EVALUASI KEBIJAKAN JAMINAN PERSALINAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2012

EVALUASI KEBIJAKAN JAMINAN PERSALINAN
DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2012

Ummul Khair

Bapelkes Dinkes DIY


 Latar Belakang

Dalam penurunan angka kematian ibu, Kementrian kesehatan melakukan terobosan baru melalui Jaminan Persalinan (Jampersal) sebagai salah satu solusi. Kebijakan jaminan persalinan merupakan program yang diperuntukkan untuk melindungi seluruh ibu hamil di Indonesia. Pelayanan Jaminan Persalinan terdiri pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir. Di daerah Istimewa Yogyakarta kebijakan jaminan persalinan memiliki beberapa hambatan dalam implementasinya dan merupakan program terbaru.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan jaminan persalinan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
 

 Metode

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan studi kasus. Penelitian dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menangani jaminan persalinan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu pengambilan sampel stratifikasi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah dinas kesehatan kabupaten/ kota, rumah sakit umum daerah, Puskesmas dan Praktik Bidan swasta yang menangani jampersal. pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam.
 

 Hasil

Evaluasi kebijakan jaminan persalinan di DIY masih terdapat berbagai hambatan (masalah) dari segi input, proses dan output. Dari segi input berkaitan dengan sumber daya manusia, dana, sarana dan kebijakan. Dari segi proses meliputi sosialisasi, persyaratan pasien, proses klaim, sistem rujukan dan pembiayaan. Dari segi output penumpukan dan penolakan pasien, dan masih adanya pengaduan konsumen.
 

 Kesimpulan

Masih perlunya perbaikan dalam kebijakan jaminan persalinan di Daerah Istimewa Yogyakarta
 

 Saran

Masih perlunya perbaikan dalam kebijakan jaminan persalinan antara lain penguatan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Kabupaten/ Kotamadya dan Pelaksanan Jampersal, sosialisasi Jampersal yang optimal berisi tentang penjelasan keseluruhan jampersal kepada pengelola, pemberi layanan dan pasien, penguatan kompetensi dan komitmen pada pengelola, verifikoator dan pemberi layanan jampersal, penguatan sistem rujukan terintegrasi yang berbasis elektronik, dukungan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan yang memadai.

Kata Kunci : Jaminan Persalinan, Evaluasi Kebijakan.

Powerpoint 

DETERMINAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE DI DAERAH KUMUH PERKOTAAN DI INDONESIA

DETERMINAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE
DI DAERAH KUMUH PERKOTAAN DI INDONESIA

Tumaji1, Mubasysyir Hasanbasri2, Mohammad Hakimi2

1Pusat Humaniora, Kebijakan Kesh.& Pemberdayaan Masy., Litbangkes
2Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta


 Latar belakang

Antenatal care telah diketahui penting bagi kesehatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Indikator kecukupan antenatal care di perkotaan lebih baik dibandingkan di pedesaan. Namun tidak semua masyarakat perkotaan kondisinya lebih baik dibanding masyarakat pedesaan. Ada diantara mereka yang tinggal di daerah-daerah kumuh.
 

 Tujuan

Menganalisis determinan kunjungan antenatal care di daerah kumuh perkotaan di Indonesia.
 

 Metode

Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010. Didapatkan 2318 perempuan usia 10-59 tahun, hamil dan melahirkan antara tahun 2005-2010 yang tinggal di daerah kumuh perkotaan. Data yang dianalisis meliputi data sosio demografi dan perilaku antenatal care. Memadai tidaknya antenatal care diukur dari K1 trimester pertama, K4 (1-1-2), dan komponen antenatal care 5T dengan menggunakan analisis bivariat dan regresi logistik multivariat.
 

 Hasil

Sebanyak 40% melakukan antenatal care di bidan praktek swasta, sedangkan yang ke puskesmas hanya 16,9%. Persentase K1, K4 (1-1-2) dan komponen antenatal care masing-masing 84,6%; 72,6% dan 60,0%. Hanya 45,9% saja yang antenatal care nya memadai. Analisis bivariat menunjukkan bahwa komponen antenatal care yang diperoleh ibu secara lengkap, persentasenya lebih tinggi di puskesmas dibanding fasilitas kesehatan yang lain. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa umur ≤ 19 tahun, pendidikan rendah, jumlah anak ≥ 3, jarak kehamilan ≤ 2 tahun, keluarga miskin, tidak memiliki asuransi kesehatan dan jenis provider dikaitkan dengan antenatal care yang kurang memadai.
 

 Kesimpulan

Kecukupan antenatal care di daerah kumuh perkotaan masih sangat rendah. Termasuk kualitas layanan komponen antenatal care, terlebih di fasilitas kesehatan swasta. Untuk meningkatkan pemanfaatan dan kualitas antenatal care intervensi perlu difokuskan pada perempuan berpendidikan rendah, miskin dan tidak memiliki asuransi kesehatan. Selain itu, diperlukan adanya peraturan dan kontrol yang lebih baik guna meningkatkan kepatuhan penyedia layanan antenatal care sesuai standar yang berlaku terutama bagi fasilitas kesehatan swasta.

Kata kunci: Antenatal care, kumuh perkotaan, Indonesia.

Powerpoint 

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kriminalisasi Perilaku Beresiko Dalam Peraturan Daerah Tentang Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kriminalisasi Perilaku Beresiko
Dalam Peraturan Daerah Tentang Penanggulangan
HIV & AIDS di Indonesia

Simplexius Asa

Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana – Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Univesitas Indonesia


cenn  Latar Belakang :

Hingga pertengahan tahun 2013, di Indonesia telah dibentuk tidak kurang dari 85 Peraturan Daerah (PERDA) tentang Penanggulangan HIV & AIDS, 17 diantaranya PERDA tingkat Provinsi sedangkan sisanya 68 adalah PERDA Kabupaten/Kota. Semua PERDA tersebut mengatur tentang Ketentuan Pidana, isinya mengkriinalisasi perbuatan atau perilaku tertentu terkait dengan HIV & AIDS.  
 

cenn  Tujuan :

  1. Mengidentifikasi perbuatan pidana dan subyek hukum pidana;
  2. Menganalisis kesesuaian antara perilaku berisiko yang dikriminalisasi dengan teori kriminalisasi;
  3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan PERDA dalam masyarakat, sesuai perspektif hukum pidana.
     

cenn  Metode :

Penelitian ini adalah normative legal research dengan pendekatan deskriptive-analitic
 

cenn  Hasil :

Penelitian menemukan bahwa:

  1. Perilaku yang dikriminalisasi adalah perbuatan yang dapat secara langsung menyebabkan seseorang tertular HIV dan AIDS, seperti: hubungan seks tanpa kondom; penyuntikan NAPZA dengan jarum suntik tidak steril secara bersama-sama dan berganti jarum; tidak menerapkan universal precaution; dengan sengaja mendistribusikan darah atau organ/jaringan tubuh yang sudah terinfeksi HIV kepada orang lain. Perilaku yang dapat menghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS, seperti: tidak menyelenggarakan pemberian informasi/penyuluhan tentang pencegahan dan HIV dan NAPZA; tidak memeriksakan kesehatan tenaga kerja yang berada dibawah pengawasannya; tidak merahasiakan status HIV seseorang; memberikan pelayanan kesehatan secara diskriminatif; telah membuka status HIV seseorang tetapi tidak melakukan tindakan medis apapun untuk meningkatkan ketahanan dan kualitas hidup ODHA. Subyek tindak pidana terdiri atas setiap orang; kelompok masyarakat secara komunal; petugas kesehatan; petugas laboratorium; paramedis dan dokter serta pejabat pemerintah; badan hukum privat dan atau badan hukum publik.
  2. Perumusan perbuatan pidana telah sesuai dengan teori kriminalisasi, antara lain: perlindungan terhadap kepentingan umum; efisiensi dan efektivitas terutama cost and benefit principles; azas kemanfaatan yang lebih besar serta aspek legal morality. Kriminalisasi terhadap perbuatan pidana tertentu tidak diformulasi secara jelas dan pasti sesuai azas lex certa dan lex stricta sehingga dapat menimbulkan multi-interpretasi di kalangan penegak hukum dan masyarakat.
  3. Kriminalisasi dan pembentukan norma hukum pidana belum memperhatikan aspek substance of law, structure of law dan culture of law sehingga sulit ditegakkan.
     

cenn  Kesimpulan:

  1. Ada dua kelompok perilaku yang dikriminalisasi, yaitu perilaku yang dapat langsung menyebabkan seseorang tertular HIV dan perilaku yang menghambat upya penanggulangan HIV & AIDS.
  2. Meskipun alasan kriminalisasi adequat namun formulasinya tidak memperhatikan kaidah teoritis ilmiah dan praktis dalam pembentukan peraturan perundang-unangan.
  3. Ketentuan Pidana dalam PERDA HIV &AIDS masih sulit ditegakkan.
     

cenn  Saran:

  1. Perlu melibatkan seluruh komponen Sistem Peradilan Pidana dalam penyusunan PERDA yang memuat ketentuan pidana.
  2. Perlu harmonisasi dan sikronisasi PERDA dan perkembangan teori serta praktek hukum pidana.

Kata Kunci : Hukum Pidana, Kriminalisasi, PERDA, Penanggulangan HIV & AIDS

Powerpoint  

MENYOROTI GERAKAN REVOLUSI KIA DALAM MENINGKATKAN LINAKES DI FASKES, PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, DAN PENIMBANGAN BALITA DI KABUPATEN KUPANG, NTT

MENYOROTI GERAKAN REVOLUSI KIA DALAM MENINGKATKAN LINAKES DI FASKES,
PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, DAN PENIMBANGAN BALITA DI KABUPATEN KUPANG, NTT

1)Qomariah Alwi, Theresia Ili

1)Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemkes RI, 2)
Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang


 Latar Belakang

Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur adalah kabupaten yang relatif baru pecahan dengan kabupaten lain. Hasil Riskesdas 2007, Kabupaten Kupang termasuk salah satu Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) di antara 154 kabupaten di Indonesia. Dalam rangka mencapai target MDGs maka pada tahun 2009 pemerintah provinsi NTT mencanangkan Gerakan Revolusi KIA melalui PerGub NTT No. 42 tahun 2009 dan ditindaklanjuti dengan PerBup Kupang No.16 tahun 2010 tentang Percepatan Pelayanan KIA (PPKIA).
 

 Tujuan

Untuk mengevaluasi implementasi Kebijakan Revolusi KIA dalam meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak, khususnya terkait persalinan di fasilitas kesehatan, pemberian asi ekslusif dan penimbangan balita
 

 Metode

Riset operasional dengan pendekatan kualitatif dilakukan pada tahun 2012. Dari 25 puskesmas yang ada di Kabupaten Kupang, sampel ditetapkan 6 puskesmas secara klaster yaitu Puskesmas Tarus di kecamatan Kupang Tengah, puskesmas Oesao di kecamatan Kupang Timur, Puskesmas Baun di kecamatan Amarasi Barat, puskesmas Baumata di kecamatan Taebenu, Puskesmas Oekabiti di kecamatan Amarasi, dan Puskesmas Uitao di kecamatan (pulau) Semau. Cara pengumpulan data dengan wawancara mendalam, fokus grup diskusi, observasi, dan telaah dokumen. Informan adalah seluruh kepala puskesmas, bidan, TPG, dukun, kades, kader di 6 puskesmas.
 

 Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan Revolusi KIA dan PPKIA dinilai telah berhasil dalam upaya meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan sesuai dengan meningkatnya jumlah puskesmas perawatan, poned, pustu, bidan, dan dukun. Namun untuk upaya meningkatkan pemberian Asi Ekslusif belum dilaksanakan secara serius dan baru akan dimulai. Sedangkan untuk upaya meningkatkan penimbangan balita di posyandu masih naik turun sesuai dengan keberadaan bantuan program pihak lain baik dari dalam maupun luar negeri. Faktor pendukung dari keberadaan kebijakan tersebut antara lain adanya sistem reward dan punishment sehingga pemberdayaan masyarakat berjalan dengan baik dari segala lini misalnya diaktifkannya papan bulin di kantor kades, bendera bumil, stiker bumil, tidak terjadi persaingan bidan dukun, kader aktif sebagai pendamping bumil bulin, dukun sangat kooperatif, ada Tabulin, Perdes, Pustu yang siap Linakes, dan bidan desa yang standby di Pustu.
 

 Kesimpulan

Gerakan Revolusi KIA dan PPKIA di Kabupaten Kupang dinilai cukup berhasil dalam meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan dengan memberdayakan masyarakat, namun belum berhasil dalam meningkat pemberian asi ekslusif dan penimbangan balita.
 

 Saran

Implementasi kebijakan agar dilanjutkan dalam upaya meningkatkan program pemberian asi ekslusif dan penimbangan balita di posyandu

Kata Kunci : Revolusi KIA, Linakes, Asi Ekslusif, Penimbangan Balita, Kabupaten Kupang.

Powerpoint 

PENETAPAN PRIORITAS PRORGAM PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DENGAN METODE ANALITYC HYERARCY PROCES (AHP) DI PROVINSI SULAWESI BARAT

PENETAPAN PRIORITAS PRORGAM PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
DENGAN METODE ANALITYC HYERARCY PROCES (AHP)
DI PROVINSI SULAWESI BARAT

Kasman Makkasau

Dinas Kesehatan/ RSUD Provinsi Sulawesi Barat


 Latar Belakang

Millennium Development Goals (MDGs) adalah komitmen global yang harus diwujudkan oleh semua negara pada tahun 2015. Berapa indicator MDGs dapat dicapai pada tahun 2915 (0n the track) namun peningkatan kesehatan ibu dan anak masih sangat jauh dari target.

Untuk mempercepat tujuan tersebut maka kementrian kesehatan dan pemerintah provinsi Sulawesi Barat dan dilima kabupaten telah menyalurkan anggaran melalui dana APBD, Dekon dan DAK. Pemanfaatan dana tersebut merupakan wewenang dari pemerintah provinsi, kabupaten dan puskesmas. Untuk itu diperlukan metode yang efektif dalam menentukan prioritas program.

Seiring dengan kemajuan iptek dibidang kesehatan masyarakat dan kedokteran, telah memberikan berbagai macam alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah kesehatan yang terjadi dimasyarakat saat ini.
 

 Tujuan

Untuk menentukan intervensi pemanfaatan dana yang paling efektif untuk peningkatan kesehaan ibu dan anak, dengan metodogi analitic menggunakan sistem pembuat keputusan memakai model AHP.
 

 Metode

Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendekatan yang memberikan kesempatan bagi para perencana dan pengelola program bidang kesehatan untuk dapat membangun gagasan-gagasan atau ide-ide dan mendefinisikan persoalan-persoalan yang ada dengan cara membuat asumsi-asumsi dan selanjutnya mendapatkan pemecahan yang diinginkannya.
 

 Hasil

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan model AHP, maka dapat dihasilkan suatu alternatif program peningkatan kesehatan ibu dan anak yang sangat efektif. Saat ini Provinsi Sulawesi Barat telah menunjukkan penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak, dan telah keluar dari 10 Provinsi dengan AKI dan AKB yang tinggi di Indonesia.
 

 Kesimpulan

Dengan menggunakan model AHP maka setiap program yang akan dilaksanakan ditentukan prioritasnya dengan jelas, dibandingkan dengan menggunakan cara Hanlon, Delbeq maupun PEARL yang selama ini digunakan oleh pengelola progam kesehatan di Prov. Sulawesi Barat dan di Indonesia.
 

 Saran

Disarankan untuk menggunakan metode AHP dalam menentukan intervensi/ program pemanfaatan anggaran peningkatan kesehatan ibu dan anak yang paling efektif dan benefit, serta dapat diterima oleh semua stakeholder.

Kata Kunci : Analytic Hierarchy Process, AKI dan AKB

Powerpoint 

DETERMINAN KINERJA PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI RUMAH SAKIT PEMERINTAH INDONESIA

DETERMINAN KINERJA PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
DI RUMAH SAKIT PEMERINTAH INDONESIA
(ANALISIS DATA RIFASKES 2011)

Demsa Simbolon*, Djazuli Chalidyanto**, Ernawati**

*Poltekkes Kemenkes Bengkulu, **UNAIR Surabaya


 Latar belakang

Rumah sakit memegang peran penting dalam menurunkan AKB dan AKI karena sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna termasuk pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Namun sampai saat ini AKB dan AKI Indonesia masih tetap tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN. Penyebab utamanya adalah komplikasi obstetri sebagai penyulit atau penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan dan pasca persalinan yang dialami sekitar 20% dari seluruh ibu hamil, tetapi kasus komplikasi obstetrik yang ditangani secara baik kurang dari 10%.
 

 Tujuan

Penelitian bertujuan mengidentifikasi pengaruh karakteristik rumah sakit, manajemen pelayanan KIA, SDM pelayanan KIA, pelayanan KIA, proses pelayanan KIA, dan peralatan pelayanan KIA terhadap kinerja pelayanan KIA di rumah sakit pemerintah Indonesia.
 

 Metode

Penelitian menggunakan data RIFASKES 2011 dengan pendekatan cross sectional study. Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh rumah sakit pemerintah Indonesia (685 RS). Variabel penelitian diidentifikasi dari variabel yang tersedia dalam kuesioner RIFASKES 2011. Pengukuran kinerja pelayanan KIA dari komposit variabel proporsi kematian ibu karena pendarahan ≤ 1%, preeklamsia ≤ 10%, sepsis ≤ 0,2%, seksio secaria ≤ 20%, proporsi lahir mati ≤ 4%, dan penanganan BBLR 100% berdasarkan SPM rumah sakit. Regresi logistik multivariat digunakan untuk mendapatkan model determinan kinerja KIA setelah melalui tahap uji interaksi dan confounding.
 

 Hasil

Sebagian besar (66,3%) kinerja pelayanan KIA di rumah sakit pemerintah Indonesia kurang optimal. Determinan yang berhubungan signifikan dengan kinerja pelayanan KIA adalah status rumah sakit tidak terakreditasi (OR= 2,99: 1,43-6,28), rumah sakit bukan wahana pendidikan (OR= 1,78; 1,11-2,85), SDM team PONEK tidak lengkap (OR= 1,89; 1,27-2,82), tidak tersedia dokter jaga terlatih di UGD (OR= 1,89; 1,27-2,82), tidak tersedia tim siap melakukan operasi atau tugas meskipun on call (OR= 2,16; 1,32-3,53). Faktor dominan kurang optimalnya kinerja adalah status RS tidak terakreditasi.
 

 Kesimpulan

Tidak optimalnya kinerja pelayanan KIA rumah sakit pemerintah Indonesia dipengaruhi karakteristik rumah sakit yang rendah dan ketidaklengkapan SDM.
 

 Saran

Kementerian Kesehatan perlu mengupayakan perbaikan pada seluruh jenis pelayanan untuk menjadikan rumah sakit terakreditasi lengkap 16 jenis pelayanan, tidak hanya 5 atau 12 pelayanan, juga menjadikan rumah sakit pemerintah sebagai wahana pendidikan, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM PONEK, tersedia dokter jaga terlatih di UGD dan tim siap melakukan operasi/tugas meskipun on call, dan peningkatan komitmen organisasi untuk perbaikan kinerja.

Kata Kunci : Kinerja, Pelayanan KIA, Rumah Sakit Pemerintah

Powerpoint 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESEHATAN SEBAGAI UPAYA MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI DI KABUPATEN SAMPANG

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESEHATAN
SEBAGAI UPAYA MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI
DI KABUPATEN SAMPANG

Ali Imron

Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya


 Latar Belakang

Isu MDGs 4 dan 5 yang menargetkan menurunkan AKI dan AKB hingga tiga perempatnya antara tahun 1990 sampai 2015 sepertinya sulit diwujudkan apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah konkret. Daerah dengan AKI dan AKB tertinggi adalah Kabupaten Sampang. Melihat kondisi empiris tersebut, perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan tingginya AKI dan AKB di Kabupaten Sampang. Mengingat sudah ada kebijakan kesehatan di Kabupaten Sampang melalui program LIBAS (Lima Bebas), namun program ini perlu dimonitoring dan dievaluasi untuk memastikan implementasi kebijakan berjalan baik.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengkaji implementasi program LIBAS dan mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang memengaruhi implementasi kebijakan tersebut.
 

 Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil lokasi di wilayah kerja Puskesmas Camplong, Kabupaten Sampang. Informan dipilih secara purposive. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan pengamatan berpartisipasi, wawancara mendalam, dan FGD. Temuan data kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.
 

 Hasil

Secara sosiologis, implementasi kebijakan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB di Kabupaten Sampang, salah satunya dipengaruhi oleh kemitraan bidan dukun, terutama dalam proses persalinan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap bidan tentang kesehatan mengindikasikan penguatan relasi sosial. Program 5T (Timbang, Tensi, Tablet fe, Timbang ukuran perut, dan Tinggi badan) sangat membantu ibu hamil untuk mengontrol perkembangan kehamilannya. SMS "Bayi Sehat 24 jam" berfungsi sebagai kontrol dan monitoring dalam proses persalinan. Meskipun demikian, secara kultural, kontruksi budaya tradisional Madura, terutama masyarakat bercorak pesisir masih mengakar kuat sehingga konstruksi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi masih lemah. Pijat dukun, jamu tradisional, mitos kehamilan, dan kharismatik tokoh sentral menjadi eksemplar. Relasi sosial antar aktor lokal dan dukungan aktor lokal juga masih lemah.
 

 Kesimpulan

Kuatnya nilai-nilai kultur lokal dan lemahnya relasi dan dukungan sosial dari aktor lokal mengakibatkan implementasi program LIBAS 2+ sebagai upaya menurunkan AKI dan AKB di Kabupaten Sampang belum berjalan efektif.
 

 Saran

Kegiatan kemitraan bidan dukun dalam proses persalinan yang telah menunjukkan tren positif harus dipertahankan dengan tetap melakukan kontrol sosial secara berkesinambungan, termasuk pelaksanaan SMS "Bayi Sehat 24 Jam". Pengetahuan masyarakat tentang pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan, terutama Jamkesmas dan Jampersal perlu ditingkatkan dengan memperbanyak intensitas sosialisasi sampai ke level rumah tangga-rumah tangga. Para stakeholder atau aktor lokal perlu memperkuat kohesi sosial untuk menciptakan sistem sosial yang kuat, salah satunya melalui pembangunan sistem kesehatan yang baik.

Kata Kunci: kebijakan kesehatan, LIBAS 2+, relasi sosial, kultur lokal

Powerpoint 

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIDAK TERLAKSANANYA MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT DI PUSKESMAS SENTANI KOTA KABUPATEN JAYAPURA TAHUN 2013

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIDAK TERLAKSANANYA
MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT DI PUSKESMAS SENTANI KOTA
KABUPATEN JAYAPURA TAHUN 2013

Agus Zainuri

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih


 Latar belakang

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup adalah sebesar 36-41 dan angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup adalah sebesar 62-64. Berdasar profil Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura tahun 2009, angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup adalah sebesar 12,99 dan angka kematian ibu per 1000 kelahiran hidup adalah sebesar 6 serta prevalensi gizi kurang pada anak balita adalah 3,20%. Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Propinsi seluruh Indonesia melalui pertemuan nasional program kesehatan anak tahun 2010, jumlah Puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%, namun belum seluruh Puskesmas mampu menerapkan pendekatan MTBS karena berbagai sebab, antara lain : belum adanya tenaga kesehatan yang sudah terlatih MTBS, sudah ada tenaga kesehatan terlatih tetapi sarana dan prasarana belum siap, belum adanya komitmen atau kebijakan dari pimpinan Puskesmas, dan lain-lain.
 

 Tujuan

Penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tidak terlaksananya Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Sentani Kabupaten Jayapura
 

 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Populasi dalam penelitian adalah petugas Dinas Kesehatan Kabupaten dan petugas Puskesmas yang pernah terlibat dalam pelayanan MTBS, sedangkan sampel yang diambil adalah sebanyak 5 orang informan. Cara pengambilan sampel yang digunakan adalah Non random dengan teknik purposive sample.
 

 Hasil

Penelitian menunjukkan bahwa tidak terlaksananya MTBS di Puskesmas Sentani dikarenakan tidak seimbangnya jumlah petugas yang menangani bayi/balita sakit dikarenakan petugas terlatih MTBS melaksanakan tugas rangkap, petugas terlatih pindah tugas dan atau petugas terlatih melanjutkan pendidikan. Tidak terlaksananya MTBS di Puskesmas Sentani dikarenakan terhentinya pengadaan sarana penunjang pelaksanaan MTBS dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura kepada Puskesmas Sentani dan tidak berkualitasnya sarana/fasilitas penanganan bayi/balita yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura. Tidak terlaksananya MTBS di Puskesmas Sentani dikarenakan tidak adanya kebijakan (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis) mengenai pelaksanaan MTBS di Puskesmas. Tidak terlaksananya MTBS di Puskesmas Sentani dikarenakan dana yang bersumber dari dana APBD tidak dapat menunjang seluruh kegiatan MTBS berupa penyelenggaraan pelatihan, supervisi hingga evaluasi terhadap petugas.
 

 Kesimpulan

MTBS di Puskesmas Sentani tidak terlaksana dikarenakan faktor SDM, sarana prasarana, kebijakan, anggaran, kebiasaan petugas, kepuasan pasien terhadap metode konvensional, serta terhentinya supervisi dari Dinas Kesehatan Kabupaten terhadap pelaksanaan MTBS di Puskesmas.
 

 Saran

Dinas Kesehatan perlu melakukan revitalisasi MTBS Dinas Kesehatan perlu membuat standar pelayanan MTBS serta kebijakan (juklak dan juknis). perencanaan mengenai anggaran yang berasal dari dana APBD. Dibentuk Tim khusus untuk menangani pelaksanaan MTBS di Kabupaten Jayapura mulai dari pelatihan, supervisi, hingga pada evaluasi.

Kata Kunci : Faktor-faktor, tidak terlaksananya, MTBS

Powerpoint