Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat PPK
Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:
- Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
- Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.
Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
1. Tidak secara eksplisit dijelaskan oleh Prof.Dr. Thabrany Dekan FKM UI pada saat Temu Ilmiah Public Health in the New Millenium, 18-20 Agustus 2004 bahwa memang isu yang berkembang menarik kepentingan politik dalam pembuatan RUU SJSN dengan kantor sekretariat Tim SJSN berada di Kantor Wakil Presiden dan diduga menjadi kendaraan partai politik tertentu, namun apabila melihat sosok Ketua Tim yaitu Prof. Yaumil Agus Achir adalah sosok birokrat yang bersih maka menurut pendapat saya, kepentingan politik tetap mewarnai pembuatan RUU SJSN ini namun ada unsur birokrat bersih yang menjadi penyeimbang, RUU diajukan oleh presiden SBY pada 26 Januari 2004 untuk dibahas di DPR dan disahkan pada 19 oktober 2004 dalam tahun yang sama jadi menurut saya tidak ada unsur dipaksakan dari segi waktu, kalau memang pada saat pembuatan nasakah akademik memakan waktu kurang lebih 3 tahun menurut saya hal itu wajar karena ini adalah kepentingan nasional dan penulis juga mempunyai pengalaman yang sama pada saat penyusunan naskah akademik PERDA KTR kurang lebih selama 1 tahun (level kabupaten)
Selain itu, Saya berpendapat sarana prasana yang kita miliki belum sepenuhnya siap, impilikasinya dilapangan minim. Namun, kembali lagi keputusan pada desicioon maker dan unsur politik didalamnya
Selain itu, Saya berpendapat sarana prasana yang kita miliki belum sepenuhnya siap, impilikasinya dilapangan minim. Namun, kembali lagi keputusan pada desicioon maker dan unsur politik didalamnya
Untuk penyusunan UU JKN yang dianggap lama, sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu waktu yang ideal dalam penyusunan sebuah Undang-Undang agar kita dapat menilai 7tahun proses penyusunan JKN apakah termasuk lama, cepat atau sudah ideal.
1. Proses penyusunan kebijakan didominasi kekuatan politik, dan kurang melibatkan stakeholder
a. Didominasi kekuatan politik, hal ini sangat terlihat dari dinamikanya yaiitu Sejak awal diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) lalu disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS (UU BPJS) terlihat betapa dipaksakannya pengesahan kedua UU tersebut. Misalnya UU SJSN itu diteken mantan Presiden Megawati disaat akhir masa jabatannya tahun 2004. Lalu dengan ngototnya anggota DPR RI dari PDI Perjuangan untuk meloloskan UU BPJS dengan mengilusi rakyat bahwa BPJS adalah jaminan kesehatan yang ideal dan gratis. Kemudian ketika BPJS berjalan, malah berbalik arah dengan cepat-cepat melontarkan kritik terhadap JKN yang notebene adalah produk dari BPJS. Mereka mengkritisi tentang iuran yang dipungut oleh BPJS kepada rakyat yang menjadi peserta diluar peserta yang ditanggung pemerintah. Lah padahal sejak di bahas UU BPJS sudah mencantumkan pasal tentang iuran.
b. Kurang melibatkan stakeholder yang ada
- Tarif INA-CBGs dinilai terlalu rendah, misal biaya operasi bedah yang membutuhkan biaya 7 juta, Cuma dibayar BPJS (sesuai tarif InaCBGs) sebesar 2-3 juta. Sehingga bagian bedah ini sering menjadi sumber devisit RS, yang tentu saja akan mengancam kebrlangsungan RS.
- Belum semua RS taat peraturan, BPJS tidak jujur kepada masyarakat kalo asuransi yang diberikan ada keterbatasan
Untuk persoalan no 2. (proses penyusunan kebijakan yang cukup lama) hal ini menurut saya sangat dipengaruhi oleh politikal will dari pemerintah pusat (presiden). mengingat kebijakan ini digulirkan pada masa peralihan kepemimpinan sehingga, pertimbangan-pertimbangan mendalam pasti dilakukan agar tidak menjadi blunder.
Menurut pandangan saya, 2 masalah yang tercantum di atas dapat dikaji dengan menggunakan segitiga kebijakan, diantaranya: Aktor: dalam proses penyusunan kebijakan JKN terlihat lebih pada kepentingan elit politik tertentu, apalagi pada saat itu merupakan tahun terjadi pergantian pemerintah Indonesia. Pembentukan regulasi tersebut tidak melibatkan secara penuh pada organisasi yang pada nantinya sangat terlibat dalam implementasi regulasi tersebut. Seperti halnya profesi kesehatan, mereka perlu dilibatkan karena mereka terdiri dari ahli yang memang berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat di lapangan. Pembuatan regulasi ini kemungkinan dirancang oleh orang-orang yang tidak kompeten di lapangan, sehingga regulasi ini terkesan tidak siap. Mengapa seperti itu? dari segi waktu memang sudah terkesan lama, namun, isi yang termaktub dalam regulasi tersebut apakah sudah sepenuhnya dapat diwujudkan? Apakah kenyataan di lapangan seperti ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan sudah cukup memadai dan siap menjalankan program JKN di setiap daerah? Kemungkinan implementasi JKN yang berlandaskan UU SJSN No.40 tahun 2004 dan UU BPJS No.24 tahun 2011, hanya sebagai bentuk eksistensi semata yang menunjukkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk "mewujudkan implementasi program jaminan sosial yang pro rakyat untuk kesejahteraan rakyat". Namun sepertinya perwujudan program JKN ini syarat akan kepentingan politik semata. Terjadi pengalihan tanggung jawab pemerintah kepada rakyat, karena dalam perjalanannya, sepertinya JKN ini malah menjadi beban di pundak masyarakat, mereka harus tetap membayarkan iuran, namun pada kenyataannya pelayanan yang diberikan belum maksimal. Pada intinya, aktor pembentuk regulasi ini tidak hanya para pemerintah atau elit politik saja, namun perlunya keterlibatan pihak lain, seperti organisasi profesi kesehatan.
Dari sisi Konteks: Apakah regulasi ini memang telah disesuaikan dengan keadaan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia di masing-masing daerah? Saya rasa UU SJSN dan BPJS belum tersinkronisasi dengan keadaan lapangan. Terlalu dipaksakan agar Indonesia mencapai Universal Health Coverage namun tanpa dukungan yang mumpuni, seperti fasilitas dan tenaga kesehatan yang belum merata dan mencukupi untuk membantu meningkatkan kesehatan masyarakat, yang notabene setiap daerah memiliki perbedaan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana kesehatan, serta faktor lain, seperti kondisi ekonomirakyat, demografi setiap daerah dan kemajuan teknologi kesehehatan yang ada di setiap daerah. Dari aspek konten (isi): apakah isi dari kebijakan sudah memang benar mewakili kondisi kesehatan rakyat sehingga perlu dibuat kebijakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerah yang berbeda-beda kemampuan pemenuhan kesehatan masyarakatnya? Jika penyusunan isi tidak melibatkan orang lapangan di bidang kesehatan, saya rasa isi dari kebijakan ini belum sepenuhnya siap untuk diimplementasikan.
Dari sisi proses: banyak permasalahan yang ditemukan dari program JKN, mungkin ini dikarenakan dari awal tidak melibatkan berbagai organisasi (seperti organisasi kesehatan) yang nantinya berperan aktif sebagai implementator pelayanan kesehatan, dari isi UU-nya, kemungkinan belum terlalu siap untuk diaplikasikan pada pelayanan kesehatan masyarakat. Sehingga hal ini berdampak pada munculnya berbagai masalah dalam implementasi JKN, antara lain:
1. Pengumpulan dana kurang cukup. BPJS mengalami kekurangan dana yang cukup berat, sekitar 4-5 triliun tiap tahunnya.
2. Sistem single pool terbukti menjadi penyebab masalah terpakainya dana PBI untuk peserta non-PBI yang relatif tidak miskin. Hal ini berarti subsidi salah alamat. Hal ini dikarenakan tidak adanya pemilahan untuk pemasukan dan pengeluaran dari masing-masing iuran, baik PBI maupun non PBI.
3. Sistem pembelian pelayanan kesehatan oleh BPJS menghadapi berbagai tantangan, antara lain: penyebaran dokter dan RS yang tidak seimbang antar wilayah, dan kapitasi FKTP yang belum menjamin mutu.
4. Pembangunan RS banyak di Jawa (Regional 1) yang mengakibatkan kebutuhan dokter spesialis semakin tinggi di Jawa. Hal ini dapat menarik dokter luar Jawa pindah ke Jawa. Di tahun 2014 dana Kemenkes untuk pembangunan RS atau faskes rendah, dan dana untuk penyebaran SDM kesehatan juga rendah.
5. Fraud belum dapat dikendalikan karena sistem pencegahan dan penindakan belum ada.
Demikian komentar ini saya sampaikan, terima kasih.
1. Dari segi aktor, penyusunan kebijakan ini melibatakan banyak actor yang saling terkait, mulai dari DPR, pemerintah, pemberi pelayanan kesehatan, organisasi profesi, swasta. Berbagai aktor yang berperan dalam penyusunan kebijakan berasal dari kalangan yang berbeda beda dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula. Hal ini akan sulit untuk menampung semua hal sehingga pada akhirnya kekuatan yang paling besarlah yang akan menentukan ke arah mana kebijakan ini akan dibawa. Kemungkinan lain juga karena pihak-pihak atau actor yang berperan kurang memahami kondisi yang ada di masyarakat Indonesia yang memiliki karakterikstik geografi dan budaya yang luas
Jika dilihat dari analisis pendekatan segita kebijakan yang terdiri dari Konteks, Isi, dan Proses, salah satu faktornya yaitu aktor. JKN tidak banyak melibatkan peran actor dalam penyusunannya yaitu stakeholder teknis yaitu IDI, PERSI, dan pihak akademisi pengamat kebijakan. Peran aktor yang akan terlibat salah satunya penyedia pelayanan kesehatan, seharusnya dibuthkan kesamaan perspektif dalam penyelenggaraan pelayanan dan infrastruktur dan sarana yang cocok. Sehingga, tampak bahwa kepentingan politik terlihat jelas dalam program yang sedang berlangsung dan cukup menuai persoalan.
Salam^^