Diskusi 2.2
Harap dibahas mengenai penggunaan konsep analisis stakeholders dan kemampuan advokasi-lobby dalam kasus ini. Lebih lanjut apa peran media dalam proses penyusunan kebijakan, dan hubungannya dengan stakeholders?
Diskusi 2.1 | Diskusi 2.2 | Diskusi 2.3 |
Comments
Saya sangat setuju dengan pendapat diatas bahwa media dapat dipakai sebagai alat untuk mengkritisi pemerintah akan kebijakan yang ada. Media juga merupakan salah satu alat untuk mengubah opini publik, dalam hal ini para stakeholder yang menentang perda KTR dapat memanfaatkan peran media dalam mengubah opini publik tentang adanya perda KTR yang justru akan mematikan usaha para petani tembakau. Dengan peranan media yang sangat besar inilah, terkadang menyebabkan beberapa oknum yang berkepentingan melakukan kecurangan dengan memberikan "bonus" kepada media agar menyiarkan berita sesuai dengan yang mereka inginkan, sehingga dapat mengubah opini publik.
Terimakasih..
Terkait dengan peran media dalam proses penyusunan kebijakan, mengacu pada kemampuan media dalam menyebarluaskan informasi kepada masyarakat dengan cepat. Berita yang dikemas oleh media dapat mempengaruhi dan merubah pola pikir masyarakat, sehingga tidak jarang media dimanfaatkan oleh pemerintah atau pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi opini publik.
Terimakasih
Istilah Lobi dalam buku “Membuat Kebijakan Kesehatan” oleh Kent Buse adalah sebuah kata kerja yang berarti membuat pertemuan langsung dengan seorang penyusun kebijakan dan berusaha mempengaruhinya dengan dasar kepentingan komersil. Dalam kaitannya dengan kasus Raperda KTR di DIY, terlihat jelas bahwa ada lobi-lobi yang dilakukan oleh pihak yang kontra dengan kebijakan ini. Kemampuan lobi yang dilakukan oleh pihak yang kontra jauh lebih masif dan kuat dibandingkan dengan yang pro sampai akhirnya Raperda KTR gagal untuk disahkan.
Peran media dalam penyusunan kebijakan sangatlah penting. Bahkan ketika proses penyusunan agenda peran media memang sangat krusial. Terkait dengan Raperda KTR di DIY, peran media sepertinya masih sangat kurang dalam hal mengangkat isu gagalnya Raperda ini disahkan. Walaupun diawal ketika proses agenda setting media cukup membantu karena isunya sudah masuk ke legislatif, namun pada proses penyusunannya, ketika Raperda ini sedikit lagi akan disahkan, justru media lebih fokus pada bagaimana Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau melakukan somasi dan protes kepada aktivis anti tembakau di DIY bukan pada mengapa tiba-tiba satu persatu fraksi di DPRD mengundurkan diri dan Raperda KTR gagal disahkan. Peran media sebagai penjaga isu menjadi krusial karena jika tidak ada yang memberitakan dan mengawal bagaimana Raperda dibuat maka kemungkinan penyimpangan dan isu ini tenggelam akan sangat tinggi dan tujuan dari penyusunan kebijakan yakni terbitnya sebuah regulasi yang mengatur kawasan tanpa rokok akan semakin sulit untuk terlaksana.
Terimakasih
Saya sependapat dengan mba anggi ardhiasti dimana media seharusnya menjadi pengendali informasi diantara para pihak dalam hal ini kita sepakat menyebut mereka dengan aktor penetapan kebijakan. tetapi kadangkala kenyataan pada hari ini media malah mulai kehilangan independensinya dalam menginformasikan sesuatu diantara pemerintah dan swasta.
Terima kasih
Pada kasus ini, tentunya proses lobi menjadi penentu jalannya rencana kepentingan yang dibawa oleh masing-masing kelompok. Lobi digunakan untuk mempengaruhi proses kebijakan dimulai dari agenda setting, perumusan, hingga pelaksanaan kebijakan. Hal ini juga dipengaruhi oleh media. Media punya peran penting untuk membentuk opini masyarakat. Masyarakat yang menganut sistem demokrasi, peran media sangat diperlukan untuk menjaga netralitas wacana. Namun karena desakan ekonomi dan persaingan menyebabkan media menjadi tidak netral dan terkesan mengarahkan. Sehingga media massa memiliki pengaruh yang kuat terhadap agenda kebijakan pemerintah melalui kemampuan untuk memunculkan dan membentuk, bisa juga dikatakan media mampu untuk menentukan. Hal tersebut juga terjadi pada kasus ini, dimana media memiliki peranan yang penting mau mengarahkan kemana isu kebijakan tentang Kawasan Tanpa roko tersebut, apakah pro atau kontra, tergantung dari kepentingan dari media tersebut.
Terima kasih
Media massa sangat memiliki peran dalam proses penentuan sebuah kebijakan. Media diharapkan berada di pihak yang netral dalam menyampaikan berita terkait isu-isu penyusunan kebijakan sehingga para stakeholders mendapat masukan-masukan informasi yang sifatnya netral.
Peranan media massa disini adalah untuk membentuk opini publik, berita yang disajikan oleh media massa juga terkadang dapat “dipesan” untuk dimanfaatkan oleh suatu kelompok kepentingan/ pemerintah agar dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga akhirnya berpengaruh pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam proses penyusunan kebijakan, media juga merupakan bagian penting dalam proses, kemampuan media untuk memberikan gambaran permasalahan dan menampilkan gerakan dari wilayah lain yang mempunyai kasus serupa akan membentuk opini publik dengan mudah. Artinya peran media menjadi sangat penting ketika media mampu mengarahkan publik terhadap suatu permasalahan tertentu, contohnya pada kasus Raperda KTR di DIY, jika saja media mampu mengarahkan opini publik pada buruknya dampak rokok pada kesehatan di masyarakat dan bukan mengekspos tentang Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau yang melakukan somasi dan protes kepada aktivis anti tembakau di DIY, mungkin saja Raperda tersebut tidak akan macet. Namun semua akan kembali kepada peran Pemerintah sebagai penentu kebijakan, karena menurut saya peran media ini lebih pada alat bantu dalam proses penyusunan kebijakan, dan pemerintah sebagai pengendali proses mempunyai peran yang utama.
Terima kasih
Untuk pembuatan kebijakan di level kota dan kabupaten, masih bisa lebih independen, tapi jika sudah terkait dengan level Provinsi, menjadi sesuatu yang cukup sulit, jika garis kebijakan yang diambil mempunyai persinggungan dengan wilayah kekuasaan di DIY. Sehingga beberapa teori kebijakan yang mungkin bisa diterapkan di daerah lain mungkin menjadi sulit apabila diterapkan di DIY.
Perlu diingat juga bahwa banyak anggota legislatif yang maju dengan biaya besar (jadi harus kembali modal juga), tingkat pendidikan rendah, tidak pengalaman mengelola manajemen, dan sebagainya. Kondisi ini telah mempengaruhi keputusan pada pembuat kebijakan.
media yang seharusnya menjadi jendela informasi dari masyarakat yang paling cepat sekarang ini, sudah tidak terbuka lagi dalam menyampaikan informasinya, unsur komersial yang lebih dominan. jadi terkadang masyarakat bisa dibuat terlena dengan informasi-informasi yang disajikan.
jika kita tidak pandai menyikapi hal ini, kitapun akan menjadi korban karena mendapati informasi yang tidak tepat.
Sebenarnya proses penyusunan agenda Raperda KTR secara konsep konten/ isi kebijakan itu sudah bagus, namun masih kurang maksimal sosialisasinya ada semua elemen masyarakat yang ada di Yogyakarta. Kita tahu, agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Penyusunan agenda kebijakan hendaknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
Di sini, terlihat peran media dalam proses penyusunan kebijakan belum diberdayakan secara maksimal. Padahal, menurut Glen Snyder bahwa pembuat keputusan bertindak sebagai respons terhadap kondisi dan faktor-faktor yang terjadi di luar lingkungan internal pemerintah tempat mereka yang terlibat. Setting internal dideskripsikan sebagai lingkungan manusia yang terdiri dari kultur budaya dan populasi, yang secara otomatis di dalarnnya termasuk opini publik.
Dalam hal ini, media bisa dikategorikan sebagai komponen terbesar dari lingkungan internal kebijakan. Media dapat digambarkan sebagai alat yang menunjukkan interpretasi dan ekspektasi aktor non –pemerintah dari berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana dapat pula digunakan sebagai alat untuk menyosialisasikan kebijakan dan agenda oleh pemerintah. (www.ArdaDinata.Com).