Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat KIA
- Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
- RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
- Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan
Comments
DPR sebagai badan legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang sekaligus sebagai wakil rakyat,dalam RUU pendidikan kedokteran berusaha untuk meminimalisir adanya FK yang tidak layak didirikan agar mutu pendidikan kedokteran lebih baik, dan nantinya diharapkan akan mencetak lulusan dokter yang lebih kompeten. Namun, dalam penyusunan RUU pendidikan kedokteran DPR tidak melibatkan organisasi profesi. Menurut saya, DPR memiliki tujuan yang baik namun dalam agenda setting hingga penyusunan UU, DPR memanfaakan fungsi legislasinya secara sewenang-wenang. Fungsi legislasi DPR adalah membuat undang-undang, namun dalam penyusunan undang-undang tsb tidak hanya diperlukan pemikiran dari anggota DPR saja, tetapi juga diperlukan dari kelompok lain yang memiliki peran dalam UU tsb.
Kelompok yang berperan sebagai kelompok interest salah satunya adalah IDI. Interest group berbeda tergantung perlakuan pemerintah terhadap mereka. IDI merupakan kelompok outsider group bagi pemerintah. Strategi yang dipakai IDI adalah strategi outsider yaitu dengan melakukan protes, demonstrasi, dan walk-out. Namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap keputusan pemerintah. Strategi outsider yang dilakukan IDI tidak tepat, namun sebaliknya jika IDI melakukan strategi insider maka kemungkinan besar IDI akan dianggap sebagai kelompok insider oleh pemerintah, maka pengaruh IDI akan cenderung lebih kuat.
Ijin menanggapi untuk kasus di atas, menurut pendapat saya munculnya permasalahan di atas disebebkan oleh beberapa faktor diantaranya :
1.Adanya aktor yang tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut yaitu petani tembakau. Sehingga jika kebijakan tersebut diberlakukakn akan merugikan petani itu sendiri yaitu akan kehilangan mata pencaharian. Padahal petani tembakau juga merupakan bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan. Setidaknya ada solusi untuk mereka mata pencaharian pengganti.
2.Sebuah kebijakan akan berlaku tergantung dari siapa yang memiliki kekuasaan terbesar. Dalam permasalahan tersebut, menurut saya yang memiliki kekuasaan terbesar adalah dari kaum elitisme yang memiliki kepentingan tertentu. Karena kepentingan dari kaum elitisme bertentangan dengan kebijakan kesehatan yang dibuat sehingga output dari kebijkan tersebut tidak berjalan dengan baik. Lobby yang dilakukan oleh kaum elitisme bukan hanya mempengaruhi suara rakyat tapi juga mempengaruhi pemerintah itu senidiri.
3.Karena memiliki kepentingan yang berbeda, akhirnya kebijkan yang dikeluarkan pun terlihat tidak begitu matang. Seperti adanya larangan untuk tidak merokok namun tidak ada sanksi yang diberikan.
Sangat setuju dengan pendapat saudari Monic, menurut saya permasalahan di atas adalah terkait pertentangan antara beberapa stakeholder yang memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pembuatan agenda RUU Pendidikan Dokter, DPR selaku pemerintah terlalu banyak mengambil porsi tanpa melibatkan aktor lain yang seharusnya terlibat di dalamnya seperti Kementrian Kesehatan, IDI, KKI, Pihak Universitas, dan PDUI. Jika dilihat tujuan RUU yang dibuat DPR sangat baik dan sama halnya juga dengan UU Pendidikan Nasional yang termasuk di dalamnya pedidikan kedokteran. Tujuan keduanya bagaimana menciptakan kualitas seorang dokter yang lebih baik dan dapat mengatasi permasalahan kesehatan.
Jika dianalisis menggunakan model Kingdom, ada tiga proses politik yaitu :
1.Alur masalah : permasalahan kesehatan masih cukup banyak namun solusi belum mampu mengatasi. keberadaan dokter belum merata dan masih cukup banyak daerah yang belum terpenuhi kebutuhan dokter.
2.Alur kebijakan : gagasan tentang DLP (Dokter Layanan Primer) menjadi isu pertentangan antara Pemerintah dan IDI
3.Alur politik: aktor di luar pemerintahan seperti ahli profesi menolak gagasan RUU karena menganggap RUU tersebut terlalu menyulitkan untuk para dokter. Walk out salah satu langkah yang dilakukan untuk menolak RUU ini.
Sedikit sharing saja, dari alur masalah yang telah dipaparkan, memang benar permasalahan kesehatan masih cukup banyak terutama di Indonesia dan solusi belum mampu mengatasi. Ditambah keberadaan dokter belum merata dan masih cukup banyak daerah yang belum terpenuhi kebutuhan dokter. Dibandingkan negara lain memang kuantitas dokter sangat kecil, namun sebenarnya dapat di manage dengan "pe-realisasian kebijakan" seperti isu di atas. Masing-masing aktor yang semestinya dilibatkan (antar DPR yang harus bisa saling memahami bersama IDI) sehingga tidak ada ego antar aktor yang akhirnya berbenturan dengan pengambilan kebijakan. Sedangkan kebijakan itu sendiri nantinya bisa menjadi solusi untuk menjadi bagian penentu kualitas dokter di Negara kita. Dan yang nantinya kualitas inilah yang menyelamatkan masyarakat Indonesia.
Ibarat di dalam policy cycle kita masih di tahapan "Problem indentification" sehingga kita belum bisa menilai bahwa protes, demonstrasi, dan walk-out yang dilakukan IDI berpengaruh terhadap keputusan pemerintah, karena masalahnya ada disini: alasan dibalik ketidak setujuan IDI.
Ketidaksetujuan ini bukan tanpa alasan, terutama poin mengenai Dokter Layanan Primer (DLP). Dijelaskan bahwa DLP ini dibentuk selaras dengan diterapkannya era Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia, di mana perlunya dokter keluarga sebagai penguatan layanan primer.
Namun pertanyaannya apakah benar masalah kesehatan (tingginya AKI, AKB, angka gizi buruk, insidensi penyakit manular) yang ada di Indonesia akan dapat diatasi seiring meningkatnya kompetensi DLP? Bukankah determinan masalah kesehatan adalah persoalan yang holistik meliputi sektor ekonomi-sosial-pendidikan-lingkungan. DLP seolah-olah menjadi jalan pintas menyelesaikan masalah Indonesia meskipun nyatanya tidak demikian.
Belum lagi dengan adanya Pendidikan bagi DLP yang nantinya akan dianggap setara dengan dokter spesialis (masa studi 3-4 tahun), menambah beban biaya pendidikan bagi mahasiswa kedokteran karena untuk lulus dokter (plus internship) mereka sudah harus mengenyam pendidikan selama 7 tahun. Singkatnya, jika DLP diberlakukan maka seorang dokter akan menjadi produktif setelah 10-11 tahun mengenyam pendidikan.
Keputusan telah diambil, UU telah disahkan oleh legislatif dan eksekutif meskipun pada awalnya melibatkan 'interest group' (organisasi profesi) namun walk out saat sidang berlangsung sehingga sifatnya menjadi 'outsider'. Sebagai organisasi di luar pemerintah, IDI tidak memiliki hak sebagai pengambil keputusan dan menjadi halangan potensial bagi pemerintah. Bahkan gugatan PDUI ke Mahkamah Konstitusi ditolak pada 7 Desember 2015. Itu artinya, UU diknok harus diberlakukan.
Karena mau tidak mau harus dilaksanakan, pemerintah perlu memberikan perhatian serius dan menanggung konsuensi yang muncul dari diberlakukannya UU dikdok. Solusinya adalah adanya upaya pemerintah untuk memfasilitasi beasiswa bagi mahasiswa DLP, antara Kementerian Kesehatan, Kemenristek-dikti, Asosiasi Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), KKI serta IDI membangun kurikulum yang baik bagi program studi DLP dan menetapkan batas kompetensi yang jelas antara DLP- dokter umum sehingga DLP diberi kewenangan yang lebih dalam pelayanan, mempermudah kualifikasi seleksi bagi putra daerah, serta dalam kualifikasinya mahasiswa harus sudah memiliki pengalaman bekerja minimal 1 tahun.
Terima kasih
Dalam buku Buse dikatakan bahwa interest group bisa mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, IDI sebagai salah bentuk interest group melakukan berbagai upaya untuk menetang kebijakan UU pendidikan kedokteran, namun belum berhasil. Strategi yang digunakan IDI menurut saya kurang tepat, karena hanya menggunakan dukungan dari sesama interest group, seharusnya jika merasa perlu IDI bisa berkoordinasi dan meminta dukungan dari pemerintah seperti kementrian kesehatan dan juga bisa menggunakan media sebagai alat untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat bahwa UU pendidikan kedokteran belum terlalu dibutuhkan saat ini.
Perumusan sebuah kebijakan publik berkaitan dengan hubungan antara badan legislatif,eksekutif,dan yudikatif. Sependapat dengan mbak Monic bahwa dalam hal ini DPR sebagai badan legislatif badan yang mewakili rakyat,menetapkan undang-undang yang mengatur rakyat,mengesahkan undang - undang dan mengawasi badan eksekutif, termasuk di dalamnya juga adalah mengenai RUU pendidikan kedokteran. Menurut saya DPR memiliki tujuan yang baik,karena jelas berbeda isi daripada RUU pendidikan dokter dan UU praktik dokter yang sudah ada. RUU pendidkan kedokteran mengatur segala hal mengenai pendidikan dokter,mulai dari kriteria sarana,prasarana dan SDM. Saya melihat adanya agenda setting yang tidak dipersiapkan secara baik dalam hal keterlibatan aktor yang memang benar-benar paham dampak dari penetapan sebuah kebijakan dan akhinya dampak dari ini adalah adanya proses yang berjalan penuh pertentangan dari berbagai stakeholder yang seharusnya memperjuangkan RUU tersebut. Faktor struktural salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan,dimana belum adanya keterbukaan sistem dalam pembahasan keputusan kebijakan yang pada akhinya terlihat bahwa ini merupakan taktik kelompok interest yang tidak tepat yang terkait erat dengan sebuah kepentingan kelompok.
menanggapi kasus diatas, kenapa permasalahan tersebut masuk kedalam agenda setting DPR dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan di NKRI adalah dimulai dari KETIDAK-PERCAYAAN Publik terhadap kompetensi dokter. kasus malpraktik yang terjadi beberapa tahun terakhir, bahkan kasus yang sangat booming yang menunjukkan sengitnya pertarungan masyarakat sipil melawan pelayan kesehatan yaitu kasus Prita. kepercayaan publik semakin menipis, karena dianggap arogan menanggapi kritik dari masyarakat yang notabene sebagai kliennya. oleh DPR, hal tersebut menjadi penting untuk masuk dalam agenda pembahasan kebijakan (agenda setting). menurut teori HALL, ada tiga aspek yaitu kelayakan, keabsahan dan dukungan. masalah ini layak diangkat oleh DPR karena dianggap memiliki pemecahan persoalan yang praktis, dengan membuat kebijakan untuk mengatur pendidikan dokter. DPR memiliki hak untuk mengambil peran dalam mengatur persoalan kesehatan, termasuk dalam dunia pendidikan dokter. dukungan, DPR tentu mempertimbangan apakah upaya tersebut mendapat dukungan? Keyakinan penuh tentu ada pada DPR, karena persoalan ini diyakini akan mendapatkan dukungan dari masyarakat meskipun akan ada pertentangan dari organisasi profesi. 3 hal petimbangan berdasarkan teori HALL, DPR menjadikan isu pengaturan pendidikan dokter menjadi agenda (setting) yang akan dibahas.
Menurut Kingdon, penentuan agenda kebijakan ada 3 alur yaitu alur masalah, kebijakan dan politik. alur masalah, dunia pendidikan dokter menurut DPR perlu diatur ulang untuk memperbaiki pelayanan kesehatan ke masyarakat yang dilaksanakan oleh dokter. konpetensi dokter hasil dari pendidikan yang memiliki semangat melayani diharapkan oleh masyarakat. munculnya FK-FK baru yang dianggap "premature" karena belum cukup persyaratan dinilai ikut menyumbangkan tenaga dokter yang kurang kompeten. alur kebijakan dilihat agak tumpang tindih, Kementerian pendidikan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan pendidikan masih memiliki keraguan sedangkan Kementerian Kesehatan yang memiliki penguasaan permasalahan tidak andil besar dalam penentuan kebijakan. yang paling menarik adalah alur politik. Kementerian pendidikan dan kebudayaan yang ragu diawal akhirnya tetap memimpin berjalannya proses. Kampus besar dan IDI yang awalnya menolak UU tersebut, berbalik mendukung meskipun IDI menyetujui dengan berbagai syarat. perubahan politik tersebut tidak terlepas dari agenda setting masing-masing untuk tetap bisa memasukkan kepentingan dalam UU tersebut. agenda setting besar dalam penyusunan RUU Pendidikan Dokter, terdapat agenda setting dari masing-masing pihak yang terlibat didalamnya tidak terkecuali organisasi profesi.
namun...dalam skema besar negara, DPR harusnya memainkan perannya sebagai lembaga pemersatu berbagai organisasi masyarakat, organisasi profesi dan Perguruan tinggi dalam memecahkan persoalan. peran tersebut tidak tejadi, sehingga pertentangan dalam penyusunan RUU terjadi pada tahap-tahap awal. pelibatan aktor terkait isu tersebut harusnya dilakukan oleh DPR sejak penentuan agenda.
Terima kasih.
Tetapi dalam proses penyusunannya terjadi perdebatan dan pertentangan mengenai kebijakan ini dari kalangan stakeholder. Proses penyusunannya yang tidak terkoordinasi dengan baik serta tidak melibatkan organisasi di dunia kedokteran (PDOUI, IDI, dan KKI) dan lebih banyak melibatkan Kemendikbud yang dianggap bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. IDI sebagai interest group melakukan aksi walk out/menolak terlibat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran, selanjutnya IDI melakukan aksi menentang kebijakan dengan melakukan berbagai aksi demo.
Sikap yang ditunjukkan oleh IDI sebagai bentuk protes terhadap UU No 20 tahun 2013 terutama yang berkaitan dengan Dokter Layanan Primer. Program pendidikan DLP akan menyebabkan masa pendidikan dokter yang akan praktek di layanan primer menjadi panjang serta menghabiskan biaya yang sangat besar dan merupakan tanggungan negara sehingga hal ini dianggap sebagai pemborosan anggaran pendidikan. Dalam prakteknya nanti juga dapat menimbulkan maslah di kemudian hari, dimana bisa terjadi tumpang tindih di pelayanan kesehatan, karena DLP yang setara dengan spesialis bekerja di pelayanan primer. Hal tersebut dapat menjadi pemicu ‘konflik horizontal’ di tingkat pelayanan primer.
Keberadaan dokter layanan primer (DLP) dianggap bertentangan. DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Campur tangan politik terhadap profesi kini semakin dalam, hal tersebut tentu akan menambah kekacauan bagi dunia kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan di indonesia, hal ini terjadi karena profesi dokter dan pendidikan dokter digiring ke ranah politik dan sangat jelas bahwa undang-undang itu sendiri adalah produk politik. DLP merupakan dokter yang diberikan kompetensi melebihi dokter umum dan setara dokter spesialis. dokter DLP diharapkan mumpuni dalam menangani berbagai penyakit dan masalah kesehatan, tetapi yang menjadi masalah adalah terkait kompetensi DLP, karena nantinya akan terjadi tumpang tindih dengan dokter umum dan juga dokter spesialis, bahkan jika di cermati kompetensi DLP sulit dibedakan dengan dokter umum saat ini.
Pada kasus di atas saya melihat ada nya sebuah ketidaksiapan dalam mengagendakan sebuah kebijakan. sependapat dengan Mbak Vera,Mbak Nanik dan Mas Darsal,tujuan dari adanya RUU pendidkan dokter ini hendak menegaskan pentingnya aturan Pendidkan Kedokteran baik itu yang meliputi sarana ,prasarana dan SDM,tujuannya adalah untuk mencetak SDM Dokter yang berkompeten. Tetapi sangat disayangkan justru aktor yang seharusnya mendukung kebijakan justru terjadi petentangan di dalamnya,sehingga terlihat bahwa ada kepentingan - kepentingan kelompok untuk tujuan tertentu.. Perlunya adanya keterbukaan sistem,sehingga tidak salah dalam melibatkan aktor yang berdampak pada proses dan isi dari sebuah kebijakan.