Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat Gizi
Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:
- Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
- Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.
Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
Dalam penyelenggaraan BPJS, tentunya ada koordinasi rutin. Dalam koordinasi tersebut, jika bisa, ada baiknya memasukkan tenaga kesehatan dari daerah tertinggal atau yg kurang terjangkau di Indonesia, untuk turut serta memberi masukan mengenai masalah apa yg terjadi di daerahnya. Sehingga pemerintah pusat bisa langsung mengetahui bagian mana yang harus didahulukan untuk diperbaiki. Karena menurut saya, selama ini pemerintah pusat kebanyakan membuat kebijakan tanpa mengetahui kondisi real di daerah, terutama daerah tertinggal.
terima kasih.
Pemanfaatan BPJS di daerah-daerah yang tertinggal seperti di daerah timur Indonesia masih kurang optimal karena tidak adanya fasilitas kesehatan yang mumpuni. Sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang terkait solusi jika tidak ada fasilitas kesehatan yang mendukung di suatu daerah, melalui adanya kompensasi dari pemerintah. Dalam UU SJSN Pasal 23 ayat 3 disebutkan bahwa "Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi". Namun, nampaknya pada pelaksanaannya hal ini belum dapat terlaksana dengan baik, sehingga dapat dilihat dari dana PBI untuk daerah yang tertinggal masih belum dapat terserap. Sulitnya mengoptimalkan penerapan BPJS yang merata di seluruh daerah di Indonesia, dapat disebabkan oleh polemik politik dalam pembentukan Undang-Undang tersebut sehingga ada kesan peluncuran kebijakan ini ‘dipaksakan’. Seperti yang telah disebutkan pada komentar-komentar sebelumnya, pembentukan Undang-Undang ini kurang melibatkan aspek-aspek teknis serta tidak diterapkannya evidence based policy. Dalam membuat kebijakan, hendaknya memperhatikan kemampuan kondisi dari setiap daerah, oleh karena itu penting menerepkan evidence based policy. Selain itu, hendaknya BPJS tidak didekatkan dengan konsep ‘sentralisasi’, tetapi dalam penerapannya disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing seperti dalam konsep ‘desentralisasi’.
Salam.
Seperti yang terjadi pada penyusunan UU BPJS ini, penyusunannya tidak melibatkan unsur stakeholder teknis dalam hal ini berbagai organisasi profesi, menyebabkan banyak terjadi ketimpangan di dalamnya. Sehingga, sejak dilaksanakannya UU BPJS per 1 Januari 2014, pelaksanaan BPJS menemui cukup banyak kendala, diantaranya seperti yang sudah disampaikan rekan-rekan diatas. Dan masih cukup banyak permasalahan-permasalahan lain diantaranya kesiapan faskes-faskes terutama di daerah luar jawa maupun perbatasan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai UU BPJS. Padahal kendala di daerah perbatasan tersebut sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama untuk dapat menyesuaikan dengan Undang-Undang BPJS. Dan masih banyak permasalahan lain. Lalu, untuk mengatasi ketimpangan tersebut pemerintah harus menerbitkan hingga lebih dari 10 aturan tambahan untuk memperbaikinya.
Dalam banyak fakta, ke empat unsur dalam segitiga kebijakan ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Isi dapat saja dipengaruhi oleh norma-norma yang dianggap sesuai oleh penyusun kebijakan, konteks dapat dipengaruhi oleh adanya ideologi penyusun maupun sejarah atau budaya, proses terkadang dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan maupun keuntungan bagi mereka sendiri, serta serta pelaku mungkin saja dipengaruhi oleh budaya mereka sendiri. Seperti juga dalam penyusunan UU BPJS ini, penyusunannya sebenarnya sudah dirintis sejak lama mulai tahun 2004. Setelah diujicobakan mulai tahun 2012 hingga benar-benar dilaksanakan pada 1 Januari 2014, UU BPJS ini masih harus ditunjang dengan aturan-aturan tambahan yang mendukung pelaksanaannya. Artinya, undang-undang ini nampaknya belum siap secara matang dan berdasarkan evidance base, sehingga dalam pelaksanaanya terus menerus dilakukan penyesuaian. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor “tertentu” dalam penetapan UU BPJS ini, dan menurut hemat saya faktor “tertentu” dalam proses penetapan undang-undang ini lebih banyak bersifat politis.
Ada beberapa hal yang saya soroti, pertama, konteks dari penyusunan kedua UU tersebut adalah dilatarbelakangi kebutuhan Indonesia akan sistem pelayanan kesehatan yang tidak hanya mengutamakan kalangan atas tetapi juga rakyat miskin. Tetapi dari pelaksanaan UU JKN per Januari 2014 terlalu tergesa- gesa tanpa melihat kesanggupan masing-masing daerah untuk mengadopsi sistem tersebut. Ketergesaan tersebut banyak di latarbelakangi kepentingan politik, pencintraan dan perebutan kewenagan. Alangkah baiknya jika JKN dilaksanakan bertahap mulai dari daerah yang sudah siap dengan fasilitas kesehatannya, aturan pelaksanaannya dan pemahaman masyarakat akan JKN.
Yang kedua adalah aktor, aktor dari kebijakan JKN ini adalah pemerintah baik pusat maupun daerah, BPJS dan terutama masyarakat. Saya ingin menyoroti peran BPJS yang mendominasi pelayanan kesehatan saat ini. Memang BPJS merupakan badan keuangan bukan kesehatan sehingga banyak ketidakharmonisan antara BPJS, Fasilitas Kesehatan maupun pemerintah. Dengan berlandaskan UU JKN BPJS menjadi badan yang setiap tindakannya menjadi acuan bagi istansi kesehatan yang aturannya lebih diikuti daripada Dinas Kesehatan maupun Kementrian Kesehatan. Sebaiknya perlu dibuat batasan batasan yang jelas sejauh mana peran BPJS, Dinas Kementrian dan Faskes sehingga pelaksaannya tidak terjadi perebutan kewenangan.
Yang ketiga pada proses, pada proses penerapan UU JKN ini yang seharusnya paling diutamakan adalah masyarakat sebagai sasaran. Walau sejauh atau selengkap apapun ketentuan BPJS, sesengit apapun diperdebatkan, tetapi jika tidak disosialisasikan dengan baik maka hasilnya tidak akan dirasakan. Sosialisasi yang menyeluruh dan mendalam perlu dilakukan agar masyarakat benar- benar paham hak dan kewajibannya pada BPJS.
Sekian, terimakasih.
Ada beberapa hal yang saya soroti, pertama, konteks dari penyusunan kedua UU tersebut adalah dilatarbelakangi kebutuhan Indonesia akan sistem pelayanan kesehatan yang tidak hanya mengutamakan kalangan atas tetapi juga rakyat miskin. Tetapi dari pelaksanaan UU JKN per Januari 2014 terlalu tergesa- gesa tanpa melihat kesanggupan masing-masing daerah untuk mengadopsi sistem tersebut. Ketergesaan tersebut banyak di latarbelakangi kepentingan politik, pencintraan dan perebutan kewenagan. Alangkah baiknya jika JKN dilaksanakan bertahap mulai dari daerah yang sudah siap dengan fasilitas kesehatannya, aturan pelaksanaannya dan pemahaman masyarakat akan JKN.
Yang kedua adalah aktor, aktor dari kebijakan JKN ini adalah pemerintah baik pusat maupun daerah, BPJS dan terutama masyarakat. Saya ingin menyoroti peran BPJS yang mendominasi pelayanan kesehatan saat ini. Memang BPJS merupakan badan keuangan bukan kesehatan sehingga banyak ketidakharmonisan antara BPJS, Fasilitas Kesehatan maupun pemerintah. Dengan berlandaskan UU JKN BPJS menjadi badan yang setiap tindakannya menjadi acuan bagi istansi kesehatan yang aturannya lebih diikuti daripada Dinas Kesehatan maupun Kementrian Kesehatan. Sebaiknya perlu dibuat batasan batasan yang jelas sejauh mana peran BPJS, Dinas Kementrian dan Faskes sehingga pelaksaannya tidak terjadi perebutan kewenangan.
Yang ketiga pada proses, pada proses penerapan UU JKN ini yang seharusnya paling diutamakan adalah masyarakat sebagai sasaran. Walau sejauh atau selengkap apapun ketentuan BPJS, sesengit apapun diperdebatkan, tetapi jika tidak disosialisasikan dengan baik maka hasilnya tidak akan dirasakan. Sosialisasi yang menyeluruh dan mendalam perlu dilakukan agar masyarakat benar- benar paham hak dan kewajibannya pada BPJS.
Sekian, terimakasih.
1. Masyarakat dilevel yang paling bawah belum mengerti tentang mekanism, aturan dan hak peserta secara menyeluruh, perlunya peningkatan sosialisasi disemua tingkatan msyarakat dg melibatkan semua stakeholder yang berwenang
2. Masyarakat yang terpencil dan sangat terpencil kesulitan untuk menjadi peserta baru, bila mekanisme pendaftaran dan pembayaran harus melalui bank/kantor pos, mendaftar bila ada kasus rujukan saja, perlunya proses yang memudhkn masyarakat
3. Pada saat mendaftar, masyarakat harus diberikan penjelasan secara lengkap dan jelas tentang hak yang akan didapatkan oleh peserta dan kewajiban2 yg harus dipenuhi, hal ini penting untuk menghindari banyaknya komplain terhadap kelbihan biaya, jenis dan pelayanan yang diberikan dll
4. Belum siapnya sarana dan prasarana didaerah untuk memberikan pelayanan maksimal kepada peserta JKN
5. Kegiatan preventif dan promotif yang ada dalam program JKN harus benar2 dilaksanakan riil dilapangan.
Mencoba memberi komentar sesuai dengan pemahaman saya. Adanya JKN dan BPJS ini menurut saya merupakan niat baik pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya yang patut diapresiasi tinggi. Namun masih terdapat banyak kekurangan. Salah satunya adalah sosialisasi yang belum optimal. Jangankan di daerah-daerah yang jauh dari ibukota, di kota yang dekat dengan ibukota pun, seperti Bogor dan Bandung, masih banyak masyarakat yang belum terpapar dengan BPJS. Masih banyak masyarakat yang baru mengetahui adanya JKN dan BPJS ini ketika sedang mengurus administrasi rawat inap. Perlunya sosialisasi yang optimal sampai ke lapisan masyarakat tingkat bawah sangat dibutuhkan agar niat baik pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya dapat tercapai. Sosialisasi tersebut bisa dilakukan dalam bentukiklan layanan masyarakat yang diputar dengan frekuensi cukupsering di televisi, banner, poster, leaflet, sampai penyuluhan-penyuluhan yang diberikan ke masyarakat langsung.
Sekian dari saya.
Peraturan tetang JKN ini menurut saya disusun tidak epenuh hati. Peraturannya dirancang menurut hemat para penyusun kebijkan tanpa melihat kondisi lapangan. Apakah dengan diberlakukan JKN ini secara nasional dapat memberikan dampak yang merata pula pada setiap daerah Di Indonesia. Nyatanya di berbagai daerah JKN ini tidak diserap secara maksimal oleh masyarakat yang justru paling membutuhkan JKN ini. Misalnya di daerah yang infrastruktur sebenarnya masih perlu ditingkatkan dengan adanya JKN ini sama saja tidak begitu bermanfaat jika fasilitasnya tidak ada. Selain itu, beberapa kelompok masyarakat lebih diuntungkan karena syarat untuk mendapatkan pelayanan BPJS membutuhkan berbagai persyaratan (surat2). Selain itu, jalur koordinasi BPJS dengan Kementrian Kesehatan masih belum jelas sepengetahuan saya, karena UU BPJS ini langsung di bawah UUD. Jadi hal ini juha perlu diperjelas untuk lebih memperbaiki pelaksanaan JKN ini. Mungkin manfaatnya belum bisa dirasakan dalam waktu dekat karena itu diperlukan komitmen untuk melakukan evaluasi demi tercapainya manfaat JKN ini terutama dalam jangka panjang. Mohon dikoreksi kalau ada salah saya berkomentar sesuai pengetahuan saya sebagai freshgradute.
Menurut saya, segala permasalahan yang timbul dari implementasi JKN disebabkan kebijakan ini sejak awal TIDAK DIPERSIAPKAN DENGAN BAIK.
1. Dalam persiapannya, pemerintah kurang melibatkan organisasi profesi dan fasilitas kesehatan sebagai pelaksana teknis di lapangan sehingga banyak SDM, sarana dan prasarana yang belum siap/tersedia untuk menjalankan program JKN tersebut. Hal yang demikian menyebabkan pelayanan kesehatan yang diberikan menjadi tidak optimal, terutama di daerah-daerah perifer, terpencil, atau pedalaman.
2. Tarif INA-CBG banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan sehingga menimbulkan potensi fraud dari beberapa Rumah Sakit guna menghindari kerugian. Pembayaran klaim oleh BPJS yang sering terlambat menjadikan kecenderungan ini makin mungkin terjadi.
3. Besaran kapitasi yang dibayarkan pada fasilitas kesehatan primer amat terbatas, akibatnya pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak maksimal, kurang berkualitas, dan terkesan seadanya. Fokusnya masih banyak untuk membiayai upaya kuratif, program-program preventif belum mendapat porsi yang memadai.
4. Banyak masyarakat yang belum memahami konsep asuransi sosial yang diberlakukan dalam sistem JKN sehingga beberapa peserta hanya membayar premi saat sakit saja. Setelah sehat, mereka tidak membayar lagi. Hal ini mengakibatkan BPJS tidak memiliki cukup dana untuk secara kontinue membiyai pengeluaran kesehatan, bahkan terus merugi.
Demikian sementara yang dapat saya sampaikan terkait permasalahan JKN di atas.
Sebagai bagian dari kebijakan kesehatan, pelaksanaan BPJS masih terdapat kekurangan dalam hal pelayanan kepada peserta, salah satunya seperti yang disampaikan Mbak Farah di atas. Karena alasan diskriminasi tersebut, masyarakat tertentu tetap memilih berobat dengan biaya mandiri untuk menghindari antrian lama atau segala "kerumitan" yang kerap dikeluhkan banyak orang.
Hal-hal teknis terkait pembayaran iuran dan sistem informasi manajemen nya juga masih perlu perbaikan. Terkait dengan peraturan terbaru yaitu "Bayar BPJS Kesehatan Harus 1 KK" yang berlaku per 1 September, belum disosialisasikan secara menyeluruh dan masih terjadi kesalahan yang merugikan peserta.
Contoh :
1. Tn.W membayar perawatan Kelas I untuk dirinya dan 3 orang anggota keluarga, yang mana totalnya 320.000, tetapi ternyata tiap orang di keluarga Tn.W masih diharuskan membayar 320.000.
2. Peserta perawatan kelas III tiba-tiba statusnya berubah menjadi peserta perawatan kelas I. Yang seharusnya membayar 100.000 untuk 4 orang anggota keluarga, saat membayar melalui ATM diminta membayar sebesar 320.000
Meskipun masyarakat merasa terbantu dengan BPJS, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi berkala, terutama terkait hal-hal teknis yang tidak dapat diremehkan. Perlu perbaikan di berbagai aspek dalam pelaksanaan BPJS. Rentang waktu 11 tahun dari penyusunan undang-undang hingga menjadi kebijakan seharusnya bisa digunakan untuk memperkirakan masalah yang akan timbul beserta alternatif solusinya yang tentunya tidak merugikan peserta penerima jaminan kesehatan. Apabila permasalahan seperti itu masih sering terjadi di kota-kota besar yang notabene akses dan infrastruktur sudah baik, bagaimana dengan daerah lain yang aksesnya masih terbatas? Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya juga berkoordinasi terkait pelaksanaan di masing-masing daerah, dengan tetap memperhatikan kapasitas daerah, sehingga diharapkan seluruh peserta BPJS di seluruh Indonesia mendapat hak pelayanan sesuai dengan apa yang telah dibayarkan.
Demikian pendapat dari saya, terima kasih.
lalu masyarakat yang bukan dari perkotaan dan yang berasal dari sosial ekonomi kurang tidak memahami aturan BPJS, sehingga baru tau kalau ada asuransi saat sakit dan akhirnya bingung mengurus dan membayar. Lalu saat sudah sehat mereka berhenti membayar seakan-akan meremehkan
Sebenarnya sudah ada niat baik dari pemerintah untuk menjalankan amanat konstitusi dengan adanya UU SJSN dan BPJS, namun dikarenakan penggondokannya yang "setengah hati' dan terkesan lip service pemerintah pada masa penyusunan hingga pengesahannya serta kurangnya kajian berbasis evidence membuat masalah JKN ini kronis, berlarut-larut hingga saat ini dan masa yang akan datang jika tidak ditangani secara serius.
Perumusan kebijakan JKN dan BPJS memakan waktu yang lama, namun masih terdapat kekurangan pada berbagai aspek. Sebagai contoh dalam hal organization yakni sistem kontrol dan evaluasi. Sistem kepesertaan yang rumit dan sosialisasi yang belum menyebar secara luas membuat sebagian masyarakat mengambil jalan pintas, dengan pembayaran kolektif yang menjadi celah sejumlah oknum memanfaatkannya. BPJS palsu ditemukan di beberapa kota, seperti Cimahi,Padalarang dan Jakarta. Hal ini membuat keresahan pada sebagian peserta, khawatir kartu BPJSnya ditolak ketika diperlukan. Sehingga pada pelaksanaannya, kepatuhan peserta BPJS untuk membayar iuran secara berkesinambungan dan tepat waktu menjadi terancam. Padahal BPJS yang sebagian dananya didapat dari iuran peserta ini memerlukan kontinuitas pendanaan. Oleh karenanya, diperlukan pengoptimalan regulasi pada segi kontrol monitoring dan evaluasi BPJS. Jangan hanya di tingkat pusat, namun pemerintah daerah dan sektor terkait perlu dilibatkan.
Saya sepakat dengan mba Lienda, bahwa lamanya waktu yang digunakan untuk perumusan sampai pengesahan UU BPJS tidak menjamin baiknya dalam pelaksanaan program BPJS ini sampai ke tingkat daerah. Contohnya di daerah saya, ada kasus seorang mendaftar BPJS karena ingin operasinya didanai sehingga mendaftarkan diri sebagai pengguna beberapa hari sebelum operasi dan setelah operasi selesai tidak lagi membayar premi yang menjadi kewajiban peserta BPJS. Ini tentu berdampak buruk kepada BPJS. Sehingga perlu adanya regulasi yang lebih baik untuk menjamin masyarakat dapat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dan membayarkan kewajibannya setiap bulan.
Kebijakan JKN merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesehatan bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibentuklah badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan kesehatan seluruhnya untuk pengembangan program kesehatan dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Melihat dari tujuannya, dapat dikatakan bahwa program ini sangatlah baik namun pada kenyataannya masih memiliki banyak kekurangan misalkan saja perumusannya yang membutuhkan waktu yang agak lama dan adanya unsur politik dalam perumusannya. Dan ketika hal ini terjadi maka para politisi akan saling tarik ulur untuk mencari jalan yang aman untuk kepentingannya sendiri sehingga target dari sebuah kebijakan ini tidak tercapai dengan baik. Kalaupun politisi ikut serta dalam perumusan kebijakan kesehatan, alangkah baiknya kalau mereka paham dan mengerti betul mengenai seluk beluk tentang kesehatan agar mereka tahu apa yang harus dibahasnya agar implementasinya dapat diberlakukan secara efektif.
Karena pada kenyataannya Implementasi ideal dari JKN masih menemui berbagai kendala. Berbagai peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan sampai saat ini belum terbentuk. Kompleksitas implementasi JKN terutama terletak pada pengaturan teknis berbagai program dalam JKN yakni jaminan kesehatan. Tampaknya memang masih diperlukan komitmen tinggi dan kesungguhan dari berbagai pihak pengambil kebijakan untuk mewujudkannya.
1. mmg karena faktor ekonomi shg
masyarakat merasa berat membayar
premi setiap bulan.
2.bisa karena ketidaktahuan masyarakat
tentang fungsi JKN.
3.Masyarakat kecewa dengan pelayanan
kesehatan, dgn JKN masyarakat merasa
pelayanan kesehatan malah tdk baik.
Sehingga tidak mengherankan apabila saat ini BPJS menanggung tunggakan premi yang sangat besar...
Sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka Jaminan Kesehatan Nasional dikelola dengan prinsip Gotong royong. Dengan kewajiban semua peserta membayar iuran maka akan terjadi prinsip gotong royong dimana yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin Nirlaba. Namun pada prakteknya seiring dengan berjalannya waktu program ini berjalan menyimpang dari prinsipnya, banyak mereka yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS tidak membayar iuran dan telah memanfaatkan pelayanan yang ada, sehingga terkesan memberatkan pihak yang patuh akan pembayaran iuran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi sebelum peluncuran program ini. Sehingga beberapa daerah belum siap menjlankan program ini