Diskusi 2.3
Apakah kasus ini dapat dipakai untuk menerangkan terpakainya teori Black Box dalam pengambilan Keputusan? Dalam teori ini apakah benar bahwa peran perusahaan swasta dalam kebijakan merokok DIY berada dalam kegelapan, namun dirasakan kekuatan lobbynya dalam menyusun kebijakan. Mari kita diskusikan.
Diskusi 2.1 | Diskusi 2.2 | Diskusi 2.3 |
Comments
Menurut saya dalam kasus ini peran perusahaan swasta berada dalam kotak "black box" sesuai dengan teori Easton. Teori Easton menerangkan bahwa masyarakat tidak mengetahui bagaimana perubahan kebijakan tsb terjadi yang dikenala dgn "black box". Memang jika dilihat secara sekilas yang berperan untuk melawan perda KTR adalah golongan "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau", namun jika ditinjau lebih lanjut, masyarakat kecil biasanya tidak melakukan advokasi tanpa adanya provokasi dari pihak lain. Dalam hal ini, perusahaan swasta tidak secara terang-terangan menamakan dirinya "Perusahaan Rokok melawan Perda KTR" dan lebih memanfaatkan suara masyarakat kecil dan petani tembakau dengan asumsi bahwa suara masyarakat kecil dan petani lebih didengar dan dipertimbangkan. Hal tersebut dilakukan agar perusahaan swasta tidak terkesan melawan pemerintah dan masyarakat menganggap bahwa perusahaan swasta tidak terlibat dalam advokasi tsb.
kemudian ketika kita berbicara adanya perusahaan Swasta yang bermain di"belakang" kebijakan tersebut, bisa saja itu terjadi dan ada beberapa gambaran mengenai kejadian hal tersebut
1. kebutuhan antara pembuat kebijakan dengan perusahaan swasta tersebut, sehingga mewujudkan transaksi politik yang tidak diketahui oleh siapa pun
2. adanya investasi politik, dalam artian perusahaan swasta tersebut menempatkan seorang atau sekelompok aktor politik yang dicetak oleh perusahaan tersebut yang menjadi penentu kebijakan publik untuk perusahaan tersebut
Sehingga, istilah black box pun menjadi lazim adanya. Tahu-tahu sudah ada aturan A, B, C. Bahkan kadang-kadang kita tidak terlalu tahu aturan yang ada, entah dari keterbatasan sosialisasi yang ada ataupun tidak mau tahunya masyarakat akan produk undang-undang yang ada. Hanya saja, hukum tetaplah hukum. Tahu atau tidak, kalau melanggar seringkali ada sangsi yang dapat dikenakan, entah pidana atau sekedar denda.
Aturan Pergub DIY no 42 th 2009 yang merupakan penterjemahan dari peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu Perda DIY Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan bukan berdasarkan UU Kesehatan 36 tahun 2009 tidak memuat sangsi apapun terhadap pihak yang melanggar Pergub tersebut. Pembuatan Perda tentang KTR, dimungkinkan ada muatan pasal tentang sangsi bagi yang melanggar peraturan tersebut jika terjadi pelanggaran dalam pasal yang termuat di dalamnya, sehingga proses ini menjadi sulit untuk berjalan.
Kita patut sangsi akan hadirnya Perda Kawasan Tanpa Rokok yang memuat sangsi di dalamnya, dikarenakan faktor yang komplek. Dalam satu sisi bisa meningkatkan PAD dan perekonomian sekitar, sisi yang lain akan membuat angka kesakitan dan kematian karena rokok. Karena salah satu pihak swasta yang sering disebut pada komentar diatas, yaitu Direktur PT Yogyakarta Tembakau Indonesia putri ke-2 dari Gubernur di DIY.
Dalam kasus ini (entah diuraikan atau tidak tetapi nampaknya belum jelas) saya tidak melihat peran masyarakat terhadap kebijakan ini khususnya berkaitan dengan pengawalan raperda menjadi perda. Mengapa saya katakan demikian? karena masyarakat tidak memainkan perannya sebagai "kontrol" sehingga tarik ulur ini terjadi hanya ditingkat eksekutif dan legislatif di daerah. Kontrol ini penting untuk memberikan tekanan kepada legislatif agar betul-betul representatif dalam mengambil keputusan. Kurangnya pengawasan publlik ini, membuat sistem politik yang ada merajalela dan terkesan melakukan pembiaran lobby perusahan rokok dalam rangka pembatalan raperda tadi. Anggap saja jika masyarakat melakukan respon terhadap kegagalan penandatanganan raperda ini, saya yakin pasti telah berhasil. oleh karena lemahnya tekanan-tekanan masyarakat maka raperda ini gagal!
Menurut teori black box oleh Easton, dalam proses kebijakan publik, masyarakat mengerti ada isu, mereka mengetahui output, namun pada proses pembuatan kebijakan tersebut masyarakat tidak mengetahuinya, jadi seolah oleh kebijakan tersebut keluar dari kotak hitam. Dalam konteks masalah tersebut, perusahaan swasta memiliki akses untuk ikut serta dalam mempengaruhi kebijakan, hal tersebut dikarenakan , Perusahaan swastamemiliki kesempatan dengan adanya tidak ada informasi yang adekuat,dimana tdak dapat diakses oleh masyarakat. Selain itu memungkinkan jika perusahaan swasta memiliki “orang dalam” di dunia perpolitikan, atau terdapat transaksi politik yang terjadi antara perusahaan swasta dengan pemerintah, sehingga kebijakan dapat mereka atur.
Terima kasih..
Terimakasih
Dalam model sistem politik Easton bagaimana sebuah kebijakan dalam prosesnya melalui “Kotak Hitam” yang artinya ketika penyusunannya tidak banyak pihak yang tahu (analoginya seperti berada didalam kotak hitam) namun tiba-tiba sudah muncul ke publik atau gagal disahkan. Dalam kaitannya dengan Raperda KTR di DIY sangat sesuai dengan teori tersebut. Bagaimana kebijakan yang seharusnya sudah dapat disahkan namun di detik-detik terakhir, gagal karena alasan yang sangat politis. Publik tidak mengetahui bagaimana proses “gagal” nya kebijakan ini diterbitkan. Yang publik tahu hanya kebijakan direncanakan, kebijakan disusun, kemudian ketika akan disahkan yang terjadi adalah mundurnya fraksi-fraksi di DPRD tanpa mengetahui apa penyebab fraksi-fraksi tersebut mundur. Kemungkinan yang terjadi adalah lobi-lobi politik dibawah tangan yang dilakukan oleh pihak yang kontra terhadap kebijakan ini, dilakukan secara diam-diam sehingga media maupun masyarakat secara umum tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
Terimakasih
Menurut saya dalam kasus ini menggunakan teori Black box karena adanya sejumlah keputusan yang terselubung yang tidak muncul di masyarakat tanpa adanya kebijakan yang jelas misalnya tidak adanya penjelasan dari pihak DPRD mengapa aturan tersebut belum ditandatangani hingga sekarang. Menurut saya, DPRD sebagai pembuat kebijakan berpikir bahwa jika kebijakan tersebut akan gagal dan menghasilkan konsekuensi yang tidak terantisipasi khususnya dari segi finansial, bagaimanapun ada banyak perusahaan swasta yang bergerak di industri rokok yang akan kena dampaknya jika aturan tersebut terealisasi. Maka pembuat kebijakan dalam hal ini merubah keinginan mereka dengan tidak menandatangani Raperda tersebut. Intinya, kelompok yang memiliki kekuatan (power) baik dari segi finansial maupun kekuasaan memiliki pengaruh besar kepada pembuat keputusan dan tentu saja perusahaan swasta yang bergerak di sektor rokok melakukan lobi untuk mempengaruhi proses perumusan kebijakan tersebut.
Terima kasih
Pada kasus ini,perusahaan swasta sangat terlihat berperan di dalam black box dimana mereka bisa melancarkan lobi-lobi kepada anggota DPRD untuk bisa mengakomodir kepentingan perusahaan mereka.
Perusahaan Rokkok melakukan inovaasi budi daya tembakau yang bagi kesehatan masyarakat dan tetap menolong petani tembaku . Pemerintah dan DPRD memiliki komitmen bersama realisasi penngendalain asap rokok dengan menfasilitasi budidaya tembakuau menjadibuat sumber daya energy demi tercapainya kemaslahatan orang banyak
Kalau menurut saya, tidak sepenuhnya kasus RPP KT di Prop DIY ini Black Box. mengapa ? Input sudah jelas ada, RPP KT ini ada untuk memperjelas PerGub berkenaan dengan sangsi yang tidak jelas sehingga masyarakat menganggap PerGub tidak efektif, juga atas dasar amanah UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 115. Proses di dalam penyusunan sendiri tahap demi tahap telah dijalani dengan terbuka, mulai dari Para aktivis penggiat pengendalian anti tembakau membantu DPRD provinsi dan 3 kabupaten lain yang menginisiasi Perda KTR sejak 2012-2013 dengan mengembangkan naskah akademik. Naskah akademik ini juga telah didiskusikan dan disetujui sehingga Raperda telah dimasukkan dalam Prolegda.Tahap-tahap pembahasan dari Raperda dan public hearing juga telah dilakukan sampai tahap akhir.
Hanya ada “sesuatu” di tengah-tengah proses penyusunan kebijakan yang sudah terbuka tersebut, yaitu diindikasikan adanya perusahaan swasta rokok yang menggerakkan komponen masyarakat yang bernama "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" untuk menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut dan menuntut Raperda tidak ditandatangani. Sehingga justru penguasa tidak menghasilkan kebijakan sama sekali atau tidak ada output. Sehingga tidak terdapat juga feedbacknya.
Itulah mengapa saya berpendapat, kasus RPP KTdi Prop DIY ini tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan teori Black Box.
Terimakasih..
Dalam sistem pemerintahan yang lazim di Indonesia, lembaga utama yang berperan dalam penyusunan kebijakan (Perda) adalah pemerintah daerah (eksekutif) dan DPRD sebagai wakil rakyat (legislatif). Kondisi ini menyebabkan peran masyarakat umum terbatas karena dianggap telah terwakili oleh wakil mereka di DPRD.
Hal inilah yang mungkin mendasari dari individu tertentu untuk membentuk kelompok tertentu untuk menyampaikan ketidak setujuan mereka. Dapat diasumsikan bahwa masyarakat kretek dan petani tembakau merupakan bentukan dari perusahaan swasta, yang mereka rela mengeluarkan modal untuk menjaga/mempertahankan keuntungan dari bisnis rokok (apabila perda di sahkan maka akan mengurangi pendapatan dari penjualan rokok). Kekuatan lobby kelompok tersebut telah berhasil mempengaruhi pihak DPRD yang kemudian menolak kebijakan tersebut atas dasar ada kelompok yang belum terwakili.
bagaimana tidak mungkin kalau peran perusahaan swasta disini bermain dibalik proses penyusunan kebijakan, jelas mereka tidak mau rugi dengan terbentuknya kebijakan ini, namanya perusahaan, sifatnya komersial, hanya memikirkan untung, dan mereka mampu menempatkan orang-orang yang secara sengaja menjadi bayangan mereka saat proses penyusunan kebijakan.
Secara konsep proses kebijakan, sebenarnya Raperda KTR sudah masuk di Prolegda dan sudah dibahas di DPR namun akhirnya bermasalah pada saat menjelang disahkan (proses finalisasi) ditandai dengan beberapa fraksi tidak mau menanda tangani.
Di sini, apabila kita gabungkan pernyataan mengenai kebijakan publik dan partisipasi sebagai salah satu bentuk peran serta masyarakat maka kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah dalam perumusan kebijakan publik, maka dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan pemerintah harus mengikutsertakan masyarakat untuk turut berpartisipasi karena pembuatan kebijakan publik ini.
Dalam UU Nomor 22 tahun 1999 yang telah mengalami perubahan pada UU No 32 tahun 2004 telah memuat tentang asas desentralisasi dimana UU ini menjalankan amanat UUD RI 1945 amandemen ke IV pasal 18 yaitu dengan cara menjalankan otonomi daerah dimana setiap daerah diberi kebebasan untuk mengurus Rumah Tangga Daerahnya sendiri.
Sesuai dengan ketentuan pasal 69 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No 32 tahun 2004 menyaakan bahwa “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan juga penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi”.
Dalam pasal 18 menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang antara lain, Bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota membentuk Peraturan Daerah. Dalam pasal 19 ayat (1) huruf d, DPRD mempunyai hak mengadakan perubahan atas rancangan Peraturan Daerah. Dari ketiga peraturan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah Daerah (Eksekutif) berperan dalam membentuk Peraturan Daerah, sedangkan DPRD mempunyai hak memberi persetujuan dan mempunyai hak mengadakan perubahan terhadap materi Peraturan Daerah.
Sedangkan dalam pasal 19 ayat (1) huruf f menyatakan bahwa DPRD (legislatif) juga mempunyai hak mengajukan Rancangan Peraturan Daerah atau yang lebih dikenal dengan hak inisiatif DPRD. Hak inisiatif ini hanya terkadang dan sewaktu-waktu dipergunakan DPRD. Terkait dengan itu dalam penyelenggaraa pemerintahan yang demokratis, penyusunan Peraturan Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat (berupa dengar pendapat) dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas untuk dituangkan dalam Peraturan Daerah. Peran serta dari masyarakat itu tentu akan mempermudah sosialisasi dari penerapan substansi apabila Peraturan Daerah itu ditetapkan dan diundangkan.
Keterlibatan public dalam Perda, diantaranya adalah:
(1) Publik berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Daerah, mulai dari Proglegda sampai penetapan Perda.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Untuk memudahkan publik dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Peraturan Daerah harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.(www.ArdaDinata.Com).
Secara konsep konteks kebjakan dalam proses pengajuan Raperda KTR, hendaknya dibarengi dengan kajian situasi kondisi politik yang terjadi. Dalam kasus ini, bukankah pada awalnya tidak terjadi permasalahan, namun akhirnya menjadi gagal ketika akan disahkan?
Ada hikmah dari proses pembahasan Raperda yang sudah masuk pada Prolegda atau Program Legislasi Daerah, dimana public hearing sudah dilakukan sampai tahap akhir. Namun pada saat akan ditandatangani pada Januari 2013, salah satu partai menyatakan mengundurkan diri (diikuti dengan partai-partai lainnya) karena adanya protes dari masyarakat kretek (petani tembakau). Sampai sekarang Perda tersebut tidak pernah ditandatangani dan anggota DPR sudah berganti.
Berdasarkan hal itu, ada hal yang kurang diperhatikan betul kondisi politik yang ada, yaitu terkait mekanisme penyusunan Perda. Kita tahu, mekanisme penyusunan Perda terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan dan pengundangan.
Dalam UU RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 20 disebutkan bahwa:
(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
(5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (www.ArdaDinata.Com).