Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat K3
Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:
- Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
- Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.
Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
Agar dokter spesialis mau di tempatkan di daerah terpencil.Apalagi pelayanan kesehatan yang menggunakan kartu BPJS Kesehatan sangat jauh dari kata Puas bagi peserta di banding pelayan kesehatan dibayar uang pribadi.Menurut saya perlu adanya REFORMASI di BPJS Kesehatan Baik di bidang kebijakan UU JKN dan BPJS serta Pelayanan Kesehatan. Menurut Saya BPJS Kesehatan ini baru siap di terapkan di Jawa. Karena Infrastruktur di bidang Kesehastan JAWA yang baru siap. Apalagi ada kebijakan pak Jokowi KIS yang sangat kental dengan adanya POLITIK yang masih tumpang tindih dengan BPJS Kesehatan
Menurut saya ada 3 hal yang harus hal mendasar yang harus di rubah:
1. UU BPJS Perlu dilakukan Amandemen/Perubahan Kalau perlu BPJS itu di bawah Kementrian Kesehatan
2. Adanya peningkatan Infratstruktur dan SDM di Bidang Kesehatan yang merata di seluruh Indonesia
3. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat dan sinergi dengan Dinas Kesehatan di daerah-daerah
2004;
2. pembacaan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 007/PUUIII/
2005 pada 31 Agustus 2005;
3. pengundangan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS pada 25 November
2011;
4. pembubaran PT Askes dan PT Jamsostek pada 1 Januari 2014;
5. pengoperasian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1
Januari 2014.
Meskipun sudah memakan waktu yang lama, namun ternyata pada implementasinya terkesan dipaksakan dan masih ada masalah-masalah yang muncul, antara lain :
1. defisit 7-9 triliun yang dikarenakan iuran premi yang cukup rendah, masalah kepesertaan yang dimulai karena sudah adanya sakit, dan sakit-sakit yang diderita merupakan penyakit akibat life style. meskipun sudah ada perpres no.19 tentang kenaikan premi ternyata hanya bisa mengurangi defisit 2-3 triliun saja.
masalah ini terjadi karena regulasi yang kurang kuat mengenai sistem kepesertaan dan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat.
2. Adanya kecurangan pada FKRTL berupa pengajuan klaim tidak sesuai dengan diagnosis.
3. jika dilihat dari segi tenaga medis, pendanaan kapitasi pada FKTP masih tergolong cukup rendah dan tidak sesuai dengan realita dilapangan.
1. BPJS mengalami defisit sekitar 4-5 triliun tiap tahunnya.
hal ini terjadi karena peserta yang non PBI menggunakan BPJS jika ada butuhnya saja sehingga dana bisa defisit.
2. Sistem single pool
klaim untuk PBI relatif lebih rendah sedangkan yang non PBI lebih tinggi, sehingga sistem single pool ini memberikan dampak seakan-akan salah subsidi.
3. Sistem pembelian pelayanan kesehatan oleh BPJS menghadapi berbagai tantangan, antara lain: penyebaran dokter dan RS yang tidak seimbang antar wilayah, dan kapitasi FKTP yang belum menjamin mutu.
Penyebaran RS masih belum fleksibel, karena pasien BPJS akan bisa berobat di RS jejaring BPJS dan tidak bisa secara langsung di gunakan di RS luar , untuk pindah harus menunggu proses lagi. Selain itu, RS di tiap daerah memiliki kelengkapan infrastruktur yang berbeda-beda.
Mengapa penyebaran Nakes masih minim dikarenkan anggaran untuk penyebarn nakes masih minim di kemenkes, sehingga kurang tersebar dengan baik.
Kapitasi pada FKTP juga belum menjamin mutu pelayanan, memang kapitasi bertujuan untuk membuat pelayanan secara teori menjadi pelayanan paripurna namun realita lapangan menunjukkan semakin membludaknya pasien BPJS faktanya pelayanan semakin dipercepat dan kepuasan pasien menurun dengan sistem regulasi yang ribet serta pengethauan tentang masyarakat tentang alur untuk mencari faskes belum di pahami banyak oleh masyarakat.
4. Pembangunan RS banyak di Jawa (Regional 1) yang mengakibatkan kebutuhan dokter spesialis semakin tinggi di Jawa. Hal ini dapat menarik dokter luar Jawa pindah ke Jawa. Di tahun 2014 dana Kemenkes untuk pembangunan RS atau faskes rendah, dan dana untuk penyebaran SDM kesehatan juga rendah.
Berdasarkan penelitian prof. Laksono menunjukkan bahwa ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi geografis yang sangat bervariasi, menimbulkan potensi melebamya ketidakadilan kesehatan antara kelompok masyarakat. Sebagai gambaran adalah ketimpangan infrastruktur, fasilitas dan
sumber daya manusia (SDM) antara Indonesia bagian barat dan timur. Di daerah kawasan timur jumlah fasilitas dan SDM kesehatan terbatas. Tanpa
adanya peningkatan ketersediaan (suplai fasilitas dan SDM di Indonesia bagian timur, dana BPJS Kesehatan akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan wilayah
Indonesia Barat.
Dokter tertarik pindah ke jawa karena secara materil lebih untung di jawa, peluang kerja dan kebutuhan akan dokter juga meningkat ditambah fasilitas yang lebih memadai, selain itu dana APBN untuk penyebaran nakes masih di abaikan oleh kemenkes. APBN ke APBN-P 2014 yaitu 120 milyar ke 95,7 milyar untuk program perencanaan SDMK. Besarnya anggaran tersebut sangat kecil apabila ditujukan untuk penyebaran tenaga kesehatan ke daerah-daerah di Indonesia.
5. Fraud belum dapat dikendalikan karena sistem pencegahan dan penindakan belum ada.
Kecurangan/fraud terjadi banyak di lapangan realitanya. Kecurangan JKN menurut Permenkes No. 36 Tahun 2015 adalah tindakan yang
dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Untuk sanksi fraud sudah ada berupa pemutusan kontrak kerjasama anatar BPJS dan faskes, yang memberi sanksi dinkes namun realitanya dinkes tidak bersinergi dengan BPJS sehingga untuk mekanisme sanksi belum terlaksana dengan baik.
Risiko kecurangan dan moral hazard banyak ditemukan pada implementasi BPJS misalnya banyak peserta yang menunggak untuk melakukan pembayaran premi BPJS, sudah sakit baru mengurus BPJS, rumah sakit mengajukan klaim yang tidak sesuai dengan kondisi pasien (melebihkan agar mendapatkan keuntungan), puskesmas yang terkadan tidak memberikan pelayanan maksismal dan seringkali langsung melakukan rujukan ke puskesmas serta penyimpangan lainnya
Penyaluran dana yang diajukan BPJS juga belum tepat sasaran, belum adanya pemisah penggunaan dana untuk Peserta PBI dan peserta non PBI membuat seringkali dana yang seharusnya digunakan untuk peserta PBI disalurkan untuk peserta non PBI yang terkadang klaim yang diajukan jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang berasal dari kepersertaan PBI. Hal ini bisa dimungkinkan karena para peserta PBI yang berasal dari daerah-daerah ini belum bisa mengakses pelayanan dengan mudah dan tenaga kesehatan belum banyak ditemukan di daerah mereka. Oleh karena itu, untuk peningkatan kualitas kesehatan peran promotif dan preventif sangat diperlukan. Dalam hal ini peran puskesmas atau dinas kesehatan yang ada di daerah sangat dibutuhkan. Sehingga saya ingin menggarisbawahi bahwa BPJS harus bisa bersinergi dengan baik, baik dengan puskesmas maupun dengan dinas kesehatan di daerah-daerah yang erat kaitannya dengan pelayanan yang bersifat promotif maupun preventif demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Saya beranggapan positif bahwa BPJS terlalu arogan karena menganggap bahwa lembaga tersebut langsung berada dibawah presiden serta campur tangan politik terlalu mengganggu. Banyak polemik-polemik yang mengakibatkan banyak masalah yang dianggap sebagai penghambat kelancaran pengimplementasian BPJS. Pada faktanya semua dapat memberikan tanggapanya mengenai salah satu kebijakan Indonesia yang tidak matang ini serta terkesan dipaksakan. Namun, apabila dari pengambil kebijakan sendiri bukan merupakan orang-orang yang mengerti kebutuhan dari rakyat perifer yang setidaknya mengerti mengenai kesehatan dan peduli tanpa memedulikan polemic politik, maka tidak akan pernah ada titik terang dari kebijakan ini. Oleh karena itu hingga saat ini permasalahan mengenai BPJS tidak kunjung menemukan titik terangnya. Semoga kedepanya dalam mengambil keputusan secara global yakni indonesia secara komprehensif, pada elite kebijakan dapat berasal dari orang-orang yang pernah mengalami permasalahan yang sesuai dengan kebijakan yang akan diambilnya.
Salam
pembentukan BPJS yang juga pada awalnya bertujuan untuk menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial kesehatan (Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011) malah terlihat tumpang tindih dengan adanya KIS besutan presiden jokowi, kepentingan politik dengan iming-iming jaminan kesehatan yang pada zaman sekarang "SANGAT" dibutuhkan menjadi suatu senjata ampuh untuk menarik simpati masyarakat awam.
Menurut pendapat saya, walaupun UU BPJS ini sudah dirancang sejak lama, bahkan fondasinya sudah diancang sejak 2004. Namun, entah kenapa masih terasa 'mentah' untuk digulirkan ketengah masyarakat. Hal ini mungkin yang membuat kebijakan ini terkesan dipaksakan, seperti yang disampaikan teman-teman diatas.
Bisa kita lihat dari ketidaksiapan sistem kesehatan kita untuk menerima kebijakan ini. Tenaga kesehatan yang kurang memadai (kekurangan jumlah tenaga kesehatan, tidak adanya pemerataan distribusi tenaga kesehatan), dan pelayanan kesehatan yang masih minim, terutama di daerah-daerah perifer membuat kurang efektifnya kebijakan ini untuk dilaksanakan.
Lebih jauh kita melihat membludaknya antrian peserta BPJS di rumah sakit-rumah sakit, yang berakibat pada kewalahan pihak rumah sakit mengatasi hal ini dan berkurangnya kualitas pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.
Di beberapa rumah sakit (terutama swasta), kita melihat pembatasan pasien pengguna BPJS, terutama untuk ruangan-ruangan intensif seperti ICU/CVCU/PICU. Hal ini bisa dimaklumi mengingat tingginya harga bayar ruangan-ruangan tersebut. Adanya pembatasan ini tentu terkait masalah dana/financial.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini BPJS mengalami defisit sampai sekitar 8 triliun rupiah. Saya rasa ini adalah salah satu impact kurang matangnya sistem dari kebijakan ini sebelum digulirkan ke masyarakat.
NB : tidak perlu adanya sistem atau program yang baru, kita/pemerintah cukup memperbaiki dan mengoptimalkan sistem yang telah ada dengan cara mengusut lebih lanjut oknum-oknum yang menjadi duri dalam sistem. makasih
Saya rasa ada beberapa hal yang perlu ditinjau kembali dalam pelaksanaan JKN ini, baik dalam memberikan perlindungan, manfaat dan akses pelayanan kesehatan pada seluruh penduduk. JKN harus memberikan pelayanan secara meneyeluruh, Komprehensip sesuai kebutuhan medis berdasarkan kebutuhan dasar yang layak (pasal 22 UU SJSN). JKN juga harus memberikan keadilan dalam pembiayaan kesehatan sehingga terjadi cross subsidi di antara penduduk dan antara daerah. Serta Memperbaiki kembali berbagai kebijakan yang ada di JKN.
program JKN dan BPJS merupakan program kesehatan yang menyerupai program kesehatan yang ada pada negara maju sehingga Indonesia terkesan memaksakan diri dengan keterbatasan sarana prasarana, jangkauan fasilitas yang belum dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat. Mengingat keberagaman masyarakat, JKN ataupun BPJS tentunya belum dapat dilaksanakan secara maksimal diseluruh pelosok Indonesia.
selain itu fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan kualitasnya tentu saja tidak sama di setiap daerah yang tentunya menimbulkan kesenjangan.
Hal-hal tersebut tentunya membuat program JKN ataupun BPJS belum dapat berjalan secara maksimal sehingga diperlukan inovasi-inovasi baru atau reformasi kesehatan.
“Memperbaiki manajemen program” maksudnya mengaplikasikan dengan baik manajemen itu sehingga tujuan program yang diinginkan bisa benar-benar tercapai. manajemen program disini bisa meliputi perbaikan SDA ( petugas kesehatan agar tidak ada lagi perbedaan pelayanan. Membekali petugas kesehatan dengan pengetahuan tentang BPJS agar pada saat ada keluhan dari peserta maka petugas dengan sigap dan ramah menjawab semua keluhan. selain petugas kesehatan, peserta BPJS kesehatan pun harus betul-betul mengerti dan mengetahui semua tentang BPJS agar nantinya pada saat pelaksaan di lapangan tidak ada lagi keluhan dengan alasan tidak tahu, atau tidak sesuai padahal semuanya sudah jelas ada di buku panduan BPJS). Pemerintah juga harus terus melakukan penyuluhan tentang kewajiban menjadi peserta BPJS terutama didaerah-daerah terpencil yang pada umumnya kesulitan mengakses informasi
1. Sistem pelayanan yang kurang baik,
2. PBI atau kepesertaan/keanggotaan,
3. Defisit Anggaran pembiayaan,
3. SDM dan fasilitas kesehatan yang belum memadai di beberapa daerah terutama daerah pelosok di Indonesia.
Menurut saya perlu adanya sebuah prototipe untuk setiap kebijakan yang dibuat, sehingga bisa di uji coba terlebih dahulu di satu daerah pada jangka waktu tertentu. Baru akan bisa dilihat keberhasilan prototipe kebijakan tersebut, sehingga akan didapat masalah dan kendala di lapangan. Setelah itu baru dilakukan proses evaluasi, dan penerapan sistem yang baru. Proses ini mungkin akan memakan biaya yang cukup besar, dan juga waktu, tetapi jika prorotype kebijakan tersebut berhasil maka akan meminimalisir kendala-kendala di lapangan.