Reportase Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan:

Peningkatan Kapasitas Organisasi Poltekkes dalam Melakukan Penelitian Kebijakan

Selasa, 3 September 2024

3sept

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan Peningkatan Kapasitas Organisasi Poltekkes dalam Melakukan Penelitian Kebijakan pada Selasa (3/9/2024). Kegiatan ini dimoderatori oleh Monita Destiwi, MA. Keynote Speech Syarifah Liza Munira, S.E, MPP, Ph.D (Kepala BKPK Kemenkes RI). Pembicara Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM), Pembahas Hendro Saputro, S.Si, Apt (Ketua Tim Kerja Pengembangan Program Studi, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat), dan sambutan Dr. Iswanto, S.Pd, M.Kes (Direktur Poltekkes Kemenkes Yogyakarta)

Pada pembukaan pembelajaran kelembagaan ini, Laksono menyampaikan kegiatan ini berfokus pada penguatan kapasitas kelembagaan di Indonesia dalam hal riset kebijakan kesehatan. Laksono menekankan pentingnya pembelajaran kelembagaan yang tidak hanya mencakup pengembangan individu, tetapi juga organisasi, untuk memperkuat Poltekkes sebagai unit pusat yang dapat diandalkan dalam monitoring, evaluasi, dan rekomendasi kebijakan kesehatan. Pihaknya juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh dosen dalam berperan aktif dalam kebijakan kesehatan di daerah, serta pentingnya keterampilan advokasi dan penggunaan data rutin untuk mendukung riset kebijakan yang efektif tanpa harus bergantung pada survei yang mahal. Narasumber berharap Poltekkes dapat memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mendukung penelitian yang berdampak positif bagi masyarakat.

Syarifah Liza Munira, S.E, MPP, Ph.D., sebagai keynote speech-nya pada pembukaan pembelajaran kelembagaan ini menekankan pentingnya pelatihan ini untuk memperdalam keterampilan analisis data, penyusunan proposal penelitian, penulisan artikel jurnal, advokasi kebijakan, dan implementasi kebijakan. Menurutnya, penelitian yang dilakukan Poltekes harus berdampak nyata bagi masyarakat, tidak hanya sebatas teori. Pihaknya juga menyoroti kolaborasi antara Poltekkes, akademisi, dan Kementerian Kesehatan dalam riset implementasi, yang saat ini sudah mencakup 15 riset dari 21 Poltekkes. Liza berharap peningkatan kapasitas Poltekkes ini akan membantu memperkuat kebijakan kesehatan yang relevan dan tepat sasaran. Selain itu, Kementerian Kesehatan melalui BKPK juga mendukung optimalisasi data kesehatan untuk mendukung riset berbasis bukti. Liza juga menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan pemerintah dalam memperkuat riset kebijakan kesehatan demi transformasi pelayanan kesehatan di Indonesia.

Selanjutnya sambutan yang diberikan oleh Dr. Iswanto, S.Pd, M.Kes, Direktur Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, menyambut baik pelatihan peningkatan kapasitas organisasi Poltekkes dalam penelitian kebijakan. Iswanto menegaskan pentingnya peran Poltekes sebagai kepanjangan tangan Kemenkes di daerah untuk melakukan kajian terhadap kebijakan dan program kesehatan. Pihaknya juga mendorong dosen-dosen Poltekkes di seluruh Indonesia untuk mulai fokus pada riset kebijakan, memanfaatkan data sekunder dan data rutin yang tersedia, serta berkontribusi dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti. Contoh sukses riset malaria yang dilakukan Poltekkes Yogyakarta bersama WHO menjadi inspirasi untuk riset kebijakan lainnya di masa depan.

Kemudian dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi pengantar pembelajaran kelembagaan peningkatan kapasitas organisasi Poltekkes dalam melakukan penelitian kebijakan oleh Laksono. Pihaknya menyampaikan bahwa program pelatihan yang diselenggarakan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas organisasi Poltekkes dalam penelitian kebijakan kesehatan, dengan fokus pada penerapan langsung dalam menyusun proposal riset yang relevan dengan isu-isu kesehatan nasional. Poltekkes diharapkan dapat memainkan peran penting dalam penelitian kebijakan di tingkat nasional, tidak hanya sebagai penonton, tetapi menjadi pemimpin yang mampu mempengaruhi kebijakan lokal dan nasional. Dukungan dari pimpinan organisasi dan komitmen untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam riset kebijakan sangat diperlukan, dan Poltekes harus membangun kemampuan di berbagai bidang, termasuk penulisan proposal, artikel jurnal, dan pengelolaan riset untuk mencapai peran strategis dalam kebijakan kesehatan di Indonesia.

Hendro Saputro, S.Si, Apt, membahas pengantar yang disampaikan Laksono, dalam bahasannya menyoroti pentingnya peran Poltekkes dalam penelitian kebijakan kesehatan, terutama dengan sebaran 38 Poltekkes di seluruh Indonesia dan 24 rumpun keilmuan. Poltekkes diharapkan berpartisipasi aktif dalam kebijakan berbasis riset untuk mendukung transformasi sistem kesehatan. Tantangan utama yang dihadapi adalah link and match antara kebutuhan daerah dan riset yang dilakukan, serta keterbatasan anggaran dan beban kerja dosen. Hendro juga mendorong Poltekkes untuk meningkatkan hilirisasi hasil penelitian kebijakan agar dapat digunakan dalam pengambilan keputusan di daerah, serta pentingnya membentuk kelompok studi untuk memperkuat penelitian kebijakan seperti yang diusulkan oleh Laksono dalam kegiatan pembelajaran kelembagaan untuk peningkatan kapasitas organisasi poltekkes dalam melakukan penelitian kebijakan.

Video pemaparan kegiatan dapat diakses pada link berikut klik disini

Reporter: Via Angraini, S.K.M (PKMK)

 

 

Reportase Webinar

Program-Program Pengembangan Kepemimpinan sebagai respon Berlakunya UU Kesehatan 2023 dan PP 28 Tahun 2024

26 Agustus 2024

rep 26ags

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada (PKMK UGM) menyelenggarakan webinar Program-Program Pengembangan Kepemimpinan sebagai respon Berlakunya Undang Undang (UU) Kesehatan 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 pada Senin (26/8/2024).

Kegiatan dibuka oleh Master of Ceremony (MC) dan dilanjutkan dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M,Sc, PhD. Laksono memaparkan mengenai program-program PKMK FK-KMK UGM untuk Kepemimpinan dalam era UU Kesehatan Tahun 2023. Situasi sistem kesehatan di Indonesia saat ini digambarkan melalui status kesehatan masyarakat yang masih belum baik, pemerataan pelayanan kesehatan belum tercapai, dan keberlanjutan pendanaan kesehatan masih menjadi tanda tanya. Salah satu komponen penting dalam sistem kesehatan adalah governance dimana terdapat aspek kepemimpinan di dalamnya yang berfungsi sebagai regulator, operator, pendanaan, dan pelatihan sumber daya manusia untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Secara keseluruhan, masih diperlukan kolaborasi dari pemerintah, masyarakat, dan kelompok usaha untuk membangun fungsi governance yang jelas. Selama 20 tahun sebelum berlakunya UU Kesehatan, belum ada kerja sama yang baik antarpemimpin di sektor kesehatan.

Laksono menilai dibutuhkan pengembangan kepemimpinan secara umum, bersifat pelatihan yang berprinsip pengembangan secara berjenjang, mencakup banyak pemimpin di satu wilayah, penerapan sense making dengan menggunakan UU Kesehatan sebagai faktor kuatnya, dan penggunaan alat atau metode kepemimpinan meta leadership, serta menggunakan platform digital untuk pembelajaran yang tergabung dalam Plataran Sehat. PKMK FK-KMK UGM sebagai pusat pengembangan ilmu mencoba membantu semua pihak agar lebih mudah mempelajari isi UU dan PP dengan menggunakan platform digital agar mudah dipahami dan berbagai pelatihan kepemimpinan dengan dasar UU Kesehatan 2023.

Acara selanjutnya adalah pembahasan yang disampaikan oleh perwakilan organisasi profesi. Pembahas pertama adalah Dr. dr. Beni Satria dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Beni menyampaikan mengenai kompleksitas rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan yang dihadapkan pada berbagai regulasi, undang-undang, dan risiko lainnya. Keharusan mengimplementasikan PP No 28 Tahun 2024 dalam waktu 1 tahun akan berdampak besar terhadap industri rumah sakit. Terlebih dengan ditegaskannya bahwa pimpinan fasyankes tidak diwajibkan harus tenaga medis, maka hal ini perlu diterjemahkan lebih lanjut secara rinci baik dari aspek leadership, manajemen RS, pengalaman, dan pendidikan, serta indikator untuk mengukur kapabilitasnya. RS memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menyesuaikan perubahan berdasarkan UU Kesehatan 2023.

Pembahas kedua, yakni Dr. R. Danang Sananto Sasongko, M.M dari Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA) menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan regulasi, yang paling terdampak pertama kali adalah RS pemerintah. Tantangan lain yang dihadapi adalah regulasi di tiap daerah dan regulasi lain yang harus diimplementasikan oleh rumah sakit, pajak, dan kesamaan persepsi stakeholder di luar RS. Danang menilai bahwa pemimpin di RS hendaknya merupakan seorang yang ahli dalam manajemen RS dan manajemen pasien agar dapat menyusun kebijakan dan mengatur kepemimpinan lebih optimal.

Pembahas ketiga dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yakni Dr. dr. Moh Adib Khumaidi, Sp.OT. Menurut Adib, upaya adaptasi IDI terhadap regulasi yang baru terbit dilakukan melalui upaya transformasi dan reborn untuk persiapan menghadapi tantangan global. Langkah-langkah IDI reborn meliputi reframing, restructuring, revitalitation, dan renewal. UU Kesehatan tidak menyebutkan secara spesifik kewenangan organisasi profesi (OP). Namun OP berupaya mendukung implementasinya melalui penguatan SDM dokter, kesejahteraan, dan perlindungan hukum.

Pembahas keempat yakni Dr. dr. Dollar, Sp.KKLP ,SH .MH .MM, dari Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) memaparkan bahwa para pemimpin kesehatan memiliki peran yang sangat penting dalam sistem kesehatan. Para pemimpin kesehatan harus mampu membuat keputusan yang strategis, melakukan komunikasi dan edukasi kepada pemangku kepentingan, organisasi, dan masyarakat, dan pengembangan penelitian bidang kesehatan. Selain itu, pemimpin kesehatan juga berperan dalam advokasi dan edukasi. Dengan adanya UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024, manajemen OP dinilai sangat penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan memastikan standar praktik yang tinggi. PDSI mendukung penuh dan melaksanakan dengan sebaik baiknya UU dan PP tersebut.

Pembahas kelima adalah dr. M. Subuh, MPPM dari Asosiasi Dinas Kesehatan (ADINKES). Subuh memaparkan mengenai prinsip adinkes adalah bahwa UU yang telah disahkan pemerintah bersifat final namun belum tentu mengikat. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 terdapat 458 pasal, sementara PP Nomor 28 Tahun 2024 berisi 1170 pasal. Critical issue meliputi pemahaman teman teman daerah untuk memahami pasal tersebut. Jika ditilik dari pasal-pasal yang ada, sebenarnya pola kepemimpinannya tidak disebutkan jelas. Tetapi di pasal 413 disebutkan koordinasi, sinkronisasi, penguatan sistem pencatat. Sangat disayangkan jika UU ini tidak menyebut standar pelayanan minimal. Hal yang berkaitan dengan nomenklatur. ADINKES pernah membuat modul pelatihan kepemimpinan yang diatur oleh Permenkes Nomor 10 Tahun 2020.

Pembahas keenam, yakni Prof. Dr. drg. Wahyu Sulistiadi, MARS dari Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia ⁠(IAKMI) menjelaskan bahwa implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 tidak mudah dan perlu upaya penyederhanaan untuk meningkatkan pemahaman. Rencana program juga perlu pendampingan. Diantara peran OP merujuk pada UU Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah mempromosikan dan advokasi kebijakan yang mendukung layanan kesehatan yang lebih baik, menetapkan standar profesi, memastikan bahwa layanan publik yang diberikan oleh para profesional memenuhi standar profesi, dan berperan dalam pengaturan kebijakan publik. Menurut Wahyu, prinsip kepemimpinan dan sense making terhadap UU Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024 meliputi komitmen pada transformasi, fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi, kolaborasi dan partisipasi, data-driven leadership, serta kepemimpinan etis dan inklusif. Penerapan kebijakan kesehatan juga perlu didukung platform digital melalui pengembangan sistem informasi kesehatan nasional, digitalisasi sistem rujukan kesehatan, telemedicine, manajemen data, pemantauan, dan evaluasi program.

Pembahas terakhir, yakni drg. Bayu Yudanto dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan bisa sejalan dengan UU Kesehatan terbaru. Pelaksanaan UU Kesehatan akan mempengaruhi sistem kesehatan, termasuk di dalamnya implementasi Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN). Bayu menilai ke depannya perlu diadakan pengembangan dan pelatihan-pelatihan yang dapat mengantisipasi risiko terkait dinamika dalam sistem kesehatan yang dapat berdampak pada JKN. Misalnya long covid yang menyebabkan lonjakan jumlah kunjungan peserta ke fasilitas kesehatan dan dinamika ekonomi yang dapat berpengaruh terhadap iuran JKN. PKMK diharapkan dapat menyajikan pelatihan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal di luar sistem kesehatan yang mungkin berpengaruh terhadap kondisi JKN.

Reporter: Mashita Inayah (PKMK UGM)

Link terkait kegiatan silahkan klik disini

 

 

 

 

 

 

Reportase Diskusi tentang Struktur PP No.28/2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU No.17/2023 dan Penggunaan Sistem Digital

SERI #1

Sabtu, 3 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Webinar Diskusi 1: Tentang Struktur PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU Nomor 17 tahun 2023 pada Sabtu (3/8/2024). Kegiatan ini dimoderatori oleh Nila Munana, SHG., MHPM. Narasumber utama adalah Tri Muhartini, S.IP, MPA. Kegiatan ini dibuka oleh Shita Listya Dewi, S.IP, MM, MPP.

Pada pembukaan webinar diskusi 1 ini, Shita menyampaikan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disusun dengan metode Omnibus Law, yang memungkinkan penggabungan berbagai peraturan dalam satu payung hukum. UU ini tidak hanya merevisi UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tetapi juga sejumlah undang-undang lainnya seperti UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Setelah penantian panjang, pada 26 Juli 2024, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari UU ini. PP tersebut mencakup 1072 pasal yang meliputi berbagai aspek kesehatan, mulai dari pelayanan kesehatan hingga ketahanan kefarmasian. Pengesahan ini berdampak besar karena membuat 26 PP dan 5 Perpres lainnya menjadi tidak berlaku.

PP ini juga menyoroti layanan kesehatan di daerah terpencil dan mengusung inovasi seperti telemedicine. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM telah mengembangkan platform digital untuk mempermudah akses dan pemahaman terhadap PP ini. Dengan harapan dapat memfasilitasi dan meningkatkan partisipasi akademisi dan praktisi dalam pengembangan kebijakan kesehatan di Indonesia.

Selanjutnya Tri membahas bahwa platform digital yang disediakan oleh PKMK UGM untuk mempermudah akses dan pemahaman terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang dipaparkan secara rinci. Platform ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan akademisi, peneliti, dan pemangku kepentingan dalam mengakses informasi yang terkait dengan kebijakan kesehatan secara terstruktur.

PKMK UGM menyediakan laman website khusus kebijakankesehatan.net yang memudahkan pengguna untuk menavigasi dan mengunduh dokumen PP sesuai dengan bidang atau fokus kajian mereka. Dengan adanya fitur seperti strukturisasi paragraf dan pengklasifikasian bab, pengguna dapat dengan mudah menemukan dan menganalisis bagian spesifik dari PP ini tanpa harus membuka keseluruhan dokumen yang tebal. Dengan lebih dari 1000 pasal yang tersusun dalam 13 bab, Platform digital ini membantu pengguna mengakses informasi secara efisien. PKMK UGM berharap sistem ini dapat terus berkembang dan memberikan manfaat bagi para akademisi dan praktisi dalam mendukung transformasi kebijakan kesehatan di Indonesia.

Dari hasil diskusi dengan para peserta yang hadir, menghasilkan beberapa rekomendasi perbaikan dan penambahan fitur pada halaman website PP untuk ke depannya. Beberapa fitur dan masukan untuk perbaikan yaitu penambahan search bar untuk memudahkan pencarian, penyelesaian upload per bagian dengan paragraf yang sesuai, perbaikan website agar tidak error atau lemot, dan narasi tambahan di tiap bagian PP untuk analisis dan komparasi dengan PP sebelumnya. Semua rekomendasi ini tentu menjadi masukan yang baik untuk pengembangan website PP ke depannya.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M

 

 

 

 

 

Reportase Pengembangan Platform Digital untuk Analisis Kebijakan dan Advokasi Pengelolaan Penyakit Tidak Menular: Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak

9 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Diskusi 1 dengan topik Pengembangan Platform Digital untuk Analisis Kebijakan dan Advokasi Pengelolaan Penyakit Tidak Menular: Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak pada hari Jumat (09/08/2024). Kegiatan ini dimoderatori oleh Mentari Widiastuti, S.Farm., Apt., MPH. Narasumber utama adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD.

Laksono membahas pentingnya pengembangan platform digital untuk mendukung analisis kebijakan dan advokasi dalam pengelolaan Penyakit Tidak Menular (PTM), dengan fokus khusus pada Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak. Platform digital yang sedang dikembangkan ini merupakan bentuk kepedulian dari perguruan tinggi, dengan tujuan untuk menganalisis kebijakan transformasi kesehatan dan menerjemahkannya menjadi tindakan nyata di lapangan. Laksono juga menjelaskan bahwa konsep evidence-informed policy-making, yang memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasari oleh bukti ilmiah, meskipun diakui bahwa faktor lain seperti budaya politik, sosial, dan ekonomi juga turut berperan. Oleh karena itu, advokasi menjadi seni penting dalam mempengaruhi kebijakan, yang membutuhkan pendekatan strategis untuk mengatasi berbagai hambatan dan mencapai dampak besar. Laksono juga menekankan peran penting Fakultas Kedokteran (FK) dan Departemen IKM-IKP-IKK dalam mendukung penelitian dan advokasi kebijakan kesehatan. Departemen IKM diharapkan menjadi jangkar dalam penelitian kebijakan kesehatan di setiap fakultas kedokteran dengan pendekatan transdisiplin yang melibatkan berbagai bidang seperti ekonomi dan ilmu politik. Peran ini dipengaruhi oleh motivasi dosen dalam menjalankan kegiatan pembelajaran kelembagaan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Pengembangan platform digital ini juga didorong oleh momentum yang dihadirkan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Platform ini dapat digunakan sebagai alat untuk advokasi yang efektif dalam berbagai isu seperti regulasi, tata kelola, alokasi anggaran (APBN), dan lainnya. Platform digital ini sangat penting untuk menerjemahkan kebijakan transformasi kesehatan menjadi realitas dalam program kesehatan sehari-hari. Platform ini juga mendukung pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan serta program penanganan masalah kesehatan secara komprehensif. Kompleksitas pencegahan dan pengelolaan PTM, seperti Diabetes Melitus, di tingkat kabupaten/kota memerlukan alat yang dapat menangani data dan kebijakan dengan lebih efektif.

Sesi Pembahas

9ags1dr. Yudhi Pramono, MARS (Plt Dirjen P2P Kemenkes RI)

Yudhi menyoroti bahwa perencanaan berbasis data sedang dimulai di Kemenkes, namun data penelitian saat ini masih minim dan belum optimal. Meskipun dulu pernah ada badan litbang, hasil penelitiannya sering kali sulit dipahami oleh staf program maupun masyarakat karena bahasa yang terlalu teknis. Masyarakat sendiri masih skeptis terhadap hasil penelitian dan lebih percaya pada sumber informasi yang tidak kredibel.

Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan komunikasi sains (science communication). Kementerian kesehatan juga membutuhkan lembaga yang menjembatani peneliti dengan pengambil kebijakan. Platform digital ini bisa juga sebagai solusi untuk menyampaikan hasil penelitian dan memenuhi kebutuhan program.

9ags2dr. Fatchan Nur Aliyah, MKM (Ketua Tim Kerja Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) Direktorat PTM Kemenkes RI)

Fatchan menjelaskan bahwa platform ini telah diinisiasi sejak dua tahun lalu dengan tujuan untuk menyusun kebijakan yang berpijak pada tujuan yang akan dicapai, yaitu menurunkan morbiditas dan mortalitas, bukan hanya prevalensi. Biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan kemampuan negara kita, sehingga analisis cost-effectiveness menjadi penting. Pihaknya menambahkan bahwa platform digital perlu memetakan situasi sekarang dan per 3 tahun atau per 5 tahun untuk evaluasi efisiensi dan implementasi kebijakan. Hal ini juga harus mencakup kebutuhan petunjuk teknis berdasarkan kebijakan yang ada.

9ags3dr. Ika Gladies Syaferani (Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Dinkes Provinsi Kalimantan Timur)

Ika menyampaikan bahwa platform digital dapat digunakan sebagai bahan advokasi Dinas Kesehatan provinsi kepada para stakeholder, terutama terkait pengendalian Diabetes Melitus. Platform ini membantu mengidentifikasi dan merumuskan masalah berdasarkan rumah transformasi kesehatan. Sebagian besar instansi memiliki anggaran khusus untuk pencegahan dan pengendalian DM, namun ada juga instansi lintas sektor seperti pemerintahan desa yang terlibat.

Kegiatan ini ditutup oleh closing statement dari Laksono, yaitu penting bagi dosen dan peneliti Fakultas Kedokteran (FK) serta Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) untuk menjadi pionir dalam penerapan evidence-informed policy making, terutama dengan adanya momentum yang dihadirkan oleh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Platform digital dapat menjadi titik awal bagi dosen dan peneliti dalam berbagai disiplin ilmu kesehatan untuk mengambil peran ini, menawarkan perspektif yang lebih luas dan mendalam terhadap permasalahan kesehatan melalui kerangka sistem dan transformasi kesehatan. Dengan potensi kolaborasi dari berbagai pihak, platform digital ini memiliki peluang besar untuk dikembangkan lebih jauh dalam mendukung inovasi kebijakan kesehatan yang efektif dan berbasis bukti.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M (PKMK UGM)

 

 

 

 

 

 

Reportase Penulisan Artikel

Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia

8 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Pembelajaran Kelembagaan Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia pada hari ketiga, Kamis (8/8/2024) dengan topik Penulisan Artikel. Kegiatan ini dimoderatori oleh Monita Destiwi, SKM.,MA. Narasumber utama adalah Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua

Dalam paparan materi yang disampaikan oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua, menegaskan bahwa penulisan artikel ilmiah sangat penting untuk menyebarluaskan hasil penelitian, memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, dan sebagai bukti kompetensi seorang peneliti. Artikel yang baik juga bisa menjadi referensi penting dan membantu dalam pengembangan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Beliau menguraikan perbedaan antara artikel kebijakan dan artikel lainnya yang mungkin menyinggung kebijakan. Artikel kebijakan umumnya lebih mendalam, melibatkan riset kebijakan, dan dapat mencakup analisis kebijakan dengan melibatkan para stakeholder. Artikel kebijakan seringkali menghasilkan rekomendasi untuk penyusunan kebijakan baru atau perbaikan kebijakan yang ada.

Dalam penulisan artikel tentunya perlu sebuah struktur penulisan yang efektif mulai dari judul hingga daftar pustaka. Struktur dan komponen artikel riset kebijakan kesehatan dalam jurnal ilmiah umumnya mengikuti format yang baku untuk memastikan konsistensi dan memudahkan pembaca dalam memahami isi penelitian. Hanevi juga menekankan pentingnya etika dalam penulisan artikel, terutama terkait data dan penulis. Mengenai data, penulis harus memastikan bahwa data yang digunakan adalah etis dan valid. Sedangkan untuk etika penulis, hanya orang yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penelitian yang boleh tercantum sebagai penulis, urutan penulis harus mencerminkan kontribusi masing-masing penulis, serta penulis harus mengungkapkan setiap konflik kepentingan yang mungkin mempengaruhi penelitian.

Proses review dan publikasi artikel ilmiah merupakan tahap krusial. Hanevi menjelaskan bahwa proses ini melibatkan beberapa tahap, mulai dari pengajuan artikel, penilaian oleh reviewer, pengambilan keputusan oleh editor, revisi dan penyuntingan hingga publikasi. Penting untuk memilih jurnal yang sesuai dengan topik artikel dan memahami ketentuan serta format yang disyaratkan.Dalam memilih jurnal untuk publikasi, Hanevi memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Integritas Jurnal: Pastikan jurnal yang dipilih kredibel dan bukan jurnal predator. Tujuan publikasi juga harus diperhatikan, misalnya apakah publikasi ditujukan untuk sosialisasi kepada stakeholder tertentu, seperti dinas kesehatan, dan lain-lain.
  2. Tujuan dan Pembaca: Tujuan publikasi akan menentukan siapa pembaca utama artikel tersebut. Misalnya, untuk pengambil kebijakan dari sisi makro/nasional/internasional.
  3. Reputasi Jurnal: Perhatikan reputasi jurnal yang dipilih, apakah masuk dalam daftar Scopus atau kategori Q1, Q2 untuk jurnal internasional, atau dalam peringkat Sinta 1, 2, 3 untuk jurnal nasional.

Hanevi menutup dengan menegaskan bahwa penulisan artikel ilmiah adalah keterampilan yang perlu terus diasah. Dengan pemahaman yang baik tentang struktur penulisan, etika, proses review, dan pemilihan jurnal, peneliti dapat menghasilkan tulisan yang berkualitas dan berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan serta praktik di bidangnya.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M (PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Penggunaan Data

Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia

7 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Pembelajaran Kelembagaan Penelitian Kebijakan dengan Menerapkan Prinsip Evidence Based/ Informed Policy oleh Fakultas-Fakultas Kedokteran di Indonesia pada hari kedua, Rabu (07/08/2024) dengan topik Penggunaan Data. Kegiatan ini dimoderatori oleh Mentari Widiastuti, S.Farm.,Apt.,MPH. Narasumber utama adalah Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo.

Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo membawakan materi dengan judul "Big Data for Strengthening Health Systems". Dalam paparannya, Guardian menyampaikan berbagai aspek penting dari big data dan analitik dalam konteks sistem kesehatan. Materi ini mencakup pengumpulan data rutin, transformasi digital, dan implementasi analitik big data serta artificial intelligence (AI) untuk meningkatkan pelayanan medis dan kesehatan masyarakat.

Guardian mengawali dengan menjelaskan rencana strategis Kementerian Kesehatan Indonesia, yang berfokus pada pengumpulan data rutin kesehatan berbasis indikator kesehatan. Transformasi dari paradigma pelaporan data agregat menuju pemanfaatan teknologi digital untuk data individu menjadi sorotan utama. Pengumpulan data dilakukan mulai dari level komunitas hingga fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, dan posyandu.

Big data didefinisikan sebagai koleksi data yang sangat besar dan kompleks, yang terdiri dari data terstruktur dan tidak terstruktur. Narasumber menekankan pentingnya big data analytics untuk menemukan pola dan informasi berharga dalam data kesehatan. Karakteristik big data dijelaskan dengan aspek volume, velocity, variety, variability, veracity, value, complexity, dan sparseness. Berbagai contoh penggunaan big data analytics dalam pelayanan kesehatan yang dibahas, termasuk:

  • Average Hospital Stay (Rata-rata Waktu Rawat Inap) : Mengevaluasi durasi pasien di rumah sakit.
  • Bed Occupancy Rate (Persentase Pemakaian Tempat Tidur): Memantau ketersediaan tempat tidur.
  • Medical Equipment Utilization (Utilisasi Peralatan Medis): Melacak penggunaan peralatan.
  • Patient Drug Cost Per Stay (Biaya Obat Pasien per Rawat Inap): Mengelola biaya pengobatan.
  • dan lain-lainnya.

Pemanfaatan big data diharapkan mampu mendorong pengambilan keputusan berdasarkan data misalnya prediksi kebutuhan logistik. Selanjutnya Precision Medicine, untuk mengurangi efek samping dan meningkatkan outcome layanan. Early Detection of Disease, untuk mendeteksi dini penyakit melalui analitik prediktif, dan masih banyak lagi manfaat dari big data lainnya. Guardian juga menyoroti aspek Etik dalam Penggunaan Big Data dan AI Kesehatan. Prinsip-prinsip seperti informed consent, relevansi, integritas data, fungsi verifikasi, tujuan tertulis dan kontrol akses berbasis peran menjadi bagian penting dalam praktek pengelolaan data kesehatan.

Pembelajaran ini memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya big data dan analitik dalam meningkatkan sistem kesehatan di Indonesia. Dengan pemanfaatan teknologi digital dan analitik yang tepat, diharapkan sistem kesehatan dapat menjadi lebih efisien, responsif, dan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M (PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Riset Implementasi untuk Kebijakan Kesehatan di Indonesia

dan Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan untuk Melakukan Penelitian Kebijakan bagi Fakultas Kedokteran di Indonesia

2ags

PKMK-Semarang. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Workshop dengan topik “Riset Implementasi untuk kebijakan kesehatan di Indonesia dan Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan untuk Melakukan Penelitian Kebijakan bagi Fakultas Kedokteran di Indonesia” pada Jumat (02/08/2024). Kegiatan ini merupakan salah satu sesi acara dalam Pertemuan Ilmiah Nasional dan Musyawarah Nasional BKS-IKM-IKK-IKP. Webinar diselenggarakan secara daring dan dimoderatori oleh Dr. Sukma Sahadewa, dr., M.Kes. SH., MH., M.Sos. Narasumber utama adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (UGM), dengan pembahas sesi pertama yaitu Yunita Dyah Suminar, SKM, M.Sc, M.Si (Kadinkes Provinsi Jateng) dan Dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD FINASIM (Kadinkes Kota Semarang). Kemudian untuk pembahas sesi dua yaitu Dr. dr. Minarni Wartiningsih, M.Kes., FISPH., FISCM (Bendahara BKS-IKM-IKK-IKP) dan Dr. Umatul Khoiriyah, M.Med.Ed., Ph.D (AIPKI).

Pada sesi pertama, Laksono membahas Fakultas Kedokteran dan Riset Kebijakan. Laksono menekankan perlunya reformasi dan transformasi untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Narasumber merujuk pada kerangka sistem kesehatan WHO yang mencakup tenaga kerja kesehatan, pelayanan, informasi, produk medis, vaksin, teknologi, pendanaan, serta kepemimpinan dan tata kelola. Fokus reformasi dan transformasi ini adalah mengatasi ketidakmerataan pelayanan kesehatan dan memastikan sistem pendanaan yang berkelanjutan, dengan tujuan akhir meningkatkan status kesehatan secara keseluruhan di Indonesia.

Selain itu, Laksono juga menyoroti pentingnya akses dan analisis data rutin untuk ilmu kesehatan masyarakat (IKM) serta peran riset kebijakan dalam penyusunan undang-undang kesehatan. Fakultas Kedokteran diharapkan dapat berperan dalam pengambilan kebijakan dengan menyediakan bukti dan melakukan monitoring hasil kebijakan, seperti yang terlihat pada analisis diabetes melitus (DM) dalam konteks UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Transformasi sistem kesehatan diharapkan sejalan dengan visi Presiden untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkeadilan, dengan fokus pada peningkatan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, pengendalian penyakit, dan regulasi pembiayaan kesehatan yang adil dan berkelanjutan.

Pembahas pertama sesi 1 yaitu Yunita Dyah Suminar, SKM, M.Sc, M.Si (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah) mengungkapkan pentingnya analisis dan validasi data untuk kebijakan kesehatan, terutama dalam konteks promosi dan pencegahan penyakit seperti tuberkulosis (TB) dan stunting. Data yang valid dan terverifikasi sangat diperlukan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan yang tepat, dengan penekanan pada kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk akademisi, untuk mengatasi isu kesehatan secara efektif.

Sementara itu, pembahas kedua sesi 1 yakni Dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD FINASIM, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, menjelaskan bahwa inovasi dalam pelayanan kesehatan, seperti program Pelangi Nusantara, sudah terintegrasi antara masyarakat dan data. Program ini fokus pada pelayanan kesehatan gizi dan penyuluhan untuk anak dan remaja, serta menangani balita dengan gizi buruk dan stunting melalui kerjasama dengan institusi pendidikan dan organisasi profesi, sesuai dengan transformasi kesehatan yang ditetapkan oleh Kemenkes.

Pada sesi kedua, diskusi dimoderatori oleh dr. Aristanto Prambudi, CHt. M. Kes. Laksono selaku narasumber utama membahas buku yang diterbitkannya dengan berjudul Pengayaan Ilmu Kedokteran untuk Mengatasi Masalah Klinis dan Kesehatan Masyarakat. Penggunaan kata "Pengayaan" yang mengintegrasikan ilmu kebijakan dan manajemen di Fakultas Kedokteran (FK) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM). Buku ini bertujuan untuk memperkaya nilai kedokteran dan kesehatan masyarakat dengan membahas tantangan keilmuan dari tahun 1990-an hingga saat ini. Buku tersebut dibagi menjadi tiga bagian: pertama, membahas pendekatan awal dalam pengayaan ilmu; kedua, mengulas kemajuan dalam manajemen dan kebijakan; dan ketiga, menilai perkembangan dan harapan masa depan. Selama 30 tahun, proses pengayaan melibatkan penelitian, diskusi, dan solusi praktis dengan fokus pada desain lintas disiplin dan joint appointment dosen. Pembelajaran terkait penelitian kebijakan kesehatan juga tersedia di website resmi.

Pembahas pertama sesi diskusi kedua ialah Dr. dr. Minarni Wartiningsih, M.Kes., FISPH., FISCM., sebagai bendahara BKS-IKM-IKK-IKP, menekankan pentingnya workshop ini untuk disebarluaskan ke seluruh fakultas kedokteran di Indonesia agar setiap data dapat digunakan sebagai dasar promosi kesehatan. Workshop ini diharapkan memberikan pembaruan terkini mengenai isu kesehatan, mendukung pengabdian masyarakat, serta menjadi bahan untuk penulisan artikel penelitian.

Kemudian pembahas kedua sesi dua yaitu Dr. Umatul Khoiriyah, M.Med.Ed., Ph.D., dari AIPKI, menyoroti urgensi kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan dalam pendidikan kedokteran, yang mencakup kepemimpinan dan kemampuan manajemen untuk menghasilkan pelayanan kesehatan berkualitas. Paradigma pembelajaran konstruktif di level sarjana diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa melalui pengalaman belajar yang diberikan oleh pendidik, sehingga lulusan tidak hanya menguasai teori klinis tetapi juga memahami implementasinya secara holistik.

Link terkait: Pembelajaran kelembagaan untuk penelitian kebijakan

Reporter: Ainy Hasna (PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Seri 2: Analisis Kebijakan Jantung dan Katarak dengan menggunakan Pendekatan Transformasi Kesehatan

29 Juli 2024

PKMK UGM – Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar bagian 2 bertajuk “Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan untuk Penelitian Kebijakan bagi FK-FK di Indonesia” dengan topik “Analisis Kebijakan Jantung dan Katarak dengan menggunakan Pendekatan Transformasi Kesehatan” pada Senin (29/7/2024). Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting yang dimoderatori oleh M Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH. Narasumber sesi ini ialah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD yang merupakan seorang Dosen dan Guru Besar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.

Laksono memaparkan kebijakan kesehatan jantung dan katarak dengan menggunakan pendekatan transformasi kesehatan berbasis platform digital. Dalam analisisnya, Laksono menekankan bahwa penggunaan platform digital sangat penting untuk mengatasi kompleksitas kebijakan kesehatan di era transformasi, terutama dalam kasus penyakit jantung. Laksono menjelaskan bahwa kebijakan kesehatan untuk penyakit jantung berbeda dengan penyakit lainnya karena detail kompleksitasnya yang unik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan digitalisasi untuk mempermudah proses pengambilan kebijakan. Beliau juga menyoroti pentingnya penggunaan data rutin yang diolah untuk mendukung pengambilan kebijakan, seperti yang dilakukan di UGM melalui pengolahan data BPJS terkait diabetes mellitus. Data rutin ini, menurutnya, akan semakin akurat dan menjadi tumpuan dalam kebijakan riset di masa depan.

Dalam diskusi mengenai kebijakan katarak, Laksono menjelaskan bahwa biaya klaim BPJS untuk penanganan katarak meningkat lebih tinggi dibandingkan penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh backlog penanganan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta sistem JKN yang belum mampu mencegah dan menangani kecurangan serta masih ditemukannya dokter yang memberikan penanganan operasi katarak tidak berbasis pada indikasi medis, tapi untuk kepentingan ekonomi. Laksono menekankan bahwa transformasi kesehatan melalui platform digital juga diperlukan untuk penanganan katarak secara komprehensif. Dengan adanya platform digital ini, penanganan kebijakan katarak dapat dilakukan secara menyeluruh dan multidisiplin, serupa dengan kebijakan kesehatan jantung. Platform ini diharapkan dapat mengurangi risiko kegagalan transformasi pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Dari hasil diskusi, Dr. dr. Febri M.Kes dari BKS-IKM-IKK-IKP menyatakan bahwa kebijakan kesehatan adalah salah satu pilar penting dalam ilmu kesehatan masyarakat, terutama dalam pencegahan penyakit katastropik seperti penyakit jantung dan stunting. Febri mendukung penuh inisiatif platform digital ini sebagai langkah positif untuk menangani penyakit-penyakit tersebut dan menekankan pentingnya pencegahan dibandingkan pengobatan. Dr. Ade Meidian Ambari, PhD, Sp.JP(K) dari PERKI menyoroti distribusi yang tidak merata dari dokter spesialis jantung di Indonesia, dengan sebagian besar SDM terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Ade juga menekankan perlunya sistem rujukan berjenjang dan pendidikan yang lebih baik untuk meningkatkan jumlah dokter spesialis jantung. Prof. Dr. M. Bayu Sasongko, SpM(K), PhD, menambahkan bahwa katarak menjadi indikator kesehatan global yang signifikan. Namun, banyak masalah seperti fraud, backlog, dan keterbatasan layanan katarak masih menjadi tantangan besar. Dia menekankan pentingnya peningkatan skrining preventif dan pembangunan infrastruktur yang memadai untuk mengatasi masalah ini.

Reporter: Hasna (PKMK UGM)