Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat SIMKES
Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:
- Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
- Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.
Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
Pemberlakuan JKN di tahun 2014 juga dirasa sarat unsur politik karena pada saat itu sedang terjadi proses pergantian kekuasaan presiden.
Proses penyusunan kebijakan juga kurang melibatkan aktor-aktor yang terlibat, seperti contoh yaitu organisasi profesi seperti persatuan profesi dokter spesialis dan organisasi profesi PORMIKI (perhimpunan profesional perekam medis dan informasi Kesehatan Indonesia), sehingga dalam implementasinya di Rumah Sakit contohnya ada beberapa kasus yang mungkin menurut dokter spesialis tidak relevan dengan output yang dihasilkan dari program INA CBG's. dalam proses memasukkan kode penyakit juga ada beberapa aturan yang tidak sesuai dengan kaidah kode ICD 10 sehingga menimbulkan gesekan-gesekan dalam pelaksanaan di Rumah Sakit antara koder dan verifikator BPJS.
Dari sembilan prinsip SJSN yang terangkum dalam buku saku PAHAM SJSN, justru sekarang menjadi tanda tanya besar dalam proses IMPLEMENTASInya.
Saya melihat bahwa kebijakan program JKN ini terkesan di monopoli oleh kalangan tertentu. Salah satu contoh, dalam penyusunan MOU antara Pemerintah dengan BPJS tidak mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan di daerah. Misalnya dalam hal kepesertaan, pihak Dinas Kesehatan di Daerah tidak memiliki akses langsung terhadap data kepesertaan, untuk mendapatkan data kepesertaan tersebut perlu langkah-langkah yang cukup rumit dan memakan waktu yang cukup lama. Padahal kita ketahui bersama bahwa data kepesertaan tersebut terkait dengan informasi serta pengambilan kebijakan baik itu kebijakan program maupun dalam hal penganggaran.
Jadi menurut saya, perlu adanya perbaikan terhadap kebijakan JKN ini dengan mempertimbangkan aspek teknis di daerah serta melibatkan unsur-unsur yang terkait dengan program ini termasuk pihak pelaksana kegiatan di lapangan.
Pada pembahasan masalah JKN ini, beberapa hal yang ingin saya sampaikan, yaitu
1. Dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah, biasanya didahului dengan naskah akademik sebagai bahan utama. Apakah dalam penyusunan UU SJSN dan UU BPJS tidak didahului dengan naskah akademik?
2. Dalam pelaksanaannya, BPJS Kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes. Dahulu, Askes hanya mengelola dana untuk peserta dari golongan PNS (hanya 4-5 juta penduduk), saat ini BPJS kesehatan mengelola dana lebih dari 120 juta penduduk. Apakah pernah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelengara sistem JKN ini?
3. Sampai saat ini aliran data yang di input dalam sistem PCare belum dapat dimanfaatkan oleh pihak Kementerian Kesehatan ataupun pihak Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota, sehingga perlu dibuat suatu aturan baru mengenai pemanfaatan data ini antara pihak BPJS Kesehatan dengan Kemenkes/Dinas Kesehatan
Apakah menurut pak adi, sistem yang diterapkan oleh JKN ini sudah berpangkal pada ideologi Insonesia seperti tertuang dalam sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia? Karena menurut saya ada ketidakseimbangan antara daerah satu dan daerah lain.
Sebagai contoh Dalam hal pengadaan alat-alat dan bahan kesehatan daerah yang potensinya besar seperti pulau jawa yang hanya dapat menikmati fasilitas yankes yang memadai sebaliknya dengan daerah-daerah yang kurang memiliki SDM yang sesuai kebutuhan. Ini keuntungan besar bagi fasilitas yankes dikota besar, selain itu juga dalam segi keadaan data pemerintah daerah tidak berhak untuk mendapatkan akses informasi yang diinginkan.
Tetapi dalam kenyataannya dilapangan seorang yang mengikuti jaminan kesehatan ini hanya saja pembayaran iuran dilakukan jika seorang mengalami keadaan sakit (posisi terdesak). Hasil akhir dari pembahasan ini, perlu adanya regulasi perbaikan terhadap kebijakan JKN ini dengan mempertimbangkan aspek teknis baik yang ada dipusat atau yang berada didaerah agar kedepannya proses JKN ini dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Semoga ke depan pelaksanaan JKN bisa lebih baik lagi.
Tetapi kelahiran UU SJSN ini kalau dilihat dari prosesnya memakan waktu yang cukup panjang yaitu dari tahun 2000 hingga 19 Oktober 2004. Ada kesan bahwa pengesahan UU SJSN terburu-buru mengingat tanggal 29 Oktober 2004 ada penggantian Kepala Negara (unsur politik). Dalam penyusunannya pun tidak banyak melibatkan stakeholder teknis terkait, sehingga banyak kelemahan-kelemahan yang terjadi pada UU SJSN ini, hal tersebut sebenarnya sudah disadari oleh semua anggota tim yang terlibat dalam penyusunan UU SJSN termasuk dari DPR RI.
Apabila dalam pelaksanaannya ada hal-hal yang perlu perbaikan secara terus menerus merupakan proses panjang dalam rangka pendewasaan SJSN.
Indonesia sudah sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asean, sebagai contoh negara Srilangka sudah memiliki jaminan kesehatan sejak tahun 1948. Semua penduduk berhak mendapatkan layanan di puskesmas maupun rumah sakit publik tanpa bayar. Begitu juga dengan Malaysia, gratis biaya obat, laboratorium, atau jasa dokter, dan hanya membayar beberapa ringgit per hari. Permasalahan antrian untuk pasien, bagi yg tidak mau antri panjang bisa ke RS Swasta yang biayanya 1/3 biaya RS kita. Selanjutnya Taiwan memulai JKN di th 1995, Filipina juga dimulai tahun 1997.
Ketertinggalan ini memang membutuhkan akselerasi dalam pelaksanaannya, dan terhitung sejak dimulainya BPJS di tahun 2014, banyak sekali dilakukan perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan dalam pelaksanaan sistem ini. Bisa kita bayangkan jika pelaksanaan JKN ini harus menunggu sistem yang benar benar matang, infrastruktur, sarana dan prasarana yang memadai juga ketersediaan SDM yang cukup dan cakap di seluruh wilayah Indonesia, pada tahun berapa JKN di Indonesia akan bisa dimulai?
Defisit yang ada disebabkan masih rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran iuran peserta dan universal coverage belum terlaksana. Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 84 tahun 2016, ada tiga mekanisme yang bisa ditempuh BPJS Kesehatan jika terjadi defisit atau mengalami kesulitan likuiditas. Ketiga mekanisme itu yaitu melakukan penyesuaian iuran, melakukan penyesuaian manfaat atau pelayanan kesehatan yang diberikan, dan terakhir memperoleh suntikan dana dari pemerintah. Selama proses perbaikan pelaksanaan sistem JKN oleh BPJS, pemerintah bisa menutup defisit anggaran BPJS di tahun 2016 yang diperkirakan mencapai 7 Trilyun setelah iuran kepersertaan dinaikkan. Hal ini masih rendah jika dibandingkan dengan subsidi pemerintah yang besar untuk sektor lain di luar kesehatan yaitu subsidi BBM 32,3 triliun dan Listrik sebesar 45 triliun.
Apakah dengan kondisi BPJS sekarang yang dianggap devisit. Adakah solusi dari dari kendala-kendala yang disebabkan adanya ketimpangan penyerapan dana dari anggota PBI dan Non PBI (mandiri)?
Masa peralihan dari Jamkesmas/Askes ke sistem JKN(BPJS) sangat terasa. Sebelum era JKN, verifikator utama kami adalah Dinas Kesehatan, dimana kepesertaan, sistem klaim, data 10 besar penyakit, semua data ada di Dinas Kesehatan. Namun saat sekarang semua dilakukan oleh BPJS, kami meng-entry pasien di sistem P-Care, namun itu tidak bisa digunakan untuk bank data, dan seolah2 antara Dinas Kesehatan dengan BPJS berjalan sendiri2. Jadi Dinas Kesehatan tidak bisa memonitor kunjungan/kasus2 pada peserta BPJS.
Agar tidak berpotensi terjadinya Fraud di FKTP, kami selaku FKTP diawasi langsung oleh BPJS, dan dilakukan monitoring dan evaluasi oleh BPKP setiap tahunnya, baik itu mengenai dana kapitasi ataupun dalam hal pelayanan pasien.
Kepesertaan BPJS,trutama penetapan peserta PBI masih belum merata dan salah sasaran. Banyak didaerah kami, yang menjadi peserta PBI adalah mereka kelas menengah, justru yang ekonominya rendah/orang miskin banyak yang tidak menjadi peserta PBI, sehingga mereka harus mendaftar secara mandiri/Non-PBI.
Semoga kedepannya sistem JKN ini bisa lebih baik lagi, dan diperbaiki dari semua aspek, sehingga Tahun 2019 universal coverage bisa terwujud dengan baik. FKTP maupun FKTRL bisa memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat
Penyiapan sumber daya manusia membutuhkan waktu yang cukup panjang dan tidak sebentar. Menunggu semuanya siap dan berada pada kondisi ideal seringkali hanyalah ada dalam tataran teori belaka.
Mengenai masalah PCare, dan interoperabilitas dengan software yang lain sebenarnya sedang dilakukan oleh BPJS, agar petugas FKTP tidak terlalu banyak melakukan entri data.
Mengenai database di Dinas Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta sudah mempunyai database PCare, karena puskesmas melakukan pengentrian 2 kali, yaitu entri di PCare dan SimPus, sehingga masalah yang ada, bukan Dinkes tidak mempunyai database melainkan mengurangi entri data di FKTP dengan jalan bridging antara software SimPus dan PCare, dan ini sedang dilakukan proses mengarah kesana.
Mengenai kesalahan dalam pemberian kartu KIS berbasis PBI, masih menjadi fenomena klasik dalam negara kita, dan perlu perbaikan dalam pendataan. Sistem human error sering terjadi di sini, artinya dari perangkat desa sendiri yang memberikan kepada orang yang tidak tepat, yang diberikan kepada orang yang dikenal baik (bias error)
Dalam hal pencegahan fraud atau kecurangan, pemerintah telah membuat PerMenKes No 36 tahun 2015 yang perlu diimplementasikan dalam Standar Prosedur Operasional pada FKTP, yang mengacu pada borang-borang atau aturan yang telah ada.
Sedikit membahas fakta di lapangan, secara khusus di tempat tugas saya. Dalam sebulan kurang lebih ada 2 s/d 3 kali kami mendapatkan aduan atau laporan tentang masyarakat miskin yang tidak tercover dalam kepesertaan BPJS yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Timbul pertanyaan, apakah fakta seperti ini sudah sesuai dengan konsep suatu kebijakan ? Apakah ini sudah sesuai dengan asas Sistem Jaminan Sosial Nasional yang “diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asat manfaat, dan asa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ? (Ps. 2 UU No. 40 Tahun 2004).