disetujui nya suatu kebijakan.
saat ini, masalah rokok masih menjadi perdebatan dari berbagai pihak. Hal ini menjadi serius mengingat semakin gencarnya iklan rokok yang menjadi pintu gerbang untuk membidik kalangan muda, terutama anak-anak. Sebuah Peraturan saja itu tidaklah cukup untuk mengontrol para perokok aktif yang notabene telah mengakar di tengah-tengah masyarakat. Pada permasalahan yang terjadi tersebut, apa bila di tinjau dari segitiga kebijakan kesehatan. Ada beberapa konsep atau pun aspek yang belum sesuai dengan segitiga kebijakan :
Di lihat dari dari konsep Aktor : yang terdiri dari pemerintah yogyakarta, DPRD Yogyakarta, Badan legislatif yogyakarta, masyarakat kretek dan petani tembakau yogyakarta. Pada masyarakat terjadi ketidak persetujuan terhadap perda KTR.
Konsep isi/content : adanya protes dari komunitas masyarakat yaitu"Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut dan menuntut Raperda tidak ditandatangani. Alasan yang mereka kemukakan adalah tidak dilibatkannya petani tembakau dan pabrik rokok dalam pengembangan Raperda. Sementara itu juga, adanya beberapa fraksi di DPRD mengundurkan diri, karena menurut mereka Raperda adalah cacat hukum dan akan merugikan petani tembakau. Sehingga, Sampai sekarang Raperda KTR di Provinsi DIY tidak ditandatangani, walaupun terdapat dua kabupaten di DIY telah memiliki Perda KTR pada saat ini yaitu Kulon Progo dan Gunung Kidul. Hasil ini terjadi dikarenakan advokasi terus-menerus dari lembaga eksekutif ke lembaga legislatif.
Konsep proses : pada proses pelaksanaan dari pengesahan perda KTR tersebut masih banyak terjadinya ketimpangan-ketimpangan antara anggota politik dengan anggota pemerintah, anggota pemerintah atau anggota politik dengan masyarakat kretek (petani tembakau). Hal inilah yang membuat perumusan dari kebijakan perda KTR belum dapat di sahkan. Tentunya tujuan dari beberapa oknum yang diharapkan mengenai pengesahan perda KTR tersebut belum dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang telah di tetapkan.
Konsep konteks : adanya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permasalahan yang sedang terjadi hal ini di warnai dari berbagai banyak hal. Salah satu diantaranya adanya peraturan yang sudah dibuat namun kurang adanya ketegasan atau masih lemahnya peraturan tersebut.
KESIMPULAN :
Pemerintah Kota Yogyakarta yang tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang aturan merokok di tempat-tempat umum untuk memberikan perlindungan pada perokok pasif. Raperda tersebut tidak melarang masyarakat untuk merokok. Tetapi memberikan aturan-aturan tertentu dalam merokok sehingga tetap bisa memberikan perlindungan kepada perokok pasif. Aturan merokok ini tidak hanya akan diberlakukan di kantor-kantor lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tapi juga gedung legislatif, tempat ibadah, sekolah, sarana pelayanan kesehatan, tempat bermain anak, dan tempat perbelanjaan. Hal ini dapat di lihat pada Instruksi Menteri Kesehatan Nomor 84/Menkes/Inst/II/2002 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Tempat Kerja dan Sarana Kesehatan, Instruksi Menteri Pedidikan dan Kebudayaan RI Nomor 4/U/1997 tentang Lingkungan Sekolah Bebas Rokok, Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 161/Menkes/Inst/III/ 1990 tentang Lingkungan Kerja Bebas Asap Rokok.
Yogyakarta, secara mandiri, mulai pada tahun 2012 memiliki 20 rukun warga (RW) yang telah mendeklarasikan sebagai kawasan bebas asap rokok. Yaitu melarang perokok merokok di dalam rumah, saat pertemuan warga, di depan balita dan anak-anak, serta di depan perempuan. Dari uraian diatas, Pemerintah sudah mengupayakan untuk terselenggaranya kawasan tanpa rokok di Indonesia. Tinggal bagaimana masyarakat ikut berperan serta untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat tanpa asap rokok beserta elemen elemen dari pemerintah.
1. Sebuah kebijakan akan selalu terkait dengan kepentingan pihak pihak tertentu, baik internal maupun eksternal dari pihak yang mermuskan kebijakan itu sendiri. Implementasi RAPERDA DIY tentang Kawasan Tanpa Rokok pasti memliki potensi terhadap berbagai aspek, seperti ekonomi, kesehatan, lingkungan, maupun budaya. Banyak input yang bisa mengubah keputusan pelaku pengesahan dalam waktu singkat. Para aktor yang akan mengesahkan kebijakan KTR tersebut akan mendapatkan intervensi secara langsung maupun tidak langsung. Pihak- pihak yang mengesahkan RAPERDA DIY tentang KTR, notabenenya memliki hubungan pluralis dengan berbagai komunitas, tentunya akan memikirkan kerugian dan benefit yang mereka terima terkait kebijakan yang dibuat. Potensi kerugian kepada pelaku pengesahan itu sendiri akan menjadi bahan pertimbangan dan peninjauan ulang kebijakan tersebut, secara langsung pelaku akan menentang kebijakan itu, melihat pengaruh terhadap kestabilan organisasi internal mereka.
2. Tembakau merupakan sumber daya yang memiliki potensi terhadap berbagai aspek. Salah satunya ialah aspek ekonomi, Rokok yang merupakan produk jadi tembakau memiliki distribusi yang besar. Seperti yang kita tahu, pajak rokok juga menjadi salah satu devisa Negara terbesar kita saat ini. Kelompok masyarakat seperti petani tembakau dan juga perusahaan pengolahan rokok pasti menjadi elemen penting terhadap kondisi yang saya sebutkan diatas. Secara implisit petani tembakau dan perusahaan pengolahan rokok berpengaruh terhadap penacapaian angka perkapita negara, selain itu juga mencakup skala ketersediaan lapangan pekerjaan yang luas. Kebijakan KTR tentu akan berdampak langsung terhadap animo masyarakat untuk rokok, daya beli masyarakat yang jatuh akan berdampak terhadap turunnya angka produksi petani tembakau dan perusahaan pengolahan rokok. Tentunya ini menjadi sebuah ancaman untuk kelompok masyarakat seperti petani rokok dan juga perusahaan rokok. Atas dasar itu kelompok masyarakat dan juga perusahaan rokok maupun perusahaan lain yang terkait produksi dan distribusinya, pasti akan berupaya memberikan advokasi dengan berbagai cara dan dari segala sektor terhadap pihak yang merumuskkan kebijakan KTR tersebut. Kondisi ini memberikan kesan bahwa kelompok masyarakat dan perusahaan perusahaan terkait memiliki dominasi yang kuat terhadap sebuah kebijakan yang dirumuskan pemerintah, melihat sebab akibat yang diterima terkait kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Ada juga kepentingan dari anggota DPRD pada kasus ini, para anggota DPRD ini mempunyai ketakutan untuk menandatangani sesuatu yang tidak pro rakyat dalam hal ini pro kepada para perokok di kota Jogjakarta, mengingat bahwa jumlah perokok sangat banyak, para anggota DPRD ini tidak mendapatkan dukungan dalam pencalonan nya kemabali periode yang akan datang atau bagi yang tidak mencalonkan kembali timbul ketakutan apabila partai yang dinaunginya di kecam oleh masyarakat yang pro rokok dan kemungkinan tidak akan dipilih lagi dalam pencalonan apapun baik anggota dewan atau bahkan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Tapi kita tidak boleh menyerah begitu saja sebagai pihak yang memang ingin masyarakat ada dalam lingkungan yang selalu sehat, toh perda tersebut tidak melarang para perokok untuk berhenti merokok, tapi dari perda tersebut diharapkan perokok dapat merokok dengaan bijak, tidak juga merampas hak orang lain untuk bisa menikmati udara yang segar tanpa asap rokok. Dalam meyakinkan anggota DPRD kita harus mempunyai data - data yang valid berapa jumlah perokok saat ini yang mungkin sebagian besar adalah remaja, kerugian apa saja yang diderita apabila seseorang yang sehat terpapar asap rokok terus menerus dan untuk perokok itu sendiri. Dan kembali lagi kemampuan untuk mempengaruhi para anggota DPRD pastinya.
1. Peraturan yang dibuat untuk kepentingan bersama dapat dikalahkan karena kepentingan kelompok tertentu. Hal ini dapat terjadi setiap saat karena terdapat unsur politik, bahwa yang akan menang adalah pihak yang memiliki kekuasaan. Penyusunan perda tentunya telah menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit, yang seharusnya dapat disahkan dan berjalan demi kepentingan bersama, khusunya perda kawasan tanpa rokok. Dilihat dari pandangan sebagai pemerhati kesehatan masyarakat, tentunya sangat mendukung demi kebijakan ini berjalan dengan baik. Perda ini tidak mengurangi hak orang untuk merokok, hanya membatasi kawasan untuk diperbolehkan atau tidaknya merokok karena perilkau tersebut menimbulkan dampak bagi orang disekitarnya, yaitu perokok pasif yang memiliki resiko akan kesehatannya.
2. Sistem pemerintahan tidak terlepas dari sisi politik, sehingga orang-orang yang terpilih tentunya memiliki kepentingan tersendiri akan jabatan yang sedang dilakonkan sebagai aktor. Sangat disayangkan karena sebagai manusia terkadang memiliki ego yang tinggi akan kepentingan dirinya dan kelompoknya. Maka, sebaiknya orang-orang pemerhati kesehatan lebih banyak terlibat sebagai aktor pembuat kebijakan sehingga kebijakan yang terwujud memiliki unsur kepentingan tersendiri bagi pemerhati lingkungan.
2). Kelompok masyarakat yang menentang Perda yang terdiri dari petani dan pengusaha tembakau memiliki kemampuan modal yang lebih kuat dibandingkan kelompok pendukung Perda. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dalam upaya lobby penundaan Perda mereka menggunakan transaksi politik yang menggunakan materi (Uang). Sehingga maksud dan tujuan mereka dapat tercapai dan terkesan sanggat dominan sehingga mampu mempengaruhi para pengambil kebijakan (Pemerintah & Legislatif) uuntuk menunda ataupun membatalkan Perda KTR di Provinsi DIY.
Salam^^
ancor